REPUBLIKA.CO.ID, oleh Teguh Firmansyah*
Presiden Joko Widodo resmi mengumumkan pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur. Pemindahan itu ia sampaikan lewat konferensi pers di Istana Negara bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla dan sejumlah menteri terkait, termasuk Gubernur DKI Anies Baswedan dan Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor.
Jokowi menjawab spekulasi beredar dalam beberapa waktu terakhir soal provinsi mana yang bakal beredar dalam beberapa waktu terakhir. Mantan Wali Kota Solo itu juga merealisasikan cita-cita presiden pertama RI Soekarno yang ingin memindahkan ibu kota ke luar Jawa. Tujuannya selain soal geografis, adalah pemerataan ekonomi. Presiden ingin pertumbuhan ekonomi tak hanya dinikmati di Jakarta atau di Jawa saja.
Untuk membangun ibu kota baru, butuh biaya tak sedikit yakni mendekati Rp 500 triliun atau nyaris sepertiga dari total belanja negara pada 2019 yang mencapai Rp 1.634 triliun. Di sinilah persoalannya, bisakah pemerintah membiayai pembangunan itu lewat skema yang dimiliki? Apakah ekonomi kita benar-benar mumpuni?
Pada hari yang sama saat Jokowi menggelar keterangan pers, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga memberikan pemaparan soal realisasi APBN pada tahun ini. Defisit anggaran hingga akhir Juli 2019 melebar menjadi 1,14 persen dari produk domestik bruto atau setara Rp 183,7 triliun.
Jumlah tersebut naik 21,6 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 151 triliun. Melebarnya defisit tak terlepas dari perlambatan pendapatan, sementara pertumbuhan belanja lebih besar. Realisasi pendapatan pendapatan pajak baru mencapai 44,7 persen dari target APBN.
Sebaliknya Belanja Negara sudah menyentuh Rp 1.236,5 triliun atau sekitar 50,2 persen dari APBN. Realisasi belanja negara tercatat tumbuh 7,9 persen dibanding periode yang sama tahun 2018.
Melambatnya pendapatan tak terlepas dari konstraksi di sektor penerimaan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tumbuh negatif 4,68 persen (year on year). Kontraksi di penerimaan PPN memberi sinyal bahwa ada tekanan di sektor konsumsi atau daya beli masyarakat. Kondisi ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi kita benar-benar melambat. Pertumbuhan diprediksi hanya akan mencapai lima persen.
Sekali lagi, dapatkah kita membangun ibu kota yang membutuhkan biaya besar dengan pertumbuhan hanya lima persen?
Presiden Jokowi mengatakan, pembiayaan pembangunan ibu kota tak sepenuhnya dari APBN. Kontribusi APBN hanya 19 persen. Itu pun tak hanya dari anggaran yang dialokasikan khusus, tapi lewat skema kerja sama pengelolaan aset yang ada nanti di ibu kota baru dengan di Jakarta. Kemudian sisanya, dari Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dan investasi langsung swasta maupun BUMN. Dengan kata lain, pemerintah tak mengandalkan dana lewat APBN.
Tapi masalahnya BUMN dalam negeri juga banyak sedang dirundung persoalan. Dari mulai kasus korupsi, BUMN yang merugi, masalah pemadaman listrik, hingga skandal laporan keuangan maskapai penerbangan pelat merat. Swasta juga masih banyak menahan diri untuk melakukan investasi menyusul kondisi ekonomi yang sedang melambat.
Memang harus diakui perlambatan ekonomi sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal. Perang dagang antara Amerika dan China sangat berimbas pada gejolak ekonomi global. Pertumbuhan ekonomi China melambat ke level yang paling rendah dalam 10 tahun terakhir dan hal tersebut harus diakui berimbas ke ekonomi dalam negeri.
Tengok saja, harga produk komoditas yang selama ini menjadi andalan Indonesia seperti sawit mengalami penurunan
Di sisi lain industri manufaktur yang sejatinya bisa menjadi unggulan juga berjalan di tempat. Indonesia masih banyak mengandalkan impor, bahkan untuk pembangunan infrastruktur dalam negeri.
Dan yang paling mengkhawatirkan apabila benar-benar terjadi resesi ekonomi global, kendati Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan bahwa Indonesia aman. Konsultan manajemen multinasional McKinsey and Company mengingatkan sejumlah negara Asia dan termasuk Indonesia agar mewaspadai terulangnya krisis moneter 1997-1998. Pasalnya, utang perusahaan-perusahaan di Asia sudah membengkak hingga menanggung utang jangka panjang lebih dari 25 persen.
Inilah tantangan-tantangan ekonomi yang harus dijawab pemerintah ke depan jika benar-benar ingin membangun kota baru. Jangan sampai di tengah jalan ketika sudah membangun, tapi terpaksa berhenti karena kehabisan dana. Pembangunan mangkrak hanya akan merugikan karena biaya bisa semakin membengkak. Karena itu pemerintah harus memiliki back up plan atau rencana cadangan skema pembiayaan ini.
Di sisi lain, jangan juga pemerintah mengambil jalan pintas dengan berutang. Apalagi utang yang penuh dengan syarat. Menambah utang hanya akan semakin membebani keuangan negara. Tercatat hingga akhir Juli jumlah utang Pemerintah RI telah mencapai Rp 4.603,62 triliun. Secara keseluruhan, rasio utang RI terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) lebih dari 36 persen.
Pemerintah berencana mulai membangun ibu kota tahun depan. Harapannya pada 2024, proses pemindahan sudah benar-benar terealisasi. Bisakah?
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id