REPUBLIKA.CO.ID,oleh: Asma Nadia
Saya percaya hidayah. Bagi saya, ia serupa cahaya yang tiba-tiba hadir dan membuat segala sesuatu tampak lebih jelas. Arah yang harus diambil, juga tujuan hidup setelahnya. Tak ada samar-samar. Tak ada keraguan.
Seorang teman pernah memberi perumpamaan menarik tentang ini. Menurutnya, pancaran hidayah bukan seperti lampu bohlam yang diam menerangi siapa saja yang ada di sekitar, tetapi lebih tepat dianalogikan sebagai sebuah senter yang bergerak menunjukkan arah dan yang bisa dirasakan manfaatnya hanya jika kita berusaha mendekat. Semakin dekat, semakin terang.
Dan, sebagaimana sinar senter yang mengikuti terus, mereka yang menyertai terangnya akan sampai tujuan sedangkan yang kemudian berhenti akan tertinggal. Hidayah atau petunjuk-Nya luas, namun tidak berarti bertahan selamanya. Tetapi, bisa datang, juga pergi jika tak dijaga. Tidak juga lantas selesai setelah seseorang menyatakan diri sebagai Muslim.
Sebagaimana fenomena yang terjadi di masyarakat ketika seorang Muslim yang di KTP-nya tercantum sebagai penganut agama Islam, tidak menjaga ibadah shalat dan puasanya dengan baik. Muslim yang shalat, namun tetap melakukan hal yang mudarat, seperti merokok, beramal, atau pergi haji dengan uang korupsi.
Bahkan, masih ada Muslim yang belum merdeka dari minuman keras, judi, zina, dan perbuatan lain meski termasuk dalam dosa besar. Sekalipun, kehadiran hidayah sepenuhnya misteri. Akan tetapi, Allah dan Rasul telah memberikan beberapa pembelajaran agar kita bisa meraihnya. Satu hal, petunjuk-Nya terbuka bagi mereka yang menyediakan hati untuk menerimanya. Mereka yang tak keras menolak ketika muncul dorongan untuk mengimplementasikan nilai kebaikan dalam hidup.
Dan, hidayah tidak selalu menyentuh perkara-perkara besar, tetapi mungkin hanya percikan dorongan kebaikan. Perasaan tidak nyaman sewaktu memilih menghabiskan uang untuk rokok dan kesia-siaan lain. Keinginan sangat kuat untuk menjaga shalat lima waktu. Rasa bersalah ketika mau atau telah korupsi. Setiap hari, beragam momen di mana Allah sedang mengulurkan cinta yang tak layak ditepis hamba-Nya.
Hal lain, pintu hidayah bisa terbuka oleh doa. Seorang Muslim, dalam shalat lima waktunya, minimal 17 kali membaca al-Fatihah dan meminta agar ditunjukkan jalan yang lurus. Mereka yang meninggalkan shalat otomatis terlepas dari ikhtiar ini. Tak hanya untuk diri sendiri, kehadiran petunjuk Allah juga dapat kita mohonkan bagi orang lain dalam doa agar terbuka hati untuk mendekat kepada-Nya.
Sebab, mereka yang lalai atau kelompok yang gemar mengklaim bahwa sebuah kebenaran harus berdasarkan asumsi atau interpretasi versinya, akan lebih sulit terlintas pikiran untuk meminta atau sekadar menyadari bahwa ia memerlukan hidayah.
Dialog suatu sore dengan (alm) Gito Rollies, bagi saya pribadi, menjadi catatan lain. “Jangan hanya berdoa bagi diri sendiri, Asma. Doakan orang-orang di sekitar kita, pemimpin-pemimpin dunia, mintakan agar mereka beroleh hidayah.”
Ya, mengapa tidak? Selain berupaya meluruskan, juga mulai menyertakan doa untuk mereka yang gemar menebar keburukan agar beroleh petunjuk. Nasihat sederhana tersebut kemudian sering menjadi penyeimbang untuk rasa kesal, kecewa, marah, dan sedih saya pada pihak-pihak yang melakukan penindasan dan ketidakadilan.
Rasulullah pernah berdoa supaya Allah menurunkan hidayah di antara dua Umar, Sayyidina Umar al-Khattab atau Umar ibnu Hisyam (Abu Jahal). “Ya Allah, muliakanlah Islam dengan salah seorang dari dua orang yang lebih Engkau cintai, Umar bin Khattab atau Abu Jahal bin Hisyam.” Dan, Allah menurunkan hidayah-Nya pada Umar.
Meski, mungkin secara kalkulasi pikiran manusia, lelaki yang terkenal kasar—bahkan pernah membunuh darah dagingnya sendiri pada masa jahiliah—dan sangat tinggi kebenciannya kepada Islam, kelak menjadi satu dari pembela Islam di barisan terdepan, bahkan menjabat khalifah. Hidayah. Hidayah. Tidak ada hal yang tidak mungkin jika Dia berkehendak. Dan, berdoa adalah satu ikhtiar untuk mengetuk kehendak-Nya.