REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andri Saubani*
Massa kerja DPR periode 2014-2019 telah berakhir ditandai dengan Rapat Paripurna pada Senin (30/9). Di bidang legislasi, DPR yang dipimpin oleh Bambang Soesatyo berhasil menyelesaikan pembahasan 91 rancangan undang-undang (RUU) dan menyetujuinya menjadi UU, dengan perincian, 36 RUU dari daftar Prolegnas 2015-2019 serta 55 RUU Kumulatif Terbuka. Empat RUU yang telah selesai dibahas ditunda pengesahannnya menyusul masifnya gelombang demonstrasi mahasiswa dan masyarakat sipil.
Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) pun telah merilis hasil evaluasi kinerja DPR periode 2014-2019. Berdasarkan catatan Formappi, jumlah RUU yang disahkan menjadi UU menurun jika dibandingkan periode sebelumnya. Total RUU yang disahkan oleh DPR 2009-2014 mencapai 125 RUU.
Dari segi kuantitas, 35 RUU Prolegnas prioritas yang disahkan, ada beberapa RUU yang sebenarnya merupakan revisi yang berulang dari undang-undang yang sama. Misalnya, revisi Undang-undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang telah direvisi sebanyak tiga kali selama masa kerja DPR 2014-2019. Selain itu, ada dua UU lainnya yang menambah daftar panjang Prolegnas prioritas DPR, yaitu revisi UU tentang Pilkada sebanyak dua kali, dan revisi UU tentang Pemerintahan yang juga dilakukan dua kali.
Revisi Undang-undang tersebut, terkesan menambah banyak jumlah RUU. Padahal, DPR hanya mengubah beberapa pasal.
Kinerja DPR RI dalam masa sidang 1 tahun 2018-2019 menjadi yang terburuk sejak era Reformasi di Indonesia. RUU yang telah ditetapkan dalam Prolegnas 2018 ditetapkan sebanyak 50 RUU, dan hanya lima RUU prioritas dan lima RUU kumulatif terbuka yang dirampungkan.
Ketua DPR Bambang Soesatyo pernah berdalih, banyak faktor yang membuat target prolegnas kerap tidak tercapai. Selain terus bertambahnya RUU Prioritas dari tahun ke tahun, juga komitmen yang lemah antara DPR RI dan pemerintah dalam merampungkan suatu RUU.
Dari segi kualitas, kinerja legislasi DPR pun layak dikritisi. Masih menurut Formappi, produk legislasi DPR dibuat untuk melayani kepentingan elite saja bukan untuk rakyat. Yang paling mencolok adalah UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
Dalam kurun waktu lima tahun, UU MD3 telah direvisi sebanyak tiga kali. Revisi pertama disahkan 5 Desember 2014, revisi kedua 12 Februari 2018, dan terakhir 16 September 2019. Khusus revisi terakhir, bahkan dilakukan sebelum UU hasil revisi kedua dijalankan oleh DPR.
Dari tiga kali revisi UU MD3, intinya seragam yakni mengubah aturan soal bagi-bagi kursi pimpinan MPR. Pada mulanya, kursi pimpinan MPR berjumlah lima, lalu bertambah menjadi delapan, dan terakhir menjadi sepuluh. Beleid dirombak atas nama rekonsiliasi kepentingan politik pascapilpres.
Adapun, RUU yang selama ini dinilai kalangan masyarakat sipil berhubungan dengan hajat hidup orang banyak seperti RUU Larangan Minuman Beralkohol (sudah dua tahun dibahas) dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS), gagal disahkan oleh DPR periode 2014-2019 menjadi UU. Dua RUU itu kini bahkan tidak jelas nasibnya apakah akan dilanjutkan pembahasannya (carry over) ke DPR periode selanjutnya atau malah dihentikan.
Pada akhir masa jabatannya, DPR periode 2014-2019 melalui turbulensi politik dalam hal penyusunan UU. Tetapi, guncangan itu bisa dibilang akibat ulah DPR sendiri yang berusaha mengebut pembahasan beberapa RUU dalam tempo singkat. Dari beberapa RUU kontroversial, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan revisi atas UU KPK menjadi pemicu amarah masyarakat yang ditandai dengan demo besar-besaran mahasiswa dan pelajar pada pekan lalu hingga kini.
Kurang dari dua pekan DPR dan pemerintah bekerja sangat cepat dalam merevisi UU KPK. Cukup lewat dua kali pembahasan di tingkat panitia kerja dan rapat kerja, DPR resmi mengetok palu mengesahkan RUU KPK menjadi undang-undang pada rapat paripurna kesembilan Masa Persidangan I 2019-2020, pada Selasa (17/9). Saat revisi UU KPK disahkan, jumlah anggota DPR yang menghadiri Rapat Paripurna diduga tak memenuhi kuorum, atau separuh dari total 560 anggota DPR.
Setara Institue menilai, revisi UU KPK adalah praktik terburuk legislasi dalam sejarah parlemen Indonesia pascareformasi. Senada dengan kalangan masyarakat sipil lainnya, Setara menilai kejar tayangnya pembahasan revisi UU KPK menegaskan, bahwa pelemahan KPK sudah dirancang sejak lama.
DPR periode 2014-2019 pada Senin (30/9) telah berakhir masa tugasnya. Pada 1 Oktober 2019, giliran anggota DPR periode 2019-2024 dilantik. Apakah para wakil rakyat baru ini akan meneruskan tren melempemnya kinerja legislasi DPR? Wallahu alam.
*Penulis adalah jurnalis Republika.