Sabtu 04 Jul 2020 00:07 WIB

Emang Bisa Bebas Kantong Plastik?

Lambat laun meninggalkan kantong plastik akan menjadi kebiasaan baru

Red: Joko Sadewo
Kota-kota diet kantong plastik
Foto: Infografis Republika.co.id
Kota-kota diet kantong plastik

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Gita Amanda*

Tepat pada 1 Juli 2020, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memberlakukan larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai. Bahkan Pemprov memberikan ancaman serius bagi pelanggaran aturan.

Tak main-main hukuman bagi pelanggar khususnya pedagang, mulai dari teguran tertulis, denda dengan nominal fantastis yakni Rp 5 juta hingga Rp 25 juta sampai pencabutan izin usaha. Ya kalau tetap bandel, menurut aturan, izin usaha mereka akan dicabut Pemprov.

Pada dasarnya, DKI Jakarta bukan yang pertama menerapkan aturan ini. Seingat saya, sejak tahun lalu, Pulau Dewata Bali sudah lebih dulu menerapkan ini. Dan terakhir kali saya mengunjungi Bali, larangan tersebut cukup efektif diberlakukan.

Di Bali, warga sudah tak lagi dilayani dengan kantong plastik saat membeli barang-barang. Di toko-toko souvenir apalagi, semua kantong plastik sekali pakai sudah digantikan dengan tas kain. Kalau tak bawa tas, mau tidak mau pembeli harus membeli tas kain yang disediakan.

Bukan cuma kantong plastik sekali pakai. Di Bali bahkan sedotan plastik tak lagi digunakan. Meski belum semua, tapi hampir di setiap gerai minuman atau restoran di Bali menyediakan sedotan dari kertas sebagai ganti sedotan plastik.

Tak hanya Bali dan Jakarta, di Jawa Barat rasa-rasanya wacana pelarangan plastik sekali pakai juga sudah lama bergulir. Saya yang berdomisili di Depok, Jawa Barat, sempat merasakan harus membayar sekian rupiah demi mendapat plastik sekali pakai saat belanja di supermarket atau minimarket beberapa tahun lalu.

Tapi aturan itu tak lama berlangsung. Karena harga yang murah, kalau tidak salah Rp 200 rupiah untuk tambahan biaya kantong plastik, tak membuat jera pembeli agar tidak menggunakannya lagi. Aturan kantong plastik berbayar pun lenyap begitu saja.

Lalu, sempat pula beberapa supermarket menggunakan plastik yang dapat di daur ulang atau plastik biodegradable. Bahan plastik yang umumnya terbuat dari kulit singkong tersebut digadang-gadang lebih mudah terurai. Tapi penggguna plastik jenis ini juga tak banyak. Lagi-lagi plastik sekali pakai yang dijual sangat murah lebih banyak diminati.

Namun, beberapa waktu terakhir di daerah rumah saya di Depok ini, sejumlah minimarket dan supermarket tidak lagi menggunakan plastik sekali pakai. Jadi, kalau ingin berbelanja pembeli mau tak mau harus membawa kantong belanja sendiri. Atau kalau tidak ya terpaksa mereka tenteng-tenteng itu belanjaan. Karena minimarket tersebut sudah sama sekali tak menyediakan kantong plastik.

Saya pribadi sangat mendukung kebijakan ini. Bahkan sudah cukup lama juga saya menerapkannya dalam keseharian. Diet plastik saya menyebutnya. Jadi saat berbelanja ke pasar swalayan atau tradisional saya upayakan meminimalisir penggunaan kantong sekali pakai.

Saat berbelanja sayur di tukang sayur yang lewat rumah apalagi. Biasanya saya bawa wadah untuk menyimpan barang belanjaan saya. Begitu pula saat jajan makanan, mau itu nasi uduk atau jajanan pasar saya usahakan membawa tempat makan atau wadah sendiri. Saya lihat banyak teman-teman yang juga sudah menerapkan ini dalam keseharian mereka.

Awalnya, para penjual ini tampak agak heran. Tidak sedikit juga dari mereka yang memaksa saya tetap menggunakan plastik sekali pakai. Alasan mereka beragam.

"Sayang Mba tempatnya (wadah yang saya bawa) kotor nanti" atau "nggak apa-apa mba pakai plastik saja orang murah kok saya belinya".

Tapi lambat laun, mereka mulai mengerti. Setiap saya membeli dagangan mereka, mereka paham untuk tak lagi menyediakan plastik sekali pakai sebagai wadah.

Nah, begitu pula dengan apa yang diberlakukan DKI. Mungkin di tahap awal akan ditemukan banyak rintangan. Sebab kebiasaan baru ini mungkin akan dipandang sedikit ribet oleh sebagian besar orang.

Pedagang maupun pembeli pasti masih banyak yang nantinya bandel tetap menggunakan plastik sekali pakai. Tapi lambat laun, dengan larangan dan pembatasan ini mereka pasti akan belajar. Dari awalnya paksaan, mudah-mudahan saja terbangun juga kesadaran akan bahaya penggunaan plastik sekali pakai ini dalam jangka panjang.

Karena siapa lagi yang mau menjaga bumi ini kalau bukan kita? Klise, tapi itu kenyataannya bukan?

Kendala tentu akan ditemui, apalagi di pasar-pasar tradisional dan toko-toko klontong. Pengawasan pun akan sulit rasanya, karena bisa saja penjual dan pembeli kucing-kucingan dengan petugas saat menggunakan plastik sekali pakai.

Tapi upaya untuk membatasi penggunaan plastik sekali pakai perlu diapresiasi. Sekali lagi, mudah-mudahan dengan ini lambat laun membentuk kebiasaan baru di masyarakat untuk berhenti menggunakan kantong plastik dan mulai membawa wadah sendiri. Untuk apa? Ya, untuk menjaga bumi kita ini!

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement