REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fitriyan Zamzami, Jurnalis Republika
Saya ingat, satu kali waktu beberapa tahun silam naik pesawat dari Merauke. Di bangku sebelah, ada seorang pria yang sudah tak muda lagi. Buat yang kerap kebagian menyanyi lagu-lagu nasional di sekolah, mestinya paham bahwa Merauke ini ada di ujung bawah bagian paling timur Papua. Ia bukan jarak yang dekat dari Jayapura di bagian ujung paling atas.
Kendati demikian, pria ini dengan semangat bercerita soal Persipura Jayapura. Ia bercerita soal asal masing-masing pemain Persipura saat itu. Kaka Boaz dari Sorong, Manu Wanggai dari Serui, Ruben Sanadi dari Biak Numfor, Ferinando Pahabol dari Yahukimo, Ian Kabes dan Titus Bonai yang asli Jayapura, Lukas Mandowen dari Sarmi. Yang ia mau bilang, ini klub semacam pasukan elite pesepakbola dari seantero Tanah Papua. Sebab itu, meski masing-masing kabupaten punya klub sendiri-sendiri, hati para penggemar sepak bola di Papua tetap untuk Mutiara Hitam.
Kemudian Liga 1 bergulir pada 2017 lalu. Saat itu, Persipura tengah dalam kondisi terbaik. Mereka baru saja memenangkan turnamen Torabika Soccer Championship 2016. Pada pertandingan perdana Liga 1 melawan Bali United, talenta-talenta muda juga nampak bersinar. Ada Osvaldo Haay, Prisca Womsiwor, juga Marinus Wanewar. Persipura tak juara musim itu, tetapi mereka masih sangat ditakuti. Musim perdana kebangkitan kompetisi lokal kasta tertinggi Tanah Air itu tetap dipercayai sekadar pemanasan bagi Persipura.
Tapi di luar lapangan hijau, ada sesuatu terjadi. Tahun itu, bukan rahasia pemerintah pusat tengah gencar-gencarnya melakukan negosiasi dengan Freeport soal pengalihan saham. Pemerintah pusat bertekad, mereka selekasnya harus mengantongi lebih dari separuh saham perusahaan tambang emas yang sekian lama mengeruk kekayaan berlaksa-laksa dari Tanah Papua itu.
Nah, PT Freeport Indonesia, bersama dengan Bank Papua, adalah sponsor utama Persipura sejak lama. Entah terkait atau tidak dengan negosiasi itu, aliran dana dari Freeport ke Persipura saat itu juga mulai tersendat. Masalah keuangan serta alotnya negosiasi kontrak baru dengan Freeport tak jarang dikeluhkan manajemen memasuki musim kedua Liga 1.
Kemudian terjadilah eksodus itu. Ruben Sanadi, Osvaldo Haay, Nelson Alom, Ferinando Pahabol, meninggalkan tim dan bergabung ke Persebaya Surabaya. Sementara bek kiri Rony Beroperay berlabuh di Barito Putera. Pihak manajemen tak menyangkal, persoalan keuangan ikut berperan dalam eksodus itu.
Legenda Persipura, Boaz Solossa.
Perpindahan besar-besaran itu juga menorehkan catatan khusus dalam sejarah Persipura. Biasanya, pemain Papua yang hengkang adalah mereka-mereka yang tak mampu bersaing di jajaran talenta elite untuk masuk line up utama Persipura. Tapi kali ini, semua yang hengkang tersebut bukan pemain "kaleng-kaleng".
Ada bukti yang tak bisa dibantah soal ini. Persebaya yang jadi lokasi eksodus menyelesaikan liga pada posisi ke-5. Harus diingat, Bajul Ijo kala itu baru promosi dari Liga 2. Osvaldo Haay, jadi pemain muda terbaik musim itu. Sementara Persipura, selesai pada peringkat ke-12, posisi terburuk mereka sepanjang sejarah kesertaan di liga sepak bola Indonesia. Sama sekali bukan posisi yang pantas buat klub yang dalam kata-kata Boaz Salossa adalah "Jenderal Bintang Empat" merujuk prestasi empat kali menjuarai kompetisi kasta tertinggi.
Pada awal musim kali ini, keadaannya seperti kian parah. Persipura, pada pekan ke-enam Liga 1 2019 berada pada posisi nomor dua dari bawah. Enam kali main, tiga kali kali kalah, tiga kali seri. Buat para penggemar Persipura di Papua, ini sukar diterima dengan lapang hati. Terutama bila menengok kiprah pemain-pemain Papua di klub lain.
Di klub promosi Kalteng Putra, Patrich Wanggai dan Ferinando Pahabol yang sudah mencetak dua gol bermain apik dan tak jarang jadi penentu penampilan tim. Di Persebaya, Ruben Sanadi kian nyata perannya sebagai kapten dan bek kiri terbaik di Tanah Air, sementara Osvaldo Haay kian nyaman dengan posisinya. Di Persija, Yan Pieter Nasadit membantu klub ibu kota itu mencapai final Piala Indonesia dengan gol cantik pada semifinal leg pertama.
Di Madura United, Fandry Imbiri malih jadi bek tengah yang kokoh sementara Marckho Sandy makin vital perannya di sayap kanan sepanjang lapangan. Sedangkan Terens Puhiri juga kembali bersinar di Borneo FC dan mulai bikin gol lagi.
Menengok permainan dan susunan pemain Persipura, sukar melihat cahaya di ujung lorong gelap. Permainan yang mereka tampilkan sejauh ini sama sekali bukan jenis permainan yang biasanya dimainkan Mutiara Hitam.
Tak ada liukan semacam Yosim Pancar, tarian khas Papua, yang biasanya bikin bek-bek lawan kewalahan; tak ada umpan-umpan pendek disusul terobosan tajam dan akselerasi ligat; tak ada penyelesaian klinikal dari sudut-sudut tak terduga. Pemain-pemain inti Persipura yang tak lagi muda usia terlihat kesulitan memainkan permainan oktan tinggi yang biasanya mereka peragakan.
Dengan kondisi terkini, jurang degradasi yang biasanya tak terpikirkan oleh pemain dan penggemar Persipura tampaknya bukan hal yang mustahil. Terlebih, hampir semua klub peserta Liga 1 tahun ini nampak sudah menaikkan standar permainan mereka. Artinya, harus ada yang dilakukan selekasnya untuk memperbaiki kerusakan ini.
Pelatih baru pengganti Luciano Leandro nanti harus lebih berani memainkan talenta-talenta muda. Perlahan mencoba lepas dari ketergantungan terhadap trio Manu, Boaz, Ian Kabes yang seluruhnya sudah berusia di atas kepala tiga. Bukan rahasia, pemain-pemain Persipura punya kreatifitas dan kecepatan di atas rata-rata. Ini harus dimanfaatkan sebesar-besarnya. Tren berganti-ganti pelatih juga musti disetop.
Untuk jangka panjang, persoalan sponsor ini harus dipikir dengan saksama. Harus dipertanyakan kembali apakah hanya Freeport dan Bank Papua yang bisa diandalkan untuk mendanai klub. Apalagi, sekarang kepemilikan mayoritas saham Freeport sudah berpindah ke Jakarta.
Persipura memang bukan klub dengan jumlah penggemar raksasa, tapi sejarahnya, pertandingan yang dimainkan Mutiara Hitam adalah salah satu yang paling dinantikan penggemar sepak bola Indonesia. Hanya sedikit saja klub yang dihormati dan disegani secara merata seperti Persipura di Indonesia.
Jika persoalan dana ini bisa dibereskan, menjaga talenta-talenta lokal jadi pekerjaan selanjutnya. Sepak bola modern memang lintas batas, tapi Papua jangan juga jadi sekadar penghasil pemain.
Tak jauh dari situ ada contoh ekstrem di wilayah Maluku dan Maluku Utara. Kawasan yang menghasilkan banyak pemain bertalenta seperti Rizky Pora, Rizky Pellu, Ilham Udin Armaiyn, Manahati Lestusen, para Lestaluhu, Alfin Tuasalamony, Hasyim Kipuw, Ricardo Salampessy, Leo Tupamahu, Ambrizal Umanailo, Haris Tuharea; tapi tak punya klub yang berlaga di kasta tertinggi.
Tentu, mengembalikan kejayaan Persipura bukan pekerjaan mudah. Tapi manajemen Persipura mustinya paham, itu barang bukan sekadar klub sepak bola. Kamorang kebanggaan dari Sorong sampai Merauke. Dicintai orang asli Papua sampai amber-amber (pendatang) yang menumpang hidup di sana. Bakal jadi cerita mop jika nanti stadion baru sudah berdiri dengan nama “Papua Bangkit” sementara Persipura masih terpuruk.