REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nora Azizah*
Beberapa waktu lalu PT Bank Central Asia (BCA) mengungkapkan, pertumbuhan kredit konsumsi untuk jenis Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) lesu. Kredit mobil menurun, terutama di kota-kota besar. Pada Kuartal ke tiga 2019, kredit kepemilikan kendaraan bermotor di BCA turun dua persen secara tahunan menjadi Rp 47,8 triliun.
Bepergian dengan menyewa transportasi daring disebut sebagai salah satu faktor penyebabnya. Tak hanya itu, bergulirnya transportasi umum modern, seperti kereta cepat MRT juga kian diminati banyak orang. Nampaknya, ramai-ramai naik angkutan umum yang kian mencerminkan generasi milenial tengah membumi.
Orang-orang seolah ogah naik kendaraan pribadi. Tak perlu lagi bangun pagi ke kantor menyetir mobil sendiri demi menghindari macet. Pergi ke kantor kian nyaman dengan moda transportasi ber-AC tanpa harus terjebak stres menyetir mobil sendirian.
Mungkin bagi mereka yang belum punya kendaraan pribadi pun menolak beli mobil. Buat apa beli mobil mahal, toh ada Gojek atau Grab yang bisa disewa. Mobil-mobil yang disediakan tak kalah bagus, dan harga yang ditawarkan bisa menghemat kantong.
Apa yang digambarkan BCA tidak salah. Para pelaku industri otomotif sudah mulai ketar ketir sejak mobil bisa disewa hanya melalui sentuhan jari. Napas mereka tersengal-sengal adu kecepatan menggaet pelanggan.
Di tengah perlombaan 'lari', Kia Mobil Indonesia (KMI) sebagai agen tunggal pemegang merek Kia Motors Corporation asal Korea Selatan, mulai kehabisan napas. Langkah Kia terseok saat bersaing dengan label lain.
Sejak Maret lalu, banyak berhembus kabar Kia akan gulung tikar. Beberapa diler Kia tutup. Ada banyak persepsi merek ini akan pulang kampung ke negara asalnya seperti merek Ford asal Amerika Serikat (AS) yang sudah pergi lebih dulu.
Namun, Kia sepertinya belum akan say goodbye pada pelanggannya di Indonesia. Pasalnya, PT Indomobil Sukses International (ISI) tertarik menggandeng Kia. ISI akan menjadi perusahaan induk yang akan membawahi Kia.
Meski kabar ini sudah ada cukup lama tetapi belum ada rilis resmi yang dikeluarkan dari kedua pihak. Kia juga terlihat masih berusaha membuat dapur pacunya ngebul dengan menjual koleksi lama. Angin segar ini belum bisa dihirup Kia dengan santai.
Di tengah langkah Kia yang terseok, hal berbeda justru dilakukan General Motors (GM) asal AS yang menjual merek mobil Chevrolet. Tak ingin basa basi, GM langsung menyatakan mundur dari pasar Indonesia pada tahun depan. Keputusan yang diambil Chevrolet seolah menyusul teman satu kampungnya Ford, yang lebih dulu pulang kampung pada 2016 lalu.
Dalam keterangan resmi GM yang dirilis akhir Oktober lalu, keputusannya hengkang dari Indonesia dinilai sangat realistis. GM mengakui bahwa pihaknya tidak memiliki segmentasi pasar di Indonesia yang memberikan keuntungan secara berkesinambungan. Pelemahan harga komoditas dan tekanan mata uang asing disebut menjadi faktor yang mempengaruhi.
Meski pamit dari panggung otomotif Indonesia, GM tetap memberikan layanan purna jual hingga servis bagi pemilik Chevrolet. Pihaknya mengungkapkan bahwa penutupan dilakukan hanya sebatas penjualan mobil. GM masih menggelar karpet layanan perawatan dan perbaikan.
Keputusan Chevrolet pergi dari Indonesia bisa disebut tidak mengagetkan. Gejala angkat kaki sebelumnya sudah ditunjukkan Chevrolet jauh hari, sekitar empat tahun lalu. Saat itu, GM menutup pabrik produksinya di Bekasi, Jawa Barat. Sejak ditutup GM Indonesia berubah haluan bisnis, yakni dari pemanufaktur menjadi importir.
Tak hanya dari penutupan pabrik, aba-aba Chevrolet akan pergi juga ditegaskan dari sikapnya yang menjauh. Chevrolet tak pernah lagi mengeluarkan tipe baru. Bahkan, diajang Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS), Chevrolet tak lagi muncul.
Banyak yang bertanya memang, dan penasaran dengan GM yang tak lagi suka kumpul-kumpul dengan sesama merek otomotif. Wajar saja bila prediksi gulung tikar disematkan pada Chevrolet.
Pamit dari Indonesia tentu saja menyisakan rasa tidak nyaman bagi penggemar setia Chevrolet. Mobil ini memang bukan kaleng kaleng, dan penggemarnya di Indonesia pun tak sedikit. Tapi apa boleh buat, perputaran roda bisnis harus terus berjalan.
Meski ada yang merelakan kepergiannya, ada pula yang menyayangkan. Ada pula yang berharap Chevrolet hanya mudik, dan akan kembali setelah menemukan strategi dan produk yang sesuai dengan pasar Indonesia. Chevrolet tetap diharapkan bisa ngaspal kembali di jalanan Tanah Air.
Bila mencoba berpikir lebih spesifik, kepergian para merek mobil konvensional ini juga dipertanyakan. Apakah ini terjadi karena mobil listrik yang akan masuk ke Indonesia. Pilihan angkat kaki lebih awal dianggap tepat, daripada bertahan dengan tertatih.
Atau, ada apakah dengan Indonesia? Kredit mobil yang lesu kemudian produsen mobil-mobil memilih tidak lagi setia. Mungkinkah gaya hidup naik mobil pribadi sudah tak lagi dilirik penduduk kota?
*) penulis adalah jurnalis republika.co.id