REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Reiny Dwinanda*
Bahasan soal cross-hijaber baru saja reda. Tiba-tiba, Bubah Alfian, seorang pria yang dikenal sebagai perias profesional, mendandani dirinya menyerupai artis Melly Goeslaw.
Bubah berpakaian seperti itu ke acara pesta Halloween. Teman-temannya dari kalangan artis sontak tertawa begitu melihat Bubah dengan busana serba hitam, lengkap dengan jilbab dan topi putih. Mereka langsung bisa menerka tokoh yang disimbolkan oleh penampilan Bubah.
Melly pun murka melihat Bubah melalui rekaman video Insta Stories dari penyanyi Vidi Aldiano yang ikut pesta Halloween tersebut. Menurut Melly, Bubah lebih mirip pocong hitam alih-alih dirinya.
Melly juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap sesama penyanyi yang menertawakan ciri khas penampilannya yang dijiplak Bubah pada akhir Oktober lalu.
Melly menganggap tindakan Bubah sama sekali tidak baik, apalagi yang ditirukannya ialah sosok yang sudah berhijrah dan ditampilkan di acara seperti itu. Lewat akun Instagram-nya, Bubah kemudian meminta maaf dan mengaku menirukan Melly atas dasar kekaguman.
Dari waktu ke waktu, Halloween memang mengalami pergeseran makna berikut cara orang memperingatinya. Aslinya, menurut laman History, Halloween bermula dari festival kuno kaum pagan Samhain Celtic di Eropa Barat Tradisi itu ditandai dengan menyalakan api unggun dan mengenakan kostum untuk mengusir setan.
Lalu, gereja merayakan peringatan hari "All-Saints" atau "All-Hallows" pada siang hari 31 Oktober dan pada malamnya mereka merayakan "Hallows-Eve" (Malam Suci/Keramat) atau "Halloween".
Menurut History, pada awal abad ke-20 dan seterusnya, orang terkadang memakai kostum yang menggambarkan budaya dan ras lain dengan cara yang bisa disebut tidak peka dan cenderung rasis. Orang-orang Amerika ada juga yang menggunakan turban dan simbol-simbol lain dari "Timur Jauh," yang mencerminkan ketertarikan kontemporer terhadap Mesir sebagai tempat "eksotis".
Saat Halloween, sampai sekarang tetap saja ada orang kulit putih Amerika yang menghitamkan wajahnya demi menggambarkan orang Afrika-Amerika dalam tradisi yang mendalami sejarah rasisme.
Kembali ke Melly, vokalis Potret itu benar ketika ia mengatakan kejadian yang melibatkan Bubah harus menjadi pelajaran untuk tidak serampangan dalam membawakan diri, termasuk dalam memilih tampilan untuk pesta kostum sekalipun.
Sustainable fashion?
Sebelum Bubah dengan jilbab Halloween-nya muncul, pakaian Muslimah juga sempat jadi perbincangan menyusul unggahan salah seorang pengguna media sosial dengan judul "Masih Muslimkah Jika Berpartisipasi Merusak Alam?" Penulis beropini busana syar'i, apalagi niqab dan burka, berpotensi merusak alam. Dia kemudian menyoroti bahan sintetis yang digunakan untuk memproduksi busana Muslimah, pemakaian bahan yang lebih banyak untul membuat busana Muslimah syar'i, serta kebiasaan belanja baju baru.
Faktanya, menurut Ellen MacArthur Foundation, industri fashion memang menghasilkan emisi gas yang lebih merusak dibanding gabungan industri pelayaran dan penerbangan. Di lain sisi, EDGE Fashion Intelligence mengungkapkan bahwa hampir 75 persen dari pasar fashion dunia terkonsentrasi di Eropa, Amerika Serikat, China , dan Jepang.
Kira-kira berapa banyak dari warga di sana yang pakai busana Muslim ya? Sepertinya, bukan isu lingkungan hidup yang jadi fokus si penulis. Apalagi, di ujung tulisannya, ia menyebut "segala tetek-bengek mengenai konsep menutup aurat".
Lewat aneka tagar yang disematkannya, arah tulisan dia menjadi makin jelas: #dehijabisasi #dejilbabisasi #deniqabisasi #pedulivitaminD #kembenitumenutupaurat.
Ah, kamu!
Larangan cadar bagi ASN
Wacana pelarangan cadar di lingkungan ASN menyeruak. Menteri Agama telah meminta polemik itu disudahi karena sejatinya ia hanya menyampaikan bahwa pengunaan cadar tidak ada ketentuan yang jelas di dalam Alquran dan hadis.
Menteri Agama menyebut, pihaknya tidak melarang, tidak juga menganjurkan. Namun, sebelumnya ia kerap menyampaikan soal radikalisme, terutama umat Islam.
Arah pembicaraan lalu berubah ke penggunaan cadar dan celana cingkrang di kalangan aparatur sipil negara (ASN) ketika Menag memberikan pidato dalam salah satu acara kementeriannya. Kala cadar dikaitkan dengan radikalisme dan ekstremisme, saya khawatir yang muncul adalah stigma. Terlebih, Muslimah Indonesia punya sejarah pahit dalam perjuangannya untuk menuntut hak berpakaian sesuai tuntunan agamanya.
Terlepas segelintir saja yang menggunakanya, wacana pelarangan cadar sungguh mengusik ketenangan Muslimah Indonesia. Sepengamatan saya, pengguna cadar mengenakannya dengan beragam motivasi. Jumlah penggunanya bertambah, terlebih setelah desainer mulai marak menghadirkan rancangan busana Muslimah lengkap dengan cadarnya.
Menarik untuk melihat ke arah mana Indonesia bergerak. Akankah mengekor Prancis, Italia, Belgia, Belanda, Kamerun, Kongo, Aljazair, Swiss, atau Denmark yang melarang cadar maupun burka?
*) penulis adalah wartawan republika.co.id