REPUBLIKA.CO.ID, oleh Muhammad Hafil*
Permintaan evaluasi pelaksanaan pilkada langsung bukan hanya terjadi pada saat ini. Di mana, evaluasi terkait dengan dampak pilkada langsung yang dinilai lebih banyak memunculkan mudharatnya dari pada manfaatnya. Di antaranya memunculkan perilaku korup para kepala daerah dan potensi terjadinya politik uang.
Pada 2014 misalnya, evaluasi pilkada langsung bukan hanya pada tataran wacana. Tetapi, sudah menjadi undang-undang. Di mana pada saat itu, mayoritas anggota DPR memilih untuk mengganti pilkada langsung menjadi pilkada yang dipilih oleh DPRD provinsi/kabupaten/kota.
Pada saat itu, yang meminta revisi UU Pilkada yang mengatur Pilkada Langsung dari pemerintah yaitu Kemendagri. Kementerian yang pada saat itu dipimpin oleh Gamawan Fauzi menilai Pilkada Langsung memunculkan banyak mudharat.
Gayung bersambut, usulan revisi UU Pilkada itu disetujui oleh mayoritas politikus DPR. Sebanyak 226 suara memilih pilkada melalui DPRD. Mereka adalah adalah Fraksi Golkar: 73 orang, Fraksi PKS: 55 orang, Fraksi PAN: 44 orang, Fraksi PPP: 32 orang, Fraksi Partai Gerindra: 22 orang.
Sedang yang memilih Pilkada Langsung hanya 135 anggota. Mereka adalah: Fraksi Golkar: 11 orang, Fraksi PDIP: 88 orang, Fraksi PKB: 20 orang, Fraksi Hanura: 10 orang, Fraksi Demokrat: 6 orang.
Namun, pada saat itu penulis melihat lebih terlihat unsur politisnya dari pada mencari solusi agar pilkada tak memunculkan perilaku korup. Yaitu, partai-partai yang setuju pilkada melalui DPRD tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP). Jika pilkada melalui DPRD, maka koalisi ini dapat membendung pengaruh partai penguasa yaitu PDIP di lingkup daerah. Sehingga, bersatunya KMP di daerah-daerah bisa menentukan kepala daerah dari kalangannya sendiri.
Selain itu, pilkada kembali ke DPRD juga dinilai sebagai sebuah kemunduran. Akhirnya, banyak pihak yang menentang undang-undang yang baru itu. Sampai akhirnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang ada di masa akhir jabatannya mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Dan, akhirnya pilkada kembali tetap langsung hingga saat ini.
Pada 2019 ini, wacana pengambalian pilkada ke DPRD juga dilontarkan oleh Mendagri Tito Karnavian. Sama seperti alasan sebelumnya, wacana pengambalian pilkada ke DPRD ini lantaran keprihatinan atas banyaknya kepala daerah yang ditangkap KPK. Di mana, biaya besar untuk pilkada langsung membuat kepala daerah terpilih harus mengembalikan modalnya, namun melalui jalan korupsi.
Namun, wacana itu sepertinya tak mendapat tanggapan dari DPR. Karena, tahapan Pilkada 2020 sudah berjalan. Dan, Presiden Jokowi juga menginginkan pilkada tetap langsung.
Dan sekarang yang menjadi masalah adalah, bagaimana caranya agar kepala daerah tidak lagi korupsi. Menurut penulis, perilaku korup bukan masalah karena masalah pilkada langsung atau melalui DPRD.
Jika melalui DPRD, apakah benar-benar tak ada transaksi politik uang di sana? apalagi melihat perilaku para wakil rakyat ini. Untuk pengesahan APBD tiap tahun saja ada yang namanya 'uang ketok palu' (berdasarkan kasus yang terungkap di KPK), apalagi untuk memilih seorang kepala daerah.
Menurut penulis, untuk mencegah terjadinya perilaku korup kepala daerah bisa dilakukan melalui dua cara. Pertama cara moralitas.
Di mana, kepala daerah harus benar-benar memahami bahwa perilaku korup, //mark up anggaran, penyalahgunaan anggaran, menerima suap, adalah benar-benar perilaku amoral. Apalagi, mereka setiap dilantik selalu disumpah berdasarkan agamanya masing-masing. Mereka harus sadar bahwa perilaku korup mereka merugikan dan memiskinkan rakyat dalam jangka waktu yang sangat panjang.
Namun, jika memang sulit mendapatkan kepala daerah yang memiliki moral baik dan menolak segala perilaku korup, maka harus benar-benar dengan cara teknis.
Harus ada sistem yang benar-benar mencegah kepala daerah untuk mengambil keuntungan melalui jalan kotor dari jabatannya. Misal, memperkuat fungsi pengawasan dan membangun sistem pencegahan korupsi dalam proses penganggaran perizinan, serta pengadaan.
Kemudian, jika memang pilkada harus langsung, maka sebaiknya ada regulasi agar pendanaan pilkada calon kepala daerah dibiayai pemerintah. Ini untuk mencegah tradisi mengembalikan biaya modal politiknya selama kampanye.
Selain itu, partai politik yang mengusung calon kepala daerah harus benar-benar menyeleksi kepala daerah yang benar-benar memiliki integritas. Haramkan budaya mahar politik untuk calon kepala daerah yang diusung.
Selanjutnya, jika cara-cara itu masih memunculkan perilaku korup kepala daerah, maka para penegak hukum agar memberikan hukuman yang benar-benar menjerakan para koruptor. Misalnya, hukuman mati atau hukuman seumur hidup. Sehingga, membuat para kepala daerah lainnya tidak berpikir untuk korupsi.
*) penulis adalah jurnalis republika.co.id