REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ratna Puspita*)
Rancangan Undang-Undang Omnibus Law terkait investasi dan ketenagakerjaan akhirnya diserahkan ke DPR RI pada Rabu (12/2) lalu. Penyerahan ini sekaligus mengubah nama resmi RUU tersebut menjadi RUU Cipta Kerja dari sebelumnya RUU Cipta Lapangan Kerja.
RUU Cipta Lapangan Kerja sempat dipelesetkan menjadi RUU Cilaka. Alih-alih menciptakan lapangan kerja, rancangan beleid ini dikhawatirkan justru berpotensi memberi ancaman bagi pekerja.
Ketua DPR Puan Maharani pun meminta agar RUU ini tidak disebut sebagai RUU Cilaka, melainkan Cipta Kerja. "Jadi, sudah bukan cipta lapangan kerja, cipker singkatannya, bukan cilaka, sudah jadi cipker," ujarnya.
Puan boleh saja berharap atau mengimbau atau meminta. Namun, perubahan nama bukan lantas membuat RUU ini tidak bisa lagi dipelesetkan menjadi cilaka, yang berarti celaka atau mendapat kesulitan, kemalangan, kesusahan, dan sebagainya; malang; sial.
Contoh sederhana, mesin pencari Google juga sudah menghubungkan pencarian RUU ini dengan cilaka. Bukan hanya mesin pencari, hingga RUU ini diserahkan ke DPR RI pada Rabu lalu, ada tiga gelombang serikat buruh yang menggelar aksi di lembaga legislatif tersebut.
Sebelum aksi terakhir pada Rabu kemarin, aksi pertama dilakukan KSBI dan Sejumlah serikat buruh pada 13 Januari silam. Pekan berikutnya, ribuan masa Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) pimpinan Said Iqbal juga melakukan aksi protes serupa. Pesan dalam tiga aksi tersebut sama, yakni: "TOLAK RUU OMNIBUS LAW CILAKA."
Penolakan karena adanya kekhawatiran bahwa RUU ini jika disahkannya bakal menyunat hak-hak yang telah diterima buruh selama ini. Sembilan poin kekhawatiran yang sensitif dan fundamental bagi kalangan pekerja, yakni perubahan jam kerja, sistem kerja, kerja kontrak, outsourcing, upah minimum, dan pesangon. Kemudian, poin yang mengkhawatirkan berikutnya terkait tenaga kerja asing, liberalisasi berbagai sistem kerja yang tadinya long life menjadi flexible employment, lalu menyangkut jaminan sosial.
Para buruh menuntut agar mereka dilibatkan dalam proses pemambahasan RUU Cipta Kerja. Pelibatan juga tidak boleh sekadar formalitas. Buruh yang protes pada Rabu lalu menyatakan penyusunan omnibus law sebelum diserahkan ke DPR terkesan senyap.
Sebab, buruh tidak mengetahui seperti apa proses pembuatan RUU Cipta Kerja di lingkungan pemerintah. Serikat buruh seperti Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) yang mendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Pemilu 2019 tidak pernah mendapatkan draf rancangan tersebut.
Menilik sekilas draf RUU Cipta Kerja, aturan ini seolah memiliki tujuan mulia, yakni menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, sayangnya, penciptaan lapangan kerja ini memfokuskan pada iklim investasi.
Rancangan ini menyebutkan, “Upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan, usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi pemerintah pusat dan percepatan proyek strategis nasional.”
Pada bagian lain tertulis, “memuat kebijakan penciptaan atau perluasan lapangan kerja melalui pengaturan yang terkait dengan peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha.”
Kondisi ini kemudian memunculkan pertanyaan bagaimana pemerintah menyeimbangkan antara kesejahteraan pekerja dan kepentingan investasi atau pemilik modal. Bukan rahasia umum, peningkatan kesejahteraan pekerja, misalnya melalui kenaikan gaji atau pembayaran bonus, sering kali tidak beriringan dengan kepentingan pemilik modal. Sulitnya dua pihak ini untuk beriringan juga terlihat pada setiap pembahasan kenaikan upah minimum setiap tahunnya.
Di sisi lain, Jokowi selaku kepala negara mungkin memang ingin menyelesaikan satu persoalan, yakni investasi. Dengan harapan, penyelesaian persoalan itu akan menyelesaikan masalah pengangguran atau penciptaan lapangan. Tidak bermaksud untuk berpandangan negatif, tapi semoga saja harapan itu terwujud dan bukan justru menjadi cilaka bagi bangsa ini.
*) penulis adalah jurnalis republika.co.id