REPUBLIKA.CO.ID, oleh Teguh Firmansyah*)
Sepekan lalu, Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang baru Yudian Wahyudi membuat pernyataan mengejutkan. Dalam wawancara dengan salah satu media nasional Yudian menyebut Agama adalah musuh Pancasila.
Pernyataannya membuat heboh. Netizen ramai-ramai membuat tagar bubarkan BPIP. Berbagai tokoh dan kalangan ikut mengomentari dan menyayangkan pernyataan yang dibuat oleh Yudian.
Namun tak berapa lama berselang Yudian membuat klarifikasi. Ia menyatakan pernyataannya tak dimaksudkan pada agama secara keseluruhan. Namun lebih kepada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan agama untuk sekadar tujuan politik tak jelas.
Tak hanya Yudian, pernyataan kontroversial juga disampaikan oleh Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Dalam pidato sambutan di hadapan kiai sepuh pengasuh Ponpes Hidsyatul Mubtadien Lirboyo Kediri, Pramono mengaku meminta Jokowi agar tak mengunjungi Kediri.
Pramono khawatir Jokowi akan bernasib seperti Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang lengser dari Presiden pada 2001 usai berkunjung ke kota yang dipercayai sebagai daerah wingit.
Pernyataan Pramono Anung juga memicu kontroversi. Pemerintah dinilai percaya klenik dan tak bersikap rasional. PWNU Jatim bahkan menyebut PDIP sedang cuci tangan atas lengsernya Gus Dur.
Namun belakangan Pramono Anung mengklarifikasi pernyataannya tersebut. Pramono Anung mengaku hanya bercanda dan tak bermaksud sesungguhnya melarang Jokowi ke Kediri.
Usai Pramono, kini ada satu lagi yang membuat gaduh. Pasal 170 di dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja menyebutkan bahwa peraturan pemerintah bisa merevisi Undang-Undang. Sontak hal tersebut membuat geger karena secara aturan kekuatan peraturan pemerintah di bawah Undang-Undang.
Spekulasi kembali muncul. Pemerintah dianggap ingin kembali ke orde baru dan menerapkan rezim otoriter. Pemerintah juga dinilai mempunyai konsepsi salah soal perundangan.
Namun tak lama setelah viral, pemerintah kembali melakukan klarifikasi. Menko Polhukam Mahfud MD menyebut ada salah tik dalam pasal tersebut. Mahfud menuding ada kesalahan di Kemenko Perekonomian sebagai tim akhir yang ditugaskan untuk penyeleksian naskah.
Senada dengan Mahfud, Menkumham Yasonna Laoly juga menyebut ada kesalahan dalam pengetikan. Ia menegaskan, peraturan pemerintah tak bisa merevisi undang-undang. Pemerintah memastikan akan merevisi pasal tersebut.
Klarifikasi yang berulang dalam sepekan ini menunjukkan beberapa hal. Pertama, ada persoalan mendasar dalam tata cara berkomunikasi. Pejabat kerap lupa bahwa mereka merepresentasikan instansi. Setiap ucapan, dapat dengan mudah dikutip oleh media bahkan sekedar hanya remeh temeh.
Terkadang, cara penyampaiannya juga dengan gaya bahasa mereka sendiri, dan tergantung dari latar belakangnya. Pejabat yang berlatar belakang akademisi atau filsafat mungkin akan lebih suka berbicara teoritis. Adapun politikus berbicara dengan bersayap. Padahal yang menjadi audiens adalah publik yang hanya membutuhkan bahasa-bahasa sederhana.
Pejabat harus belajar menjelaskan sesuatu dengan mudah dan tidak memicu spekulasi. Kalau semisal bercanda atau berguyon bisa diungkap lewat mimik muka, nada suara, atau bilang saja 'saya berguyon'.
Kedua, klarifikasi yang berulang ini juga bisa memperlihatkan ketidakpahaman akan persoalan. Narasumber ketika menjelaskan muter-muter dan tidak langsung pada inti permasalahan. Miskonsepsi atas persoalan membuat apa yang ditangkap oleh media dan publik menjadi berbeda.
Ketiga, dalam beberapa kasus, para politikus kerap mengeluarkan pernyataan kontroversial untuk sekadar mengetes atau mengalihkan isu. Pada akhirnya isu itu akan dibantah atau menguap begitu saja.
Keempat, dalam kasus pasal 170 Omnibus Law Cipta Kerja yang memasukkan klausul peraturan pemerintah dapat merevisi langsung UU, ada persoalan keteledoran atau bahkan mungkin kesengajaan.
Keteledoran dimaksud adalah kesalahan tik yang bersifat fatal. Coba seandainya tidak ada yang membaca secara detil dan lolos hingga diundangkan. Tentu ini akan berbahaya, meski publik bisa melakukan judicial review ke MK.
Proses penyeleksian naskah harus dilakukan secara berulang.Para menteri tak boleh cuci tangan karena mereka ikut bertangjungjawab.
Ihwal kesengajaan juga mungkin. Bisa faktor ketidakpahaman atau memang sebetulnya pemerintah ingin mengontrol semuanya, termasuk perundangan, demi kemudahan berinvestasi. Keganjilan-keganjilan itu sempat diungkap para aktivis soal pasal 170 ini. Seorang pakar menyebut kalau sekadar salah tik biasanya hanya huruf, bukan kalimat apalagi pasal.
Kontroversi dan Klarifikasi yang terlalu sering ini tentu tak baik. Selain memperlihatkan ketidakprofesional pejabat juga membuat kegaduhan yang berujung pada ketidakstabilan.
Padahal stabilitas sangat dibutuhkan untuk perekonomian di dalam negeri. Pemerintah harus mengintrospeksi cara mereka berkomunikasi dengan rakyat. Jelaskan dengan sederhana, transparan dan jujur.
Tak perlu berdalih, apalagi berbohong karena publik saat ini sudah bisa mengakses informasi dengan jauh lebih mudah. Cukup sudah tiga klarifikasi dalam satu pekan terakhir ini.
*) penulis adalah jurnalis republika.co.id