REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Reiny Dwinanda*
Sebelum menjabat sebagai Presiden ketiga Republik Indonesia, BJ Habibie lebih dulu mengabdi sebagai menteri riset dan teknologi selama 20 tahun, terhitung 1978. Pada 1983, ia mulai memimpin Badan Pengakajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Saya ingat betul perjumpaan pertama dengan Bapak Teknologi Indonesia itu. Pada tahun awal 2000-an, Habibie pulang ke Indonesia setelah lama bermukim di Jerman.
Habibie seperti pulang kampung ketika ia menyambangi kantor BPPT. Semua menyambut "Mr Crack" dengan meriah.
Dalam konferensi pers yang berlangsung cair, mata Habibie langsung menyapu ruangan, mencari wartawan yang dikenalnya. Banyak wajah baru, memang. Sebagai wartawan Republika yang belum lama bertugas di rubrik Iptek, saya mendapati Habibie begitu akrab dengan insan pers.
"Yuniii, apa kabar kamu?" ujarnya setengah berteriak sambil mencubit kedua pipi jurnalis senior Kompas layaknya ayah yang lama tak bertemu dengan anak kecilnya.
Habibie memang sosok yang hangat, dengan siapa pun. Setidaknya dua kali saya pernah melihatnya berjalan-jalan di Senayan City, Jakarta Pusat, tanpa penjagaan ketat. Ajudannya tampak mendampingi, namun Habibie tampak bebas menikmati ngemall layaknya warga negara biasa.
Permintaan foto bareng oleh pengunjung mal diiyakannya dengan gembira. Senyumnya selalu tersungging tiap kali diajak selfie.
Di beberapa kali perjumpaan, saya tak pernah minta selfie bareng. Tak terkecuali saat meliput pemaparan Habibie tentang pentingnya mengembangkan sumber daya manusia, sinergi antara budaya, agama, dan iptek, serta keterampilan di era Industri 4.0 di ajang General Electric Garage Indonesia pada 18 Agustus 2015. Keinginan itu baru muncul suatu siang di RS Pondok Indah.
Seingat saya, tak ada yang tak biasa dari suasana liputan kesehatan hari itu. Tetapi, kemudian pintu lift yang saya naiki seusai liputan tiba-tiba terbuka. Seseorang berbaju batik meminta seluruh penumpang lift keluar.
Saya satu-satunya wartawan di lift itu, selebihnya pengunjung RS. Kami berempat bergeming keheranan. Ada apa gerangan?
Di benak saya langsung terlintas kemungkinan adanya keadaan darurat. Namun, pemuda berbadan tegap dengan rambut klimis itu tak memberi sinyal demikian.
Dia kembali meminta dengan sangat santun tanpa menyebutkan maksud tujuannya. Belum lagi kami bereaksi, sosok Habibie muncul, menerobos sang pengawal.
"Nggak papa ya, kita bareng-bareng?" katanya dengan senyum lebar khasnya.
Sontak, seisi lift terperangah. Beliau langsung masuk lift, berdiri persis di samping saya yang berada di pojok kiri. Pengawalnya pun menyusul naik lift.
Memperkenalkan diri sebagai wartawan Republika, saya memberanikan diri menyapanya, "Eyang kenapa, kok, bertongkat?" Dia menoleh lalu menjawab dengan ramah.
"Ah, biasa," ujarnya sambil memegang lututnya.
Rupanya, Eyang Habibie habis kontrol lutut dengan dr Andre Pontoh SpOT, dokter spesialis ortopedi yang mengoperasi lutut saya dahulu. Bapak Demokrasi itu mengatakan, keluhan di lututnya terkait faktor usia.
Saya membayangkan, kalau saya di posisi Eyang, mungkin saya akan meminta dokter ke rumah. Tapi, tidak demikian dengan Eyang Habibie.
Sore itu, 25 Februari 2016, saya baru beberapa pekan lepas tongkat. Eyang kemudian menyemangati saya.
"Masih muda, masih bisa berjalan," ujarnya masih dengan senyum ramahnya.
Nyess rasanya. Saya tersipu karena telah mengeluhkan kedua lutut yang telah dioprek. Betul, Eyang...Masih banyak yang harus disyukuri, ya!
Selamat jalan, Eyang...Terima kasih pompa semangatnya. Semoga Allah Swt merahmati Eyang yang telah menyentuh hati banyak orang, aamiin ya rabbal alamin...
*) Penulis adalah wartawan republika.co.id