REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Reiny Dwinanda*
Tujuh puluh empat tahun sudah usia Republik Indonesia. Andaikan Indonesia seorang ibu, umurnya 11/12 dengan ibu saya.
Saya melihat ibu sebagai sosok yang tenang, otaknya cepat, raganya cekatan, mudah mengulurkan tangan, dan ngajinya hebat. Beliau penyintas kanker.
Ibu Pertiwi juga saya banggakan. Negara ini berdiri atas cita-cita luhur para pejuang kemerdekaan dan rasa syukur atas rahmat Allah SWT. Pernyataan yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 menunjukkan Indonesia bangsa yang relijius serta menjunjung tinggi kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial.
Sosok Indonesia sejatinya tercermin dari rakyatnya. Kita punya banyak anak bangsa yang mengharumkan nama Indonesia, namun yang mengkhawatirkan juga tak sedikit.
Polah sejumlah anak bangsa sepekan terakhir membuat saya jeri. Namun, optimisme saya tak redup meski pada Kamis (15/8) lalu, mahasiswa di Cianjur, Jawa Barat membuat empat polisi mengalami luka bakar akibat jalaran api dari bensin yang disiramkan ke ban yang mereka bakar.
Di pekan yang sama, video asusila "Vina Garut" menjadi berita yang banyak diperbincangkan. Pengguna Twitter bahkan menjadikannya trending topic. Ironisnya, mereka begitu bukan untuk mengutuk, melainkan mencari, meminta, dan bahkan memperjualbelikan videonya.
Sepekan berlalu, kasus lain datang menyentak. Entah siapa aktor intelektual yang pertama menyulut ketersinggungan warga Papua. Yang jelas, komentar rasialis dari orang yang mengenakan pakaian loreng di luar asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur sungguh tak mencerminkan jiwa patriot.
Salut saya dengan mahasiswa Papua yang suaranya terekam di video nan viral di media sosial. Dari balik pagar, dia bilang, "Ketuk pintu, kita bicara baik-baik."
Andaikan itu terjadi di Prancis, mungkin tagar "Je suis Papuan" alias "Saya Orang Papua" akan merebak. Memang tak butuh jadi warga asli Papua untuk turut merasakan dan mengutuk hinaan seperti itu.
Di Bumi Cenderawasih, kondisi disebut memanas karena ada pihak yang mendompleng unjuk rasa warga. Polisi mengamankan bendera bintang kejora dari demonstran. Bendera bintang fajar itu selain menjadi simbol kultural rakyat Papua juga merupakan simbol kemerdekaan sehingga kemudian diidentikkan dengan makar.
Jika persoalan awalnya murni tentang tiang bendera yang membuat merah putih menjulur ke tanah, saya juga pernah protes. Beberapa tahun lalu, salah satu butik sepatu di mal di Jakarta Selatan yang memakai bendera merah putih sebagai bagian dari dekorasi 17-an. Mengingat ukurannya persis bendera yang biasa dikibarkan di lapangan umum, darah saya mendidih.
Saya tegur pramuniaganya. Saya tongkrongi sampai ia mencopot bendera merah putih yang disampirkan di meja pendek, tertindih sepatu dan menjulur ke roda sepeda onthel di sebelahnya.
Agak sulit memang menahan emosi. Dengan suara bergetar, saya ingatkan bendera ukuran 120 cm x 180 cm tersebut janganlah diperlakukan macam itu. Kain merah putih biasa, silakan dipakai.
Sang pramuniaga terdiam, pasrah diomeli meski mungkin bukan dia yang bertanggung jawab. Manajer butiknya tak masuk hari itu.
Kembali ke soal Papua, saya bersyukur ketegangan mulai mereda. Banyak pihak telah menyuarakan ajakan persatuan, saling menghargai, dan saling memaafkan. Namun, tentunya, mereka yang bersalah harus berhadapan dengan hukum.
Hari berganti. Kamis (22/8), ada lagi video yang viral. Kali ini datang dari Duo Semangka.
Dua penyanyi dangdut itu dipanggil Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) karena mengumbar buah dada dalam tiga video berbeda. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mungkin masih sibuk dengan urusan pemblokiran internet di Papua hingga tak segera memblokir konten dan memanggil Duo Semangka seperti di kasus Youtuber Kimi Hime pada akhir Juli lalu. Boleh jadi, Duo Semangka tak punya akun Youtube sendiri, tapi salah satu personelnya siaran langsung di Instagram dengan bahasa dan gestur vulgar. Ranah Kominfo juga kan?
Kasus demi kasus menanti untuk diselesaikan. Tapi, bukan cuma polah orang per orang itu yang harus disorot.
PR lebih besarnya ialah membangun nalar kritis, kesadaran sebagai anak bangsa. Andai saja mahasiswa di Cianjur itu menggunakan nalarnya, ia tak akan melempar kantong plastik berisi bensin ke arah ban terbakar yang hendak disita aparat. Dia akan sadar sepenuhnya bahwa tujuan utamanya turun ke jalan bukanlah sekadar mempertahankan ban yang dibakarnya, dengan segala cara.
Mungkin saja itu reaksi spontan, namun fatal akibatnya. Sungguh, mereka menempuh cara yang sulit untuk belajar.
Beralih ke kasus "Vina Garut", warganet ibarat mencoreng muka bangsa sendiri dengan menjadikannya viral. Kalau netizen asing tahu itu tentang video asusila, apa kata dunia?!
Soal Duo Semangka, geli saya mendengar komentar personelnya ketika diwawancarai mengenai pemanggilan oleh KPAI. Mereka tak menyangka spontanitasnya berbuah sempritan dari KPAI. Tampaknya, mereka tak punya strategi untuk memasarkan lagunya dengan cara lain. Salah satu personilnya justru dengan semangat menjelaskan di single ketiganya, Duo Semangka akan mengandalkan goyang putar dada. Duh!
Ujungnya, saya jadi teringat Pak Arifin, guru agama di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 2 Wonosari. Beliau menjadi juara 1 guru berprestasi di tingkat DI Yogyakarta setelah mengembangkan metode pembelajaran dengan konsep “Nalarku” sebagai sarana mengolah penalaran moral siswa agar lebih baik dan berwawasan luas.
Dengan mengedepankan nalar, menurut Pak Arifin, siswa akan berpikir berulang kali sebelum melakukan segala sesuatu. Berbekal metode Nalarku, Pak Arifin membuat perubahan di lingkungannya terkait pernikahan dini.
Mungkin kita perlu meniru ajaran Pak Arifin supaya menjadi bijak seperti siswanya. Kita tentu tak ingin rentetan kejadian penuh cela itu menjadi laksana kanker yang menjapit sel-sel sehat di sekitarnya, membuat kerusakan lebih jauh lagi bagi bangsa ini. Dirgahayu, Indonesia!
*) penulis adalah wartawan republika.co.id