Senin 09 Dec 2019 12:53 WIB

BUMN: Akhlak Dahulu Baru Ilmu

Jika tak mengubah kultur, maka BUMN akan menggali kuburan sendiri.

Abdullah Sammy
Foto: Republika/Daan Yahya
Abdullah Sammy

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdullah Sammy, wartawan Republika

Hampir sepekan terakhir, berita seputar Harley-gate di Garuda menyita perhatian kita semua. Sebuah berita yang sejatinya tak diharapkan terjadi.

Namun apa lacur, nasi sudah menjadi bubur. Sanksi tegas pun sudah diambil Kementerian BUMN. Pada titik ini rasanya kita perlu memberi apresiasi tinggi pada jajaran Kementerian BUMN yang secara tegas, profesional, dan transparan merespons kasus di tubuh Garuda ini.

Memang, sebuah masalah akan selalu menjadi liablitas bagi perusahaan. Apalagi yang menyangkut masalah etika di sebuah perusahaan jasa transportasi. Tapi jika masalah dapat diatasi, liabilitas itu bisa berubah menjadi oportunitas atau bahkan aset.

Ilmu manajemen strategik selalu mengaitkan etika dengan proses dan performa organisasi. Etika mempengaruhi proses organisasi. Sedangkan proses organisasi yang baik menjadi syarat untuk menghasilkan performa organisasi yang baik pula.

photo
Petugas mengecek barang bukti temuan Motor harley Davidson saat konferensi pers di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (5/12).

Sebagai contoh, kita dapat menggunakan pendekatan Robert Kaplan dan David Norton yang tertuang dalam Balance Scorecard yang memakai empat tahapan, learning, business process, customers, dan financial. Puncak dari yang dituju sebuah perusahaan adalah performa finansial alias ketuntungan. Untuk mencapai keuntungan, maka perusahaan penerbangan mesti terlebih dahulu memenuhi level kepuasan konsumen. Kepuasan konsumen diperoleh setelah berhasil menciptakan 'proses bisnis' yang baik. Dan proses bisnis yang baik diawali level pemahaman dan 'pendidikan' internal staf yang baik tentang etika.

Jika dari level staf saja sudah dibiasakan terlibat dalam praktik pelanggaran etika, maka yang terjadi proses bisnisnya akan tidak baik. Ini akan berimbas pada kepuasan customer yang rendah hingga puncaknya performa finansial yang rendah pula. Walhasil persoalan etika menjadi ancaman bagi BUMN yang selama puluhan tahun selalu dimanjakan dengan monopoli dan proteksi dari pemerintah.

Dahulu BUMN, terutama di public service, memang orientasinya lebih pada sisi internal yang penuh SOP dan budaya hirarkis tanpa fokus pada eksternal, yakni kepuasan konsumen dan keuntungan. Hal itu karena faktor eksternal BUMN sudah diproteksi dan dijamin oleh monopoli yang diatur undang-undang.

Tapi kini, era sudah berganti. Era proteksi dan monopoli sudah terdisrupsi kemajuan teknologi. Sebagai contoh, listrik yang selama ini dimonopoli PLN, sudah mulai muncul teknologi tenaga matahari yang mulai dijual oleh berbagai perusahaan swasta. Jika tak berinovasi untuk memuaskan konsumen, PLN terancam ditinggalkan.

photo
Perusahaan Listrik Negara/PLN (ilustrasi)

Apabila BUMN tidak mengubah kultur dari birokratik menjadi business oriented, maka akan menjadi tindakan menggali lubang kuburan sendiri. Dan syarat untuk menjadi business oriented adalah dengan inovasi dan service yang baik kepada konsumen.

BUMN mesti menjadi customer oriented bukan lagi government oriented. Kita tahu bersama dunia bisnis telah memasuki era yang disebut banyak ahli ekonomi sebagai VUCA (Volatility/, Uncertainity, Complexity, dan Ambiguity). Dunia bisnis mudah berubah, penuh ketidakpastian, kompleksitas, dan ambiguitas.

Situasi ini yang sejatinya menyulitkan perusahaan untuk menetapkan strategi bisnis. Situasi yang membuat perusahaan semakin sulit untuk mempertahankan keunggulan bersaing mereka (keunggulan kompetitif). Hal yang sejatinya menjadi tantangan pula bagi BUMN di tengah disrupsi. Disrupsi jelas menuntut BUMN untuk semakin aktif bergerak organik bukan birokratik. BUMN harus proaktif bergerak bukan terjerumus pada inersia.

Karena itu, di tengah era VUCA perusahaan dituntut memiliki kapabilitas dinamik (dynamic capabilities) untuk bisa mencapai keunggulan kompetitif. Kapabilitas dinamik bersumber dari internal perusahaan sendiri. Sumber daya (resources) yang ada dalam perusahaan mesti punya agilitas untuk menghadapi segala kondisi dan kemungkinan.

Karenanya kata-kata, 'innovate or die', menjadi prinsip yang mutlak dicamkan oleh setiap perusahaan. Perusahaan penguasa pasar (incumbent) bisa tumbang dalam sekejap jika tak memiliki agilitas dalam merespons perubahan. Dasar (core) untuk menciptakan agilitas itu adalah kompetensi dan kapabilitas personel.

photo
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir.

Perusahaan harus memiliki sumber daya yang kompeten sekaligus kapabel di bidangnya untuk mencapai keunggulan kompetitif (competitive advantage). Kompetensi dan kapabilitas ditopang prinsip bernama etika atau sering disebut Menteri BUMN sebagai akhlak.

Tidak mungkin tercipta kompetensi dan kapabilitas jika minus akhlak. Tanpa akhlak, maka perusahaan tak akan mampu bersaing di era penuh ketidakpastian. Jadi bisa disimpulkan tiga K (kompetensi, kapabilitas, dan kompetitif mustahil terlaksana tanpa akhlak alias etika.

Sebaliknya, akhlak akan melahirkan kompetensi, kapabilitas, dan keunggulan kompetitif BUMN untuk bersaing di era VUCA. Karena itu, sangat beralasan jika Erick Thohir selalu menyinggung soal akhlak yang mesti dimiliki seluruh elemen BUMN. Sebuah prinsip yang sejatinya sama dengan prinsip yang diajarkan agama, 'akhlak dahulu baru ilmu'.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement