Jumat 31 Jan 2020 04:31 WIB
islam

Ekspresi Politik Islam dan Nasib Khutbah yang Diseragamkan

Apakah sejarah politik umat Islam akan terulang kembali?

Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang 1920
Foto: Gahetna.nil
Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang 1920

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Pada zaman Orde Lama, ketika Soekarno berada dalam puncak kekuasaan usai dekrit Presiden 1959 ada situasi menarik bagi umat Islam. Suasana politik semakin panas lagi ketika Partai Masyumi dan PSI dibubarkan.  Seoekarno saat itu menafikan demokrasi. Atas nama ‘penyambung lidah rakyat’ dia berkuasa mutlak. Parlemen dibubarkan dan dia berkuasa seumur hidup.

Dalam situasi ini proklamator yang sempat menjadi rekan Soekarno menjadi Wakil Presiden, Moh Hatta, lantang memprotes melalui tulisan yang menyengat berjudul ‘Demokrasi Kita’.  Di artikel ini Bung Hatta sangat marah atas penyelewengan praktik demokrasi di Indonesia. Akibatnya, setelah itu hubungan Soekarno-Hatta yang sudah renggang setelah Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden, makin menjadi. Di publik terlihat kentara keduanya tak akur. Dan situasi makin panas ketika ‘para aktivis kiri’ makin mengomporinya. Tak hanya dengan Hatta, hubungan Soekarno dengan ‘Bung Kecil’ Syahrir juga memburuk.

Umat Islam saat itu juga resah. Ekpresi politiknya  dikebiri dengan adanya keinginan Sukarno untuk memasukannya ke koalisi tiga kaki: Nasionalis, Agama, dan Komunis. Ide Soekarno saat itu keren ingin menciptakan kerukunan nasional untuk memacu derap pembangunan secara revolusioner. Jargonnya yang membahana kala itu: Revolusi Belum Selesai, Hancurkan Kepala Batu!

Namun, ali-alih menyatukan bangsa, kolaisi Nasakom justru memecah, bahkan kemudian memicu situasi hubungan antar kemlompok layaknya minyak dan air. Memang golongan Islam, misalnya Nahdhatul Ulama, awalnya kompak dengan jargon Nasakon itu. Tapi lama-lama gerah, ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) terus membabatnya. Awalnya hanya cari maki biasa, tapi lama kelamaan mulai tawuran massal. Ini mulai marak di tahun 1962-an, ketika NU tersudut dengan isu ‘Tujuh Setan Desa’ dan penguasaan tanah oleh para Kyai di Pesantren akibat UU Pokok Agraria /UU No 5 tahun 1960.

Make setelah tu, NU gerah. Diam-diam dia keluar dari barisan koalisi Nasakom. Sikapnya kemudian tak berbeda dengan Masyumi yang saat itu sudah keluar dan menjadi oposan kekuasaan. Gelar keulamaan kepada Soekarno yang sempat diberikan sebagai ‘wali negeri’ diam-diam hanya dijadikan etalase beku tanpa arti. Dan sebagai akibat sikapnya itu, PKI kemudian makin keras ‘membuly NU’. Saat itu ada ujaran yang sangat kondang yang sebenarnya bermula dari aktivis PNI. Hadi Subeno, di Semarang yang kemudian diamini juga oleh DN Aidit: Waspadalah terhadap kaum sarungan!

Apa efek berikutnya dari kebijakan tersebut. Tentu saja gerak aktivisi Islam diawasi ketat. Khutbah Jumat juga diawasi. Pengajian Buya Hamka dikuntit aparat intelejen negara. Khubtah dan pengajian rutinnya yang berlangsung di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta, diawasi. Puncaknya dalam sebuah acara pengajian untuk menyunatkan anak seorang rekan Masyumi di Banten, Hamka ditangkap. Tuduhannya tidak-main main: Melakukan rapat gelap yang merencanakan makar! Setelah itu Hamka ditangkap. Dia dipenjara tanpa diadili hingga rezin Soekarno jatuh setelah geger berdarah G30S/PKI 1965.

Celaknya, meski rezim telah berganti ekpresi umat Islam tetap saja terbatas. Bung Hatta yang sempat ingin membuat partai berbasis Islam layaknya Masyumi gagal total. Pemerinatah Orde Baru di bawah Jendral Soeharto tak mengijinkannya. Alasannya pun masih sama: Curiga adanya usaha gerilya kembali ke Piagam Jakarta.

Maka kemudian ekpresi politik umat Islam dikebiri kembali. Memang ada awalnya masa Orde Baru. yakni di Pemilu 1971 masih ada partai berbasis Islam yang berdiri, seperti Partai Nahdlatul Ulama, Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Muslimin Indonesia, dan Partai Islam Indonesia (Perti). Namun ini sesuai pemilu ini, kemudian dipaksa untuk melebur dalam satu fusi yakni menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berlambang Ka’bah.

Dan sama dengan zaman Orde Lama, pada saat yang sama ekpresi umat Islam juga mulai diawasi secara ketat. Khutbah diam-diam diawasi. Pengajian juga diintai. Entah dari mana datangnya, riba-tiba ketika seorang kiai hendak memberikan ceramah meski hanya ceramah perkawinan, tiba-tiba didatangi aparat keamaan untuk membatalkannya. Bahkan, situasi ini sempat penulis saksikan secara langsung dalam sebuah acara perkawinan seorang 'Bu Lik' di sebuah kampung di Jawa Tengah.

Dipublik, wacana yang muncul pun tetap sama. Ada petinggi keamanan tetap saja mengatakan dengan terus membangunkan jargon pejoratif lama: Gerilya kembali ke Piagam Jakarta. Ucapan ini dia ucapkan saat memberi komentar tentang pengesahan undang-undang peradilan agama di awal atau menjelang dekade 90-an.

Uniknya saat itu kemudian kondisinya berbalik arah. Entah mengapa Presiden Soeharto memberikan angin kepada ekpresi politik Islam. Maka lahirlah apa yang disebut Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Penguasa saat itu getol membangun masjid hingga bank. Dan pada saat yang sama, golongan yang terus percaya bahwa  tengah ada gerilya kembali ke Piagam Jakarta, berganti  peran dari yang semula berada dalam lingkar kuasaan menjadi kaum oposan Orde Baru. Maka lahirlah Forum Prodemokasi yang kala itu diketuai mendiang Gus Dur.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement