REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nidia Zuraya*
Konflik perdagangan antara dua kekuatan ekonomi dunia, Amerika Serikat (AS) dan China, sudah berlangsung hampir setahun lamanya. Perekonomian keduanya pun dibuat babak belur akibat perang dagang ini.
Sepanjang tahun 2018, pertumbuhan ekonomi China tercatat sebesar 6,6 persen. Ini adalah angka terendah sejak tahun 1990 atau 28 tahun. Sementara pada pada kuartal I 2019, China hanya mampu membukukan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,4 persen.
Sedangkan AS, meski pada kuartal keempat tahun lalu perekonomiannya hanya tumbuh 2,6 persen. Realisasi ini jauh lebih lambat dibandingkan kuartal sebelumnya, yakni 3,4 persen.
Namun pada kuartal I 2019, AS berhasil membalikan keadaan. Pada kuartal pertama tahun ini, ekonomi AS tumbuh lebih tinggi dari yang diharapkan, yakni sebesar 3,2 persen.
Berawal dari perang tarif bea masuk produk impor, konflik keduanya berkembang menjadi isu keamanan nasional. Pemerintah AS menuding raksasa telekomunikasi China, Huawei, melakukan aksi spionase untuk Pemerintah China melalui teknologi dan perangkat lunak yang mereka jual ke pasar AS.
Pemerintah AS pun berupaya mencari dukungan dari para sekutunya untuk menghadang Huawei. Upaya ini terbukti berhasil. Sejumlah negara Eropa akhirnya meninjau ulang proyek kerja sama dengan Huawei.
Kini konflik perdagangan antara keduanya memasuki babak baru. China saat ini sedang bersiap-siap melancarkan serangan balik ke AS.
China dilaporkan akan membalas perang dagang AS dengan membatasi ekspor logam rare earth. Komoditas tambang mineral ini digunakan AS untuk bahan baku produksi perangkat teknologi hingga peralatan militer.
Rare earth atau logam tanah jarang adalah sekelompok 17 elemen kimia yang digunakan dalam berbagai produk konsumen, mulai dari iPhone, kendaraan listrik, kamera berteknologi tinggi hingga televisi layar datar, peluru kendali serta mesin jet militer, satelit, dan laser.
Penggunaan rare earth sebagai 'senjata' China untuk membalas AS dalam perang dagang ini sangat memungkinkan. Dengan China mengendalikan 95 persen pasokan logam rare earth di dunia, maka ini akan menjadi 'senjata' ampuh melawan AS.
AS diketahui sangat bergantung pada China untuk mengakses logam tersebut sehingga komoditas itu belum dikenakan kenaikan bea impor oleh Pemerintahan Donald Trump.
Tetapi media pemerintah China menyarankan ekspor rare earth ke AS diturunkan sebagai balasan atas tindakan AS yang menaikkan bea masuk. Hal ini tentunya memicu ketakutan di antara pabrikan-pabrikan elektronik di AS.
Mengapa China harus membalas AS dengan rare earth? Alasannya, AS mengancam akan memangkas pasokan teknologinya untuk Huawei dengan alasan kekhawatiran keamanan nasional.
Meskipun mendominasi pasokan, China bukan satu-satunya negara dengan cadangan rare earth yang cukup besar. Survei Geologi Amerika Serikat memperkirakan tahun lalu ada 120 juta ton cadangan logam tersebut di seluruh dunia termasuk 44 juta di China dan 22 juta di Brasil dan Vietnam.
Meski Brasil, Vietnam dan bahkan AS sendiri memiliki sumber daya rare earth, namun karena alasan kerusakan lingkungan negara-negara ini tidak mengeksploitasinya untuk kepentingan ekonomi. Menambang logam tersebut terbukti menghasilkan limbah beracun dalam jumlah besar.
Sejarah mencatat pada tahun 2003 California Mountain Pass (yang merupakan satu-satunya penambang rare earth di AS) menghentikan produksinya menyusul bencana lingkungan beberapa tahun sebelumnya.
China mengisi kekosongan itu dengan bantuan regulasi yang longgar dan biaya yang lebih rendah. Negeri Tirai Bambu pun tumbuh dengan cepat menjadi produsen rare earth terkemuka dunia.
Beijing sejauh ini hanya mengeluarkan peringatan samar yang menyarankan bahwa rare earth bisa menjadi senjata berikutnya. Jika Beijing memilih untuk melaksanakan ancaman ini, dampaknya terhadap pabrik-pabrik AS bisa menjadi bencana.
Untuk menggunakan rare earth sebagai senjata membalas AS, China perlu berhati-hati. Mengingat negara ini pernah dilaporkan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) oleh sejumlah negara karena membatasi ekspor logam rare earth.
Kala itu AS, Uni Eropa, dan Jepang menuduh China membatasi ekspor untuk memberi perusahaan teknologi dalam negeri keunggulan atas persaingan asing. Pada 2014, WTO pun memutuskan China telah melanggar aturan perdagangan global dengan membatasi ekspor logam rare earth.
Apakah rare earth akan menjadi 'senjata' pilihan China selanjutnya untuk membalas perlakuan AS? Waktu yang akan membuktikan, karena banyak hal yang perlu jadi pertimbangan Pemerintahan Presiden Xi Jinping.
*) Penulis adalah Redaktur Republika.co.id