Rabu 25 Sep 2019 04:40 WIB

Padamkan Api Dulu, Antisipasi Bencana Asap Kemudian

Langkah pertama tentu menyeret ke pengadilan semua pihak yang terlibat pembakaran.

Israr Itah
Foto: Dokpri
Israr Itah

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Israr Itah

Redaktur Republika.co.id

Viny (bukan nama sebenarnya) tengah galau. Pekerja di salah satu hotel di Pekanbaru, Riau, berencana mengungsikan keluarganya ke kampung halamannya di Binjai, Sumatera Utara. Alasannya, kondisi cuaca di Pekanbaru sudah sangat mengganggu. Apalagi Gubernur Riau Syamsuar sudah menyatakan status Riau yang darurat pencemaran udara pada Senin (23/9). Status ini berlaku hingga sepekan ke depan. "Harusnya sejak dua pekan lalu status darurat itu," kata dia kepada saya dalam perbincangan kami Senin pagi.

Yang jadi masalah, Kota Binjai juga sudah mulai terpapar kabut asap, meski dalam tingkat yang lebih rendah. Viny tak mau perjalanan ke kampung yang ditempuhnya jadi sia-sia. Ia khawatir saat tiba di Binjai, kondisi cuaca kota kecil yang berjarak 15 km dari Medan itu juga sudah ikut-ikutan memburuk. “Bingung mau ke mana,” kata dia.

Viny menilai pemerintah kurang sigap dalam bergerak. Viny menengarai ini persoalan gengsi. Pemerintah daerah tak mau dibilang gagal mengatasi kabut asap, tapi pada saat yang sama tak punya kemampuan sepadan untuk menanggulanginya. Sementara pemerintah pusat dinilainya belum 100 persen mengulurkan tangan memecahkan masalah.

"Mungkin kalau sejak awal seluruh helikopter dan pesawat dikerahkan untuk memantau dan memadamkan seluruh titik api, asapnya tidak separah ini. Tapi tak pahamlah, mereka (pemerintah) kan yang lebih tahu," kata dia saat ditanya solusi terbaik untuk mengatasi masalah cuaca buruk yang dihadapi warga Riau.

Viny benar. Pemerintah lebih tahu dibandingkan rakyat biasa. Apalagi pemerintah punya instrumen untuk memantau titik api, memprediksi dampak, serta menanggulanginya dengan alat dan SDM yang ada. Sayangnya, sebagian rakyat kadung menilai pemerintah, daerah maupun pusat, lamban mengantisipasi efek titik api yang berujung kabut asap sehingga dampaknya sedemikian parah.

Setelah Sumatera Selatan, titik-titik api muncul membesar di sebagian Kalimantan. Riau kemudian menyusul. Terbaru, titik-titik api 'menyerang' Jambi. Medannya pun berbeda-beda sehingga menyulitkan dalam penangannnya. Bila di lahan gambut dan di daerah yang sulit dijangkau, water bombing tak cukup efektif. Sebab api merambat di bawah permukaan tanah. Kebakaran di Riau mayoritas terjadi di lahan gambut.

Teknologi Modifikasi Cuaca alias hujan buatan jadi pilihan untuk memadamkan api dan menipiskan asap. Masalahnya, tak semua awan bisa diubah jadi hujan. Ada kondisi tertentu yang mesti dipenuhi hingga awan diperkirakan bisa menghasilkan hujan. Rumit… ruwet!

Makanya, saya tak akan membahas panjang soal ini. Saya, seperti semua masyarakat yang terpapar langsung atau ikut merasakan kesusahan mereka hidup dengan asap berbahaya, hanya bisa berdoa pemerintah terus berupaya lebih keras untuk mengatasi masalah ini. Kita semua berharap hujan dengan curah yang tinggi dan menyebar di seluruh wilayah yang terdapat titik api, segera turun agar bencana ini cepat berakhir.

Saya justru ingin melompat sebulan ke depan saat musim hujan diprediksi sudah tiba dan bencana kabut asap telah sirna. Saat tak ada lagi yang mengenakan masker di Riau, Sumsel, Jambi, dan Kalimantan, akankah semua lupa dampak buruk luar biasa besar bencana asap ini? Saya berharap tidak. Pemerintah daerah dan pusat mesti punya komitmen besar untuk menjadikan bencana ini yang terakhir. Semua harus mengawal dan mendukung, terutama masyarakat setempat yang terkena langsung bencana kabut asap ini.

Langkah pertama tentu saja menyeret ke pengadilan semua pihak yang terlibat dalam pembakaran lahan, mulai dari perseorangan hingga korporasi dan kepanjangan tangannya. Pastikan semuanya mendapatkan hukuman setimpal sesuai aturan undang-undang yang sudah ada. Pemerintah kita sebenarnya punya undang-undang yang lengkap berikut konsekuensi hukum dalam soal ini. Jangan sampai sanksi hukum ini masuk angin.

Kepolisan Daerah Riau harus belajar dari bencana kabut asap hebat pada 2015 lalu. Saat itu mereka menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap 15 perusahan tersangka pembakar hutan dan lahan. Salah satu alasan keluarnya SP3 karena adanya sengketa kepemilikan lahan sehingga tidak jelas pihak pemilik lahan yang terbakar. Ini terjadi karena perusahaan-perusahaan pembakar hutan dan lahan tersebut membeli tanah yang tidak jelas peruntukannya atau dalam status konflik. Mereka memanfaatkan ketidakjelasan status hutan tersebut untuk mengeruk keuntungan sekaligus berkelit dari jeratan hukum.

Kedua, pastikan korporasi yang terlibat tak lagi mendapatkan hak penggunaan lahan. Jangan sampai mereka yang terlibat bebas dan kemudian berganti baju, membuat perusahaan baru, untuk mendapatkan izin baru. Padahal orang-orangnya ya itu-itu juga. Sebab, mereka pasti akan membakar lagi, menyiksa banyak orang, dan kemudian bebas begitu saja seperti yang sudah-sudah.

Ketiga, menegakkan aturan tata kelola perizinan yang rapi di pemerintah pusat maupun daerah. Kepala pemerintahan daerah diharapkan tak lagi tergoda untuk mengeluarkan izin seenaknya. Perusahaan yang ingin memanfaatkan lahan harus memenuhi syarat-syarat yang telah diatur undang-undang. Pemerintah daerah juga wajib mengontrol dengan disiplin dan berkala untuk memastikan tak ada yang dilanggar. Ingat, sejumlah pemimpin Riau pada masa lalu, mulai dari level bupati hingga gubernur, tersandung kasus korupsi dan sudah merasakan jeruji besi terkait persoalan perizinan lahan ini.

Pemerintah daerah juga semestinya tak ciut pada kehendak korporasi yang dibekingi oknum pejabat dari pusat yang ingin menerabas aturan dengan dalih memudahkan investasi dan pembukaan lapangan kerja. Selama tak koperatif dan tak taat aturan, izin tak bisa dikeluarkan dengan alasan apa pun.

Keempat, memberikan perhatian kepada nasib warga daerah sekitar hutan. Kita tahu, warga lokal juga punya kontribusi terhadap kebakaran lahan dan hutan. Sebuah penelitian menyebutkan, motif ekonomi mendorong warga membakar hutan atau lahan untuk bercocok tanam demi menghasilkan rupiah. Alasan sulitnya pekerjaan diapungkan. Pemerintah daerah dan pusat mesti mencarikan jalan keluar untuk permasalahan satu ini.

Kelima, memberdayakan perangkat desa dan kepanjangan tangannya (ketua RT atau ketua RW) bersama masyarakat untuk menjadi ujung tombak penjaga wilayahnya sekaligus sebagai unit early warning system terhadap potensi kerusakan yang lebih besar. Ini sebenarnya sudah dilakukan tapi tidak efektif dalam aplikasinya. Ke depan warga di titik rawan bencana kebakaran harus sudah dibekali alat-alat pendukung yang maksimal dalam memadamkan api dan kemampuan untuk mengoperasikannya. Jangan sampai misalnya pemerintah membuat sumur pompa, tapi tak membekali dengan selang yang cukup untuk memadamkan api dalam skala kecil.

Sebagai early warning system, warga juga bisa langsung melapor ke petugas terkait tentang potensi bahaya. Misal, bila ada pihak-pihak yang tak bertanggung jawab membakar lahan atau lahan memang terbakar sendirinya karena musim panas, warga bisa merekam atau memfoto wilayah terdampak dan mengirimkannya ke petugas berwenang lewat telepon pintar untuk ditindaklanjuti.

Lima poin ini, menurut saya bisa diterapkan ke semua daerah rawan titik panas, tak hanya di Riau. Bila semua berjalan, saya percaya kita tak lagi menyaksikan bencana kabut asap yang menyusahkan jutaan orang hingga merenggut nyawa manusia.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement