Selasa 29 May 2012 17:59 WIB

Negeri Bisa, Bukan Negeri Ahli

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Nasihin Masha

Ini bukan cerita puja-puji soal Dahlan Iskan. Tapi, cerita ini layak kita renungkan. Seorang komisaris PLN bercerita bahwa ternyata yang bisa “menyelesaikan” persoalan perusahaan listrik itu bukan seorang insinyur. Ia justru pengenyam bangku IAIN, sekolah agama. Latar belakang pendidikan dan keahlian Dahlan sebagai wartawan sama sekali tak ada hubungannya dengan kelistrikan.

Cerita soal Dahlan ini kemudian menjadi klise. Namun, kita begitu abai terhadap fakta-fakta lainnya. Selama ini kita paling senang jika menyebut soal zaken kabinet, yang kita terjemahkan secara bebas sebagai kabinet ahli. Dalam hal Dahlan, jelas dia bukan ahli kelistrikan. Tapi, dia mampu dan bisa. Dalam waktu singkat persoalan bayar per aliran listrik bisa teratasi.

Apa yang terjadi pada Dahlan mestinya menjadi preseden, bukan pengecualian dan kekhususan. Kita harus berani mendekonstruksi ihwal zaken kabinet atau adagium “serahkan pada ahlinya”. Orang yang ahli tak selalu menjadi orang yang bisa.

Ihwal keahlian dan kesesuaian latar belakang pendidikan sering diangkat dan menjadi penghalang paling efektif saat pemilihan menteri atau pemilihan direksi BUMN maupun pejabat-pejabat lembaga negara yang lain. Selama Orde Baru, bahkan secara umum masih efektif hingga di masa kini, jabatan sejumlah kementerian menjadi domain perguruan tinggi tertentu.

Misalnya, menteri Pekerjaan Umum itu ITB, menteri Pertanian dari IPB, menteri Keuangan dari UI, dirut Pertamina dari ITB, dan seterusnya. Orang bisa saja mengatakan hal itu sebagai kebetulan atau mereka memang paling unggul atau mereka yang paling banyak jumlahnya. Diam-diam cara berpikir kita memang seperti itu. Tentu itu tak salah. Namun, kita juga tak perlu mendewakan cara berpikir demikian.

Orang-orang yang membawa sukses Malaysia justru bukan ahli di bidangnya. Ada dua orang penting yang memajukan Malaysia, yaitu Mahathir Mohammad dan Anwar Ibrahim. Mereka berkolaborasi sejak awal saat beroposisi terhadap Tunku Abdul Rahman. Mereka kemudian berbagi peran di pemerintahan.

Mahathir Mohammad, sebelum menjadi perdana menteri, adalah menteri Pendidikan, menteri Keuangan, menteri Perdagangan, dan Industri. Padahal, dia seorang dokter. Anwar Ibrahim, yang pernah menjadi deputi perdana menteri, sebelumnya menjadi menteri Keuangan, menteri Pendidikan, dan menteri Pertanian. Padahal, dia berlatar pendidikan sastra dan aktivis sejak mahasiswa.

Malaysia menempatkan orang-orang dengan visi dan komitmen yang kuat untuk jabatan strategis bagi nasib bangsa. Mereka bukan orang yang ahli di bidang-bidang itu. Sedangkan, Indonesia lebih mengutamakan keahlian dibandingkan visi dan komitmen. Dan, Indonesia memang gudangnya orang-orang ahli.

Sudah terlalu banyak medali yang diraih pelajar kita di ajang olimpiade sains, fisika, matematika, dan sebagainya. Tapi, karena pemimpin kita tak memiliki visi dan komitmen, pelajar itu kemudian diambil Singapura, misalnya, dengan menawarkan beasiswa. Atau, mereka layu sebelum berkembang karena tak dirawat.

Prestasi-prestasi di bidang lain juga diraih para peneliti dan mahasiswa kita di luar negeri. Yang paling menyakitkan adalah ketika kita membiarkan ribuan insinyur IPTN (PT DI) dibajak Boeing (AS), Airbus (Eropa), Avic (Cina), Embraer (Brasil), juga di Malaysia dan negara-negara lain. Padahal, belasan ribu insinyur itu hasil investasi panjang Indonesia.

Teknologi sayap yang melengkung ke atas di ujungnya yang dirancang IPTN kini menjadi ciri pesawat Boeing dan Embraer. Namun, para pemimpin Indonesia membuat semua itu sia-sia dan bangsa lain yang menikmati keahlian mereka.

Kita bisa belajar dari Ronald Reagan. Dalam sebuah debat kampanye pemilihan presiden, ketika didesak soal ekonomi, Reagan dengan tenang menjawab bahwa hal itu bisa diselesaikan oleh para ahli yang menjadi stafnya. Reagan yang bintang film sadar bahwa dirinya bukan ahli ekonomi dan tak mungkin menjawabnya dengan memadai.

Salah satu prinsip kepemimpinan Reagan adalah publik akan mengikuti seorang pemimpin jika mereka menyukai pemimpinnya atau kepribadian pemimpinnya. The messenger, not the message. “Tugas pertama pemerintah adalah melindungi rakyat, bukan mengatur kehidupan mereka.” Reagan mendahulukan sikap.

Visi dan komitmen memang merupakan kebutuhan kita yang paling mendesak. Semua itu melekat pada karakter dan kepribadian seseorang. Indonesia tak kekurangan orang pandai, namun hanya sedikit orang yang bisa.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement