REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ichsan Emrald Alamsyah*
Sejujurnya penulis cukup kaget ketika Presiden Joko Widodo memilih Nadiem Makarim. Walau sebenarnya kabar 'bisik-bisik' sudah menyebar bahwa ia akan menjadi menteri pendidikan namun awalnya penulis menilai Nadiem akan diberikan tugas kementerian lain.
Bukan persoalan tidak mampu namun awalnya saya berpikir Nadiem akan diplot di Kementerian atau badan lain, khususnya yang terkait ekonomi. Hanya saja, seperti yang pria berusia 35 tahun ini katakan, ia adalah masa depan.
Ia tahu betul tidak memiliki latar belakang seorang pendidik seperti menteri-menteri sebelumnya. Hanya saja, ia adalah masa depan. Dimana teknologi akan mendorong perubahan pekerjaan di masa depan, sehingga negeri ini membutuhkan pemimpin yang visioner.
Ketika serah terima jabatan, ia pun sudah menyebutkan hal tersebut. Ia menyatakan kebutuhan di lingkungan pekerjaan akan sangat berbeda dan selalu berubah pada masa depan. Lebih mudahnya bisa disebut tugas Nadiem adalah menyatukan antara lulusan lembaga pendidikan dengan kebutuhan industri.
Ia juga mengungkapkan dengan wilayah yang luas, dengan jumlah 300 ribu sekolah dan 50 juta murid maka peran teknologi amat penting. Apalagi, bila penulis tambahkan, wilayah Indonesia yang amat luas selama ini cukup menyulitkan pemerataan pendidikan.
Ia pun menyebut kemungkinan alasan ia dipilih karena pendidikan dalam negeri butuh inovasi. Lagipula ia menyebut dirinya sebagai kelompok usia milenial. "Saya satu-satunya mewakili milienal di kabinet, jadi mohon dukungan teman-teman milenial untuk berbagai inovasi yang saya lakukan," kata dia.
ia menambahkan bagian yang terpenting sekarang adalah bekerja sama dengan seluruh pimpinan dan staf Kemendikbud. Karena Kemendikbud menjadi ujung tombak terpenting masa depan Indonesia. Dengan merubah mindset generasi yang berikutnya, Indonesia akan semakin maju di panggung dunia.
Lebih lanjut ia juga menyatakan menerima jabatan dan amanah ini karena ia ingin mentransformasi suatu negara melalui pendidikan dan generasi berikutnya itu menjadi yang terpenting. Uniknya, dan mungkin karena masih muda, ia meminta tidak dipanggil dengan sebutan 'bapak'.
"Tolong jangan dipanggil Pak Nadiem, tapi Mas Nadiem saja. Saya tidak punya rencana sama sekali. Rencana saya 100 hari adalah saya akan duduk dan mendengar berbicara dengan pakar-pakar di lingkungan Kemendikbud yang telah bertahun-tahun memberikan dampak pada kualitas pendidikan Indonesia dan belajar dari mereka," ujar dia.
Terkait rencana 100 hari, Nadiem akan mengerjakan aspirasinya untuk semua siswa di seluruh Indonesia yaitu belajar. Jadi, ia berada di Kemendikbud untuk menjadi murid bukan menjadi guru. "Saya di sini boleh dibilang mulai dari nol, maka dari itu saya akan belajar sebanyak-banyaknya. Tapi jangan khawatir selama ini saya juga sudah mempersiapkan diri, jadi banyak Pekerjaan Rumah (PR) yang sudah saya kerjakan," kata dia.
Berita soal pilihan Presiden Jokowi untuk mendapuk Nadiem menjadi Mendikbud mendapat reaksi dari Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia Muhammad Ramli Rahim. Ia mengaku sangsi atas dipilihnya Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Menurut Ramli, meskipun Nadiem sukses dalam bisnis transportasi online, ia tidak cocok untuk memimpin sebuah kementerian yang dipenuhi orang-orang pintar dan berpendidikan tinggi.
Dia menjelaskan, tahun 2045 Indonesia bermimpi menjadi negara maju dengan PDB terbesar keempat dunia, sedangkan pada tahun 2030 adalah puncak bonus demografi Indonesia. Hasil PISA, kompetensi generasi bangsa di bidang matematika, reading dan sains berada pada level 0-2 dan dicap bangsa Indonesia baru bisa menghadapi abad 21 setelah 1000 tahun mendatang.
Sementara itu, kekurangan guru pegawai negeri sipil (PNS) di sekolah negeri mencapai 1.141.176 orang belum termasuk 391.644 guru yang akan pensiun pada tahun 2020 hingga 2024. Dengan kondisi tersebut, kata Ramli, hampir bisa dipastikan bahwa pendidikan dasar dan menengah kita akan lumpuh total ketika seluruh guru honorer yang pendapatannya jauh lebih rendah dari driver gojek itu menyatakan 'mogok mengajar'.
"Anak-anak SD kita tamat SD lebih dari 80 persen dinyatakan gagal Matematika dan juga gagal literasi, juga gagal di sains, lalu apa yang bisa dilakukan Nadiem?" kata Ramli.
Tak banyak Teori
Bila pertanyaannya yang bisa dilakukan, tentu banyak yang bisa dikerjakan Mendikbud baru kita ini. Lagipula pilihan memilih Nadiem penulis nilai selaras dengan Nawa Cita Presiden Jokowi di periode kedua ini yang fokus pada perbaikan mutu sumber daya manusia.
Selain itu bila kita mengingat dalam penyampaian Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020 Agustus lalu, Selain angka anggaran yang selalu fantastis yaitu Rp 505,8 triliun, Pemerintah akan merancang pendidikan sesuai dengan kebutuhan industri.
Artinya sedari awal memang pilihan Nadiem untuk memenuhi keinginan atas kebutuhan industri. Sementara yang menjadi masalah adalah 'mesin' utama pencetak kebutuhan yaitu para guru untuk vokasi masih minim.
Padahal seperti yang disebutkan Muhammad Ramli bahwa di 2020 akan ada 391.644 guru yang pensiun. Belum lagi bila ditarik lebih jauh lulusan SMK, hasil dari pendidikan vokasi, masih menduduki peringkat tertinggi jumlah pengangguran di Indonesia.
*) penulis adalah jurnalis republika.co.id