REPUBLIKA.CO.ID, oleh Gita Amanda*
Rabu (13/11) lalu, Polrestabes Medan mengalami serangan terorisme. Pelaku melakukan aksi bunuh diri dengan meledakkan diri di depan Polrestabes. Beberapa waktu lalu, Menteri Politik Hukum dan HAM, Wiranto, juga mengalami aksi serangan teror.
Setiap ada peristiwa teror, tentu berita mengenai aksi tersebut akan di-running sepanjang waktu hampir di semua stasiun televisi. Belum lagi media sosial yang menampilkan berita-berita terkait ini dengan lebih terbuka lagi. Video dan foto terkait aksi teror pun menyebar dengan luas, cepat dan mudah diakses. Mudah diakses semua kalangan termasuk anak-anak dan remaja.
Dengan bombardir berita serta informasi terkait teror, bukan tak mungkin suatu saat anak bertanya tentang aksi yang menjadi pemberitaan banyak media itu. Dilansir dari BBC News, Psikolog Klinis Spesialis Anak dan Trauma, Emma Citron, mengatakan keluarga atau orang tua tak boleh menghindari pembahasan mengenai aksi teror.
Orang tua hendaknya memberikan fakta-fakta dasar kepada anak tentang peristiwa tersebut. Hanya saja sesuaikan dengan usia anak dalam memberikan penjelasan dan gunakan bahasa sederhana.
Dikutip Parents.com, CEO American Academy of Pediatrics Karen Remley mengatakan untuk anak usia empat tahun apa yang ada dipikiran mereka hanya sebatas ada orang jahat atau baik. Jadi orang tua bisa mengatakan, ada beberapa orang jahat yang marah dan melukai orang lain. Jika anak bertanya mengenai aksi teror yang diberitakan banyak media.
Sementara untuk anak yang lebih besar atau remaja, orang tua bisa menanyakan dahulu informasi apa yang sudah mereka terima. Mungkin meski membatasi tayangan televisi di rumah, anak usia besar sudah bisa mendapat informasi dari sumber lain entah teman atau media sosial.
Baru setelah itu, ajak anak berdiskusi dan tanyakan ke mereka apa yang mereka ingin ketahui mengenai peristiwa teror yang mereka dengar. Jika sudah berbicara, jangan berhenti saat itu saja, penting untuk menanyakan ke anak kembali terkait hal ini. Sebab bisa saja mereka mendapat informasi lain yang salah dari teman mereka.
Tapi yang juga perlu diingat, walau berbicara aksi teror ini penting. Orang tua juga harus menghindari detail-detail kejadian yang tak diperlukan. Misalnya menggambarkan adegan, kronologi atau pertumpahan darah yang terjadi. Sebab itu bisa membuat anak trauma dan merasa takut.
Orang tua justru, menurut Citron, harus menyampaikan banyak kalimat postif yang menenangkan dan meyakinkan anak bahwa mereka aman. Ini agar anak tak perlu merasa takut beraktifitas atau menjalani kehidupan normal.
Beritahu anak, bahwa pihak keamanan sudah mengatasi hal ini sehingga situasi sudah aman. Yakinkan mereka bahwa pihak berwajib juga pasti telah meningkatkan keamanan.
Untuk orang tua Muslim, penting juga mengingatkan anak bahwa aksi terorisme tak ada hubungannya dengan agama. Apalagi selama ini aksi teror kerap dikaitkan dengan umat Muslim. Sampaikan pada anak, bahwa semua agama yang ada tentu tak memperbolehkan perbuatan yang menyakiti orang lain layaknya aksi para peneror. Sehingga penting mengingatkan anak bahwa para peneror tak mewakili agama apapun.
Terakhir, jika anak-anak mengalami ketakutan berlebih akibat aksi teror, ada baiknya orang tua membawanya ke ahli. Ini supaya trauma anak tak berkelanjutan dan dapat segera ditangani.
*) penulis adalah jurnalis republika.co.id