REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bayu Hermawan*)
Di tengah hangatnya soal Rancangan Undang-Undang Omnibus Law, kasus Jiwasraya, penanganan wabah virus corona, kaburnya tersangka kasus korupsi hingga ajang Formula E, perhatian publik tiba-tiba teralihkan dengan munculnya draft Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga. Mayoritas merespon negatif terhadap draft RUU Ketahanan Keluarga, karena dinilai terlalu masuk wilayah privasi seseorang.
Sejumlah hal diatur dalam RUU Ketahanan Keluarga, secara pribadi, saya menilai RUU ini memang terlalu mencampuri urusan privasi seseorang. Salah satu yang mendapat sorotan adalah Pasal 25 dalam RUU itu yang mengatur kewajiban suami dan istri.
Saya yakin, jauh sebelum draft RUU ini dibuat, wanita yang menjadi istri, tentu sudah tahu apa kewajibannya. Pelajaran mengenai kewajiban seorang istri, tak perlu sampai negara yang campur tangan, karena secara tidak langsung pelajaran itu sudah didapatkan secara turun temurun dari orang tua hingga kakek nenek. Jika pun seorang istri harus bekerja, tentunya mereka tidak lantas bisa dianggap melanggar undang-undang.
Sebab, tentu ada faktor yang melatarbelakangi mengapa seorang istri harus ikut bekerja. Selain itu, masalah ini sebenarnya cukup diselesaikan melalui kesepakatan antara suami-istri. Jika suami merasa tidak masalah istri bekerja, maka jangankan negara, orang tua dan mertua saja, tidak bisa mencampuri urusan tersebut. Istri yang bekerja juga belum tentu mengabaikan urusan rumah tangga. Banyak kasus, masalah keluarga hingga ketidak utuhan keluarga faktornya bukan lantasan istri yang bekerja. Istri yang tidak bekerja, juga bukan jaminan anak-anak mereka tumbuh sesuai norma agama, etika sosial dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Begitu pun dengan kewajiban seorang suami. Saya ingat dulu, sebelum menikah, orang tua sempat menyampaikan wejangan mengenai tugas dan tanggung jawab jika menjadi kepala keluarga. Padahal, saat itu para pengusul RUU Ketahanan Keluarga mungkin bahkan belum membayangkan bisa duduk sebagai wakil rakyat di Senayan. Bukan cuma saya, tentu suami-suami lain juga ingin menjadi seorang kepala keluarga yang mampu memberikan keperluan hidup berumah tangga yang lebih di atas layak. Saya dan mereka juga pastinya rela berkorban nyawa, jika perlu untuk melindungi keluarga dari ancaman-ancaman. Karena bagi hampir seluruh suami, istri, anak dan keluarga adalah kehormatan bagi dirinya yang akan dipertahankan apapun taruhannya.
Suami atau istri yang dianggap tidak menjalani tugasnya pun sebenarnya aturannya subyektif, dan setahu saya sudah ada lembaga yakni pengadilan agama, yang menjadi tempat untuk menyelesaikan masalah itu. Seharusnya negara lebih memikirkan, bagaimana membuat undang-undang yang benar-benar menjamin seorang kepala rumah tangga, bisa bekerja menafkahi keluarga tanpa gangguan, tanpa rasa cemas.
Pasal lain yang juga cukup membuat dahi berkerut adalah Pasal 33 ayat (2) huruf B yang menyebutkan bahwa kamar tidur anak harus dipisah dengan kamar tidur orang tua. Sebelumnya pada Pasal 33 ayat (1) huruf yang mengatur pemenuhan kebutuhan pangan, gizi, kesehatan, sandang dan tempat tinggal yang layak menjadi tanggungjawab keluarga. Pasal ini juga menjelaskan, tempat tinggal yang layak huni memiliki karakteristik antara lain; memiliki sirkulasi udara, pencahayaan, dan sanitasi air yang baik; memiliki ruang tidur yang tetap dan terpisah antara oran tua dan anak serta terpisah antara anak laki-laki dan anak perempuan; ketersediaan kamar mandi dan jamban yang sehat, tertutup, dapat dikunci, serta aman dari kejahatan seksual.
Terhadap pasal itu, agak tergelitik juga untuk bertanya kepada para pengusul RUU Ketahanan Keluarga, sudahkan mereka turun langsung ke permukiman kumuh atau yang tidak masuk dalam kriteria di atas?.
Saya yakin, tidak ada satu orang pun yang mau tinggal di rumah tanpa sirkulasi udara, tanpa pencahayaan yang baik, tanpa sanitasi yang baik, tanpa kamar mandi dan jamban yang sehat dan terjaga privasinya, di lingkungan rawan pencurian, kekerasan, tawuran, kebakaran, banjir dan sebagainya. Namun, terkadang masalah kemiskinan membuat mereka mau tidak mau harus berdamai dengan kondisi tersebut. Coba tengok rumah-rumah yang berada di kawasan 'kumuh', karena keterbatasan, terkadang satu rumah ukuran 60 meter, bisa ditinggali oleh lebih dari satu kepala keluarga, atau istilahnya 'rumah kandang burung'.
Mungkin tidak salahnya pengusul RUU ini menonton film 'Parasite' yang baru-baru ini menang di Piala Oscar. Sehabis menonton, tidak perlu pusing-pusing membuat teori konspirasi atau menebak-nembak apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh pembuat film itu. Cukup saja sampai kesimpulan, siapapun pasti ingin punya rumah yang mewah atau minimal layak untuk ditempati dan kehidupan yang layak. Jadi kenapa tidak serius untuk membuat undang-undang yang menjamin setiap warga negara bisa mendapat pekerjaan yang layak dan memperoleh hunian yang layak pula?. Kalau ternyata UU itu sudah ada, ya sudah bekerja keras saja sebagai wakil rakyat untuk memastikan implementasi dan UU itu dijalankan.
Pasal lain yang menurut saya paling memicu kontroversi adalah terkait aturan aktivitas seksual pasangan suami istri. Pada Pasal 85 RUU Ketahanan Keluarga, bondage and discipline, sadism and masochism ( BDSM) adalah termasuk penyimpangan dan wajib dilaporkan. Ini yang mungkin dianggap paling memasuki ranah privasi, seseorang. Karena dengan adanya pasal tersebut maka negara mengatur orientasi seksual seseorang.
Terkait BDSM menurut saya, kuncinya adalah kesepakatan dan kerelaan pasangan suami istri. Selama, tidak ada yang merasa terpaksa melakukan aktivitas seksual, maka tidak perlulah negara mencampuri urusan itu. Kecuali jika ada satu pihak yang merasa terpaksa, maka hal itu bisa masuk dalam kategori pemerkosaan. Jika istri atau suami yang merasa 'diperkosa' dalam melakukan hubungan seksual pun bisa langsung melaporkan ke pihak kepolisian. Jadi tidak perlu mereka yang punya orientasi seksual mengarah atau benar-benar masuk dalam kategori BDSM, ujuk-ujuk datang melapor. Sekali lagi, bagaimana pun hubungan seksual suami istri, apakah itu BDSM atau tidak yang terpenting tidak ada unsur paksaan antara kedua pihak.
Begitu juga dengan pasal terkait LGBT, dimana dalam RUU tersebut masuk dalam penyimpangan seksual dan keluarga wajib melaporkan. Masalah LGBT memang selalu seksi untuk dibahas, namun, menurut saya cukup saja batasannya pelaku LGBT bisa dilaporkan jika melakukan tidak asusila. Misalkan, seorang homoseksual mencabuli anak-anak, atau seperti kasus Reihard Sinaga yang jelas-jelas melakukan tidak pidana. Kemudian apakah pelaku LGBT itu melakukan aksinya di tempat-tempat publik, seperti bermesraan di dalam angkutan umum dan sebagainya. Jika iya, mereka bisa saja dilaporkan secara hukum.
Tapi yang paling membuat saya heran pascamunculnya respon negatif terhadap RUU ini adalah, banyaknya pengusul atau fraksi di DPR yang mencabut dan ikut menolak draft ini. Padahal jika mengutip pernyataan Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi, draft RUU ini sudah disetujui oleh semua fraksi dalam pembahasan program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2020. Meskipun, kata ia, RUU tersebut diusulkan oleh lima anggota DPR lintas fraksi di DPR.
Pertanyaannya adalah, apakah saat itu pengusul dan fraksi-fraksi yang menyetujui tidak membaca terlebih dulu dan mencerna isi draft RUU tersebut? jika iya, wah ini berbahaya. Bisa saja besok-besok muncul draft RUU yang tidak berpihak dan merugikan rakyat, dan kemudian lolos serta disetujui jadi sebuah undang-undang. Terlepas dari itu, saya sepakat keluarga indonesia bukan hanya perlu punya 'ketahanan' tetapi juga harus menciptakan keluarga yang berkualitas, demi membuat bangsa yang berkualitas. Namun tanpa perlu aturan-aturan terlalu jauh masuk ke wilayah privat seorang warga negara.
*) penulis adalah jurnalis republika.co.id