REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nora Azizah*
Pagi ini sambil menunggu kereta, iseng beli cilok gerobak pinggir jalan. Rintik hujannya bikin gemes, jadi ga tahan mau ngunyah yang anget-anget. Bincang-bincang selow sama si abang cilok bikin saya ingat dengan si gas melon. Kabarnya, gas tabung warna hijau ini bakal disetop subsidinya.
Sudah diduga, si abang cilok ternyata belum tahu soal ini. Pas ditanya soal subsidi dicabut, dia masih kurang paham. Duh! Tapi pas kata subsidi diganti dengan 'harga gas-nya bakal naek bang!' Walah, dia kalang kabut.
Bagi abang cilok, gas melon sangatlah berarti. Soalnya, untuk menjaga si cilok tetap kenyal dan panas, kompornya harus menyala terus. Otomatis konsumsi gas disedot terus sama si cilok.
Kata si abang, satu tabung gas melon bisa habis dalam sehari. Wagelaseh! Tapi, ini tergantung jam terbang dia dagang juga. Satu tabung bisa habis dalam sehari kalau dia sudah dorong gerobaknya sejak pagi dan rajin ngider pindah-pindah lokasi.
Tapi kalau lagi ga mood, jualan cilok terkadang dimulai siang atau sore hari. Otomatis konsumsi gas berkurang. Jadi, satu tabung kira-kira bisa awet dua hari.
Abang cilok bingung. Saat ini, modal dia agar si cilok terjaga cita rasa kekenyalannya tidak lebih dari Rp 40 ribu sehari. Kalau subsidi dicabut dan harga gas melon meroket Rp 35 ribu per tabung, otomatis modalnya bisa sampai Rp 70 ribu per hari.
Yah, kata si abang, selisih sekitar Rp 30 ribu itu bisa jadi penyelamat buat dia. Selain bisa nambahin uang jajan dan ongkos anak sekolah, atau bisa untuk tambahan bayar kontrakan.
Tapi kalau subsidi dicabut, otomatis modal yang dikeluarkan lebih besar dan berimbas pada keuntungan. Bukannya bisa buat tambahan, tapi justru si abang harus nombok kekurangan modal.
Lagi asik ngobrol sama abang cilok, tiba-tiba abang gorengan di sebelah ikut nimbrung. Sepertinya kata-kata 'gas naek bang!' bikin dia penasaran.
"Emang gas naek, neng? Ya Allaah.." komentar si abang gorengan.
Si abang gorengan sama bingungnya dengan abang cilok. Soalnya, dia harus menjaga minyak tetap panas untuk menggoreng cireng dan kawan-kawannya.
Berhubung kereta sudah datang, saya terpaksa meninggalkan abang cilok dan gorengan yang masih lanjut saling curcol. Mereka ngobrol sambil tukeran icip-icip dagangannya masing-masing.
Saya jadi berpikir soal kegalauan mereka. Sebagai pencinta cilok dan gorengan sejati, saya jadi resah juga nih. Subsidi gas melon bakal mengancam dunia percilokan dan gorengan.
Meski gas naik, sepertinya ga mungkin ya harga cilok dan gorengan ikut naik. Sekarang aja, beli cilok lima rebu isinya dikit bingits bray! Gimana kalo harganya naik?
Saya juga jadi khawatir, bentuk cilok nantinya tak lagi seperti saat ini. Kalau sekarang, satu cilok bisa masuk mulut sekali 'hap'. Tapi, kalau gas melon naik, jangan-jangan sekali gigit bisa masuk dua cilok. Kenikmatan makan cilok makin berkurang, bray!
Tak hanya eksistensi cilok yang akan terancam, gorengan juga. Sebagai penggemar goreng tempe dan ubi, saya khawatir dengan potongan dan ketebalan keduanya.
Sekarang aja kalau digigit lebih terasa tepungnya daripada daging tempe atau ubinya. Gimana kalau gas melon naik? Setipis apakah goreng tempe dan ubi yang dijual nantinya?
*) penulis adalah jurnalis republika.co.id