REPUBLIKA.CO.ID, oleh Teguh Firmansyah*
Kabar putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, memutuskan maju dalam persaingan Pilkada di Kota Solo, cukup membuat saya sedikit terkejut. Keterkejutan saya lebih ke soal waktu, yakni begitu cepatnya Gibran memutuskan langsung maju ikut pilkada, tanpa ikut pengaderan partai, atau terlibat di parpol terlebih dahulu.
Seperti kita ketahui, Gibran lebih banyak dikenal orang sebagai sosok pengusaha muda. Pria yang baru berusia 32 tahun ini berhasil membangun usaha katering Chilli Pari dan terakhir usaha martabak, Markobar yang cukup terkenal.
Pada 2017, wartawan pernah menanyakan minatnya untuk terjun ke politik, saat itu ia mengaku masih ingin membesarkan bisnisnya. Tak ada satu kata pun yang menegaskan ia akan terlibat di politik. Pada 2018, ia juga mengaku masih belum berminat terjun ke politik.
Oleh sebab itu, pengalaman Gibran dalam kancah politik boleh terbilang sangat minim. Ia bahkan baru mendaftar ke PDIP baru-baru ini, sebagai syarat untuk mencalonkan diri sebagai wali kota.
Dialekta dalam berdiskusi dan memetakan persoalan Gibran juga masih harus diuji. Apakah ia benar-benar paham, masalah sebenarnya yang terjadi di Kota Solo? Apakah ia paham soal sistem perpolitikan kedaerahan? Apakah ia paham dengan sistem politik nasional?
Jika ia paham, apakah ia bisa menjelaskan persoalan itu ke publik dengan baik? Bagaimana cara merangkul dan berhubungan langsung dengan massa akar rumput, dan semua itu membutuhkan pengalaman dan jam terbang.
Gibran mengingatkan saya kepada sosok Agus Harimuthi Yudhoyono (AHY). AHY yang boleh terbilang minim pengalaman, langsung bersaing dengan sejumlah politikus ternama seperti Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Pilkada DKI pada 2017 lalu.
Sentimen terhadap AHY awalnya cukup bagus. Ia disebut unggul di berbagai lembaga survei. Tak sulit orang mengenal AHY. Ia adalah putra Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga ketua umum serta pendiri Partai Demokrat.
Namun dukungan itu perlahan bergeser saat debat kandidat. Pengalamannya yang minim membuat lebih susah untuk menjabarkan ide dibandingkan pesaing-pesaingnya, seperti Anies dan Ahok. Alhasil, ia pun harus menelan pil pahit kegagalan, dan itu menjadikan pelajaran berarti buatnya.
Gibran memang bukan AHY. Tapi keduanya punya kesamaan, sama-sama putra presiden, dan sama-sama minim pengalaman di dunia politik.
Gibran kini seperti mencoba mengambil momentum dari posisi sang ayah yang juga Presiden RI. Meski Jokowi membantah majunya Gibran adalah 'penunjukkan', tapi tak dapat ditampik jika ia menggunakan pengaruh sang ayah untuk maju.
Siapalah Gibran jika bukan faktor Jokowi? Siapalah Gibran yang bisa bertemu langsung Ketum PDIP Megawati didampingi Hasto kalau bukan putra presiden?
Gibran memang punya keuntungan dibanding AHY. Ini mengingat Kota Solo yang merupakan basis merah dan pendukung utama Jokowi. Artinya, jika ia maju dan dapat rekomendasi dari Mega, akan lebih mudah menang dibandingkan harus bersaing di kota besar seperti Jakarta.
Namun sekali lagi, dari sisi kualitas apakah Gibran memiliki kemampuan itu?
Gesekan internal
Langkah Gibran mau tidak mau juga membuat gesekan internal di PDIP Solo. Karena DPC PDIP Solo sendiri telah menetapkan pasangan Ahmad Purnomo-Teguh untuk berkontestasi di Pilwalkot Solo 2020.
Ahmad Purnomo merupakan wakil wali kota saat ini. Sang wali kota yang juga Ketua DPC PDI Perjuangan Solo FX Hadi Rudyatmo juga telah menyatakan dukungannya buat pasangan Purnomo-Teguh.
FX Hadi Rudyatmo, bulan lalu pernah menegaskan menjadi preseden buruk jika DPP PDI Perjuangan merekomendasikan Gibran Rakabuming Raka ikut Pilwakot Solo 2020.
Pasalnya, hal itu bertentangan dengan Peraturan Partai (PP) Nomor 24 Tahun 2017 tentang Proses Penjaringan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dalam PP itu diatur bahwa pasangan calon wali kota dan calon wakil wali kota ditentukan melalui penjaringan oleh DPC partai.
Survei yang dilakukan Median teranyar juga menyebut tingkat popularitas Purnomo lebih tinggi dibandingkan Gibran. Artinya dari sisi pengalaman, modal politik (loyalitas) di PDIP, dan kedekatannya dengan massa akar rumput Purnomo jauh lebih unggul dibanding Gibran.
Inilah mengapa, jika pusat memutuskan Gibran sebagai calon wali kota dan menyingkirkan Purnomo, maka benih-benih konflik itu akan semakin kuat. Kalaupun saat ini dapat diredam, bisa jadi suatu saat akan meletus.
Membangun Dinasti
Ada spekulasi menyebut majunya Gibran adalah upaya untuk membangun dinasti politik Jokowi. Namun menurut saya kondisi itu masih cukup jauh.
Apa sebab? Karena Jokowi di PDIP bukanlan pembuat keputusan penting seperti halnya SBY di Partai Demokrat.
Sosok yang paling penting di partai moncong banteng ini adalah Megawati. Dan ia sudah punya penerus, salah satu yang cukup menonjol adalah Puan Maharani yang saat ini menduduki posisi ketua DPR.
Artinya selama Megawati masih cukup berpengaruh, maka sulit untuk membangun sebuah dinasti. Karena tidak mungkin ada dua matahari kembar dalam satu partai.
Kecuali, jika Jokowi mengambil keputusan politik dengan membangun partai baru, dan melibatkan putra-putranya dalam struktur partai. Maka terciptanya suatu dinasti politik akan sangat mungkin terjadi.
Pengamat politik LIPI Wasisto Raharjo Jati sebelumnnya juga menilai peluang Presiden Joko Widodo membangun dinasti politik masih kecil. Peluang itu kecil, karena Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri belum memberi ruang bagi lahirnya potensi dinasti politik Presiden.
Sekarang memang kuncian ada di Megawati. Karir Gibran maju Pilkada lewat PDIP akan sangat bergantung oleh 'Mama Banteng'. Pertanyaannya apakah Mega akan mengikuti rekomendasi dari DPC PDIP Solo yang mengajukan Achmad Purnomo-Teguh? Atau Mega memilih memutuskan putra sulung sang presiden? Hanya Mega yang bisa menjawab itu.
Tapi pastinya Gibran mesti banyak belajar dalam dunia perpolitikan dan pemerintahan. Karena segala sesuatunya tidak bisa diperoleh dengan jalur instan dan cepat. Politik tidaklah seperti membuat martabak.
*) penulis adalah jurnalis republika.co.id