REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ratna Puspita*
Reformasi akan mencapai usia 22 tahun pada tahun depan. Namun, wajah demokrasi di Indonesia justru terancam berkabut hitam. Usulan-usulan untuk membatasi demokrasi justru bergulir kencang pascapemilihan presiden 2019, yang dipenuhi drama, hoaks, dan saling tuding.
Usulan yang belakangan ini muncul adalah pemilihan presiden langsung dan pemilihan kepala daerah langsung. Isu-isu muncul dan menggelinding di ruang publik sehingga mengundang banyak orang untuk berkomentar.
Usulan pemilihan kepala daerah langsung muncul setelah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengungkapkan soal evaluasi pilkada langsung yang banyak mudaratnya.
Tito melontarkan hal tersebut menyusul pengalamannya sebagai anggota polisi. Tito adalah jenderal pensiunan polisi yang pernah turut mengamankan Papua dan Jakarta serta Indonesia sebagai kepala Polri.
Dalam pengalamannya mengamankan pilkada, Tito menilai pemilihan kepala daerah langsung membutuhkan biaya yang sangat besar. Biaya yang dimaksud Tito bukanlah yang dikeluarkan oleh negara, melainkan juga oleh pasangan calon yang maju.
Tito menilai besarnya biaya yang keluar itu menyebabkan pasangan calon kemudian mencari cara untuk menggantinya ketika terpilih. Dalam konteks ini, Tito berbicara terkait dengan penangkapan-penangkapan kepala daerah dalam kasus (dugaan) korupsi. Pernyataan Tito kemudian dianggap sebagai sinyal untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD.
Belum tuntas perdebatan soal apakah pemilihan kepala daerah seharusnya dikembalikan ke DPRD atau tetap demokrasi ditentukan oleh rakyat, muncul usulan soal pemilihan presiden tidak langsung.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU KH Said Aqil Siradj menyampaikan aspirasi kiai NU soal pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung saat menerima silaturahmi pimpinan MPR ke Kantor PBNU Jakarta, pada 27 November 2019. Kiai Said mengatakan para ula menimbang dan melihat berdasarkan mudarat dan manfaat pemilihan presiden langsung.
Kiai Said mengatakan pemilihan langsung berbiaya tinggi. Bukan hanya biaya dalam konteks uang yang dikeluarkan, tetapi juga biaya sosial ada konflik yang sangat mengkhawatirkan dan mengancam.
Usulan pemilihan tidak langsung alias melalui MPR pun mengemuka. Yang kebetulan, berbarengan dengan rencana MPR RI mengamandemen UUD 1945. Rencana amandemen ini memang masih sebatas mengumpulkan aspirasi dari masyarakat.
Namun, amandemen UUD 1945 juga menjadi bola liar dari yang awalnya soal menghadirkan kembali garis-garis besar haluan negara atau GBHN menjadi ke soal jabatan presiden. Selain soal langsung atau tidak langsung, usulan yang berkembang adalah masa jabatan presiden, yakni tiga periode atau satu periode dengan memanjangkan waktu menjabat.
Khususnya usulan-usulan pemilihan langsung, baik di kepala daerah dan kepala pemerintahan, adalah upaya memundurkan demokrasi. Bagi saya, demokrasi di tangan rakyat tetap lebih baik ketimbang menyerahkan mandat ini kepada DPRD yang pilihannya belum tentu sesuai dengan rakyat.
Ada banyak kontestasi kepala daerah yang menunjukkan bahwa pilihan rakyat soal kepala daerah tidak selalu seiring dengan dukungan partai terbanyak di DPRD. Kondisi ini menunjukkan pilihan rakyat soal wakil mereka di dewan tidak lantas menunjukkan rakyat percaya pada pilihan mereka soal kepala daerah. Keduanya adalah hal yang berbeda. Jadi, biarkan rakyat berdaulat.
Pemilihan di DPRD juga menunjukkan kebutuhan lobi-lobi elite. Lihat saja pemilihan wakil gubernur DKI yang berlarut-larut di DPRD DKI. Sandiaga Uno sudah mundur dari kursi wakil gubernur DKI sejak tahun lalu.
Nama calon wakil gubernur sudah diserahkan ke DPRD pada awal tahun ini. Namun hingga anggota DPRD berganti dan dilantik kembali, pemilihan calon wakil gubernur belum menemui titik temu.
Alasannya? Lobi politik. Saya sebagai rakyat menjadi sangat malas menyerahkan mandat memilih pada lobi-lobi segelintir elite. Kalau para elite politik itu mau melakukan lobi-lobi yang entah berisi kepentingan apa, silakan ajak rakyat dalam lobi ini. Rakyat bisa terlibat dalam pemilihan langsung.
Segala mudarat yang disebutkan oleh sejumlah tokoh, yakni ongkos yang mahal baik dari politik maupun sosial, dan potensi korupsi, bukan datang dari pemilihan langsung. Hal itu datang dari mental bangsa ini. Silakan telaah lagi kenapa ongkos politik dari sisi calon menjadi sangat besar dan ongkos sosialnya menjadi sangat menguras emosi.
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul soal ini, yakni kenapa kontestasi tidak berjalan adil? Kenapa partai politik tidak melakukan kaderisasi sehingga tokoh daerah benar-benar membangun kepopulerannya bertahun-tahun sebelum mencalonkan diri? Kenapa masih ada calon yang melakukan politik uang?
Kenapa masyarakat menjadikan politik seperti pilihan personal dan bukan rasional? Kenapa masyarakat kita mudah percaya hoaks? Ada pertanyaan-pertanyaan lain yang mungkin menunjukkan masalahnya bukan pada pemilihan langsung atau tidak langsung.
Daripada mengusulkan pemilihan tidak langsung yang mencabut hak rakyat dalam berdemokrasi, kenapa tidak sekalian saja mengganti negara ini menjadi negara monarki supaya oligarki politik makin leluasa.
*) penulis adalah jurnalis republika.co.id