REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nidia Zuraya*
Harga tiket pesawat rute domestik yang tak kunjung turun membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) geram. Padahal, sebelumnya pemerintah telah melakukan berbagai upaya agar harga tiket moda transportasi udara ini bisa turun dan tidak mengerek inflasi.
Jokowi menyebutkan akan mengundang maskapai asing untuk buka rute domestik guna menekan harga tiket pesawat yang saat ini dinilai terlalu mahal. Keinginan tersebut ditanggapi beragam. Bahkan banyak di antaranya yang mempertanyakan apakah dengan mengundang maskapai asing untuk melayani rute domestik maka harga tiket yang mahal tersebut bisa turun secara otomatis?
Belum juga keran bagi maskapai luar negeri untuk ikut melayani rute penerbangan domestik dibuka resemi oleh pemerintah, sudah ada tiga maskapai asing yang menyatakan siap berkompetisi di pasar dalam negeri. Ketiganya adalah Scoot yang merupakan anak usaha Singapore Airlines, Jetstar yang terafiliasi dengan Qantas Airlines, dan Vietjet.
Jika terealisasi, maka ketiga maskapai ini akan mengikuti Air Asia yang sudah lebih dulu melebarkan sayapnya ke industri penerbangan Indonesia. Dengan mengusung konsep penerbangan berbiaya rendah atau low cost carrier (LCC), Air Asia berhasil mengubah wajah industri penerbangan di Indonesia.
Sebelum insiden jatuhnya pesawat Air Asia dengan nomor penerbangan QZ8501 rute Surabaya-Singapura pada 28 Desember 2014, konsumen Indonesia pernah menikmati era tiket pesawat murah. Tragedi tersebut menjadi momentum bagi regulator penerbangan di Indonesia untuk meninjau kembali aturan tarif tiket maskapai LCC.
Pascatragedi naas tersebut, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan mengeluarkan kebijakan menaikkan tarif batas bawah untuk tiket pesawat. Kebijakan itu secara tidak langsung mengisyaratkan agar maskapai tidak jor-joran menawarkan tiket murah demi menjaring penumpang.
Kini, pemerintah menginginkan agar ada maskapai asing lainnya (selain Air Asia, red) yang melayani rute penerbangan domestik. Usulan tersebut berkaitan dengan iklim industri penerbangan di Indonesia yang kurang persaingan.
Setelah Garuda Indonesia bersinergi dengan Sriwijaya Air, praktis industri penerbangan rute domestik di Tanah Air hanya dikuasai oleh dua kelompok raksasa penerbangan. Garuda Indonesia Group yang menaungi empat maskapai, yaitu Garuda Indonesia, Citilink, Sriwijaya Air, dan Nam Air. Sementara Lion Group menguasai maskapai Lion Air, Batik Air, dan Wings Air.
Namun, untuk merealisasikan keinginan Jokowi tersebut tidak semudah itu. Pemerintah terlebih dahulu harus merevisi daftar negatif investasi (DNI), yakni Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.
Dalam Perpres 44/2016 ini disebutkan bahwa besaran investasi modal asing yang diperbolehkan di sektor angkutan moda udara niaga berjadwal dalam negeri maksimal sebesar 49 persen. Dengan kata lain, maskapai asing yang ingin melayani rute penerbangan domestik harus menggandeng pemilik modal nasional dan porsi kepemilikan pemodal nasional harus lebih besar dari keseluruhan pemilik modal asing (single majority).
Aturan pembatasan modal asing ini sempat dikritik oleh pemilik Air Asia, Tony Fernandes. Aturan ini dinilainya menyulitkan investor asing yang ingin membawa modal besar guna memajukan kinerja maskapai yang dimiliki.
Selain dihadang aturan DNI, dalam industri penerbangan juga ada yang namanya asas cabotage yang disepakati dunia dan tertulis dalam Pasal 7 Konvensi Chicago tahun 1994. Pasal tersebut menetapkan bahwa setiap negara mempunyai hak untuk menolak memberikan izin kepada suatu pesawat udara milik negara lain, yang bermaksud mengambil penumpang, pos, dan kargo dengan mendapat bayaran atau sewa di wilayahnya.
Alhasil asas cabotage telah diterapkan secara internasional di seluruh negara pada industri penerbangan. Dengan adanya asas cabotage ini maskapai asing tidak dapat begitu saja melayani rute domestik di Indonesia. Berbeda dengan penerbangan rute internasional yang dapat bebas dilakoni maskapai asing, seperti yang tertuang dalam Freedoms of The Air.
Jika kehadiran maskapai asing diharapkan mampu mendongkrak persaingan dan membuat maskapai domestik mau menurunkan harga jual tiketnya, maka pemerintah harus bersedia mengubah aturan mengenai porsi kepemilikan asing. Jika aturan tersebut tak diubah, maka akan sulit untuk bisa menarik maskapai asing agar mau melayani rute domestik.
Jika akhirnya pemerintah bersedia mengubah aturan porsi kepemilikan asing di industri penerbangan, maka hal tersebut menjadi alarm bagi Garuda Indonesia Group dan Lion Grup agar menyiapkan diri menghadapi kompetisi bisnis yang ketat.
*) Penulis adalah Redaktur Republika.co.id