REPUBLIKA.CO.ID, oleh Christianingsih*)
"Wah tahu begini dulu kita nggak usah ke dokter ikut program hamil segala. Mending renang bareng aja biar bisa hamil." Celetukan itu keluar dari mulut saya tatkala membaca berita tentang pernyataan dari Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sitti Hikmawatty. Suami yang mendengar ucapan saya langsung tergelak.
Respons tersebut merujuk pada ucapan Sitti yang mengatakan bahwa perempuan yang berenang di kolam yang bercampur dengan laki-laki bisa hamil karena ada jenis sperma kuat yang bisa masuk ke organ kewanitaan. Awalnya saya kira itu pernyataan candaan. Tapi anggapan itu hilang setelah saya melihat video dan gestur meyakinkan Sitti saat menyampaikannya.
Statement blunder di akhir pekan itu langsung viral tak terbendung. Olok-olok pun bermunculan. Media asing juga ikut menyorot pernyataan kontroversial ini. Ketua Biro Hukum dan Pembinaan Anggota Ikatan Dokter Indonesia, Nazar, segera mengonfirmasi bahwa hal itu tidak mungkin terjadi.
Secara medis, perempuan tidak bisa hamil gara-gara kemasukan sperma laki-laki saat berenang. Apalagi kolam renang berisi air kaporit yang membuat sperma tidak mampu bertahan.
Sitti memang sudah meminta maaf secara tertulis atas kesalahan pernyataan yang dibuatnya. Ia juga menegaskan bahwa pernyataan salah itu tidak mengatasnamakan lembaga KPAI. Namun tetap saja predikat sebagai komisioner KPAI yang melekat pada Sitti tak bisa kita kesampingkan begitu saja.
Insiden memalukan ini meninggalkan catatan betapa pentingnya pendidikan seks dan bahaya hoaks. Pendidikan seks bukan hanya dibutuhkan oleh remaja atau anak muda, melainkan generasi di atasnya pun rupanya masih memerlukan pemahaman soal seks dan sistem reproduksi.
Apalagi sekelas komisioner KPAI yang harusnya bisa mengedukasi masyarakat justru punya pemahaman yang keblinger. Bayangkan jika pemahaman yang salah ditransfer kepada orang banyak dan ditelan mentah-mentah.
Pendidikan seks bukan hal yang tabu. Sikap itu sudah sejak lama digaungkan. Akan tetapi hingga kini masih banyak orang tua yang malu menjelaskan soal seks kepada anak-anaknya. KPAI adalah salah satu yang diharapkan bisa memberi pemahaman yang benar soal seks dan reproduksi pada anak.
Perlindungan pada anak tak hanya sebatas pada perlindungan fisik dan mental. Anak juga harus dilindungi dari paparan informasi yang salah.
Hingga tulisan ini dibuat, publik belum mendengar ada tidaknya sanksi yang akan diberikan kepada Sitti terkait blunder yang dilakukannya. Terakhir, semoga ke depan KPAI serta lembaga negara lain makin selektif dalam menunjuk pemangku jabatan. Jangan sampai tugas mengedukasi masyarakat justru diberikan kepada mereka yang mudah termakan hoaks.
*) penulis adalah jurnalis republika.co.id