REPUBLIKA.CO.ID,Perjalanan sejarah dunia tidaklah linear. Yunani, misalnya, yang pada abad-abad sebelum Masehi merupakan bumi subur untuk melahirkan para filsuf besar pada abad mo dern diperkirakan sedang berada di ambang pintu negara gagal. Mesir tidak banyak berbeda. Sebagai sebuah bangsa dengan peradaban berusia ribuan tahun yang pernah melahirkan Nabi Musa dengan perjalanan dramatisnya yang dikejar Fir’aun, Mesir, hari ini masih saja bergulat dalam kesulitan untuk memetakan masa depannya.
Dulu pernah di bawah kekuasaan Turki Usmani, kemudian dijajah Inggris, negeri ini sejak 1952 berubah menjadi republik melalui sebuah kudeta militer terhadap Raja Farouk. Mula mula berada di bawah Presiden Jenderal Mohammed Najib, kemudian pada 1954 diambil alih oleh Kolonel Gamal Abdel Nasser (1918-1970) dengan slogan sosialisme Arabnya yang terkenal itu.
Nasser yang pernah dijuluki sebagai pahlawan dunia Arab dengan kemenangan Israel dalam Perang Enam Hari (5-11 Juni 1967) atas Mesir, Suriah, dan Yordania, pamornya meredup, kemudian meletakkan jabatan untuk digantikan oleh Anwar Saddat. Nasser wafat dalam usia muda pada 28 September 1970 karena serangan jantung.
Setelah Sadat terbunuh pada 6 Oktober 1981, naiklah Husni Mubarak yang berkuasa sampai terguling pada awal 2011 oleh gerakan anak muda revolusioner yang menuntut tegak nya keadilan dan demokrasi di Negeri Piramid itu. Dengan demikian, sejarah Mesir modern bergerak dari sebuah drama ke drama yang lain. Kini giliran tokoh Ikhwan yang memimpin, Dr Mohammed Mursi (61).
Ikhwan yang dilarang sejak rezim Nasser harus menanti selama 58 tahun untuk ber kua sa di Mesir melalui proses pemilu demokratik. Akankah Mesir menjadi lebih stabil, adil, dan sejahtera di bawah pimpinan tokoh Ikhwan? Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan ini karena karang politik yang tajam dan terjal sedang mengadang di depan matanya, internal dan eksternal.
Kita tentu berharap agar Mesir yang sering dianggap sebagai kiblat Dunia Islam bisa melepaskan diri dari rezim korup dan penindas yang telah menelantarkan nasib rakyat banyak. Tujuan utama Revolusi Tahrir adalah untuk menegakkan keadilan, kebebasan, dan kedaulatan penuh bagi seluruh rakyat Mesir yang sekian lama berada di bawah kuasa militerisme.
Mohammed Mursi PhD dalam bidang teknik alumni Universitas Kalifornia Selatan tahun 1982, pada 30 Juni 2012 dilantik sebagai presiden oleh Mahkamah Agung setelah memenangkan pilpres menghadapi saingannya Ahmed Shafik (Marsekal AU) dengan perbandingan angka 51,73 persen lawan 48, 27 per sen.
Dari jumlah 50 juta yang berhak memilih, hanya 26 juta yang menggunakan haknya itu. Pen dukung riil Mursi hanyalah 13,3 juta, sedangkan Shafik 12,3 juta. Sebagai ketua Partai Kebebasan dan Keadilan, sayap politik Ikhwan, pihak militer dan kelompok sekuler menjadi tidak seronok karena kemenangan Mursi ini.
Apalagi, Israel, pendukung Mubarak, demi kepentingan Zionisme, menjadi sangat cemas. Sekiranya Mursi berhasil melakukan konsolidasi demokrasi dengan dukungan yang luas, siapa tahu Mesir akan bisa mengikuti jejak Turki di bawah Erdogan.
Dan, tentu semuanya ini tidak mudah. Kaum muda revolusioner amat paham bahwa Ikhwan bukanlah pengambil inisiatif untuk turun ke jalan, melainkan merekapun juga tidak mempunyai peta untuk masa depan Mesir selain slogan slogan untuk keadilan, kebebasan, dan demokrasi.
Untuk mengubah kultur politik yang selama 60 tahun di bawah rezim militer dalam tempo singkat, jelas tidak mudah bagi kekuatan sipil, apalagi mereka ini tidak berada di bawah satu komando aliran politik, seperti yang berlaku di Iran. Alangkah sukarnya bagi sebuah bangsa untuk sepenuhnya melepaskan diri dari sistem kekuasaan masa lampau yang korup.
Kasus Indonesia sebenarnya tidak banyak berbeda dengan apa yang berlaku di Mesir karena konsolidasi demokrasi pada era reformasi telah mengalami kegagalan. Untuk Mesir, Zbigniew K Brzezinski, penasihat keamanan Pre siden Jimmy Carter, dalam wawancara dengan Ezzat Ibrahim dari mingguan al-Ahram (No 1104/28 Juni-4Juli 2012) menekankan pentingnya tingkat stabilitas internal Mesir secara keseluruhan, tidak hanya bergantung pa da karakter sebuah rezim.
Jika tertib konstitusional yang diakui publik absen maka tidak saja tingkat ketidakpastian eksternal Mesir yang akan berlaku, juga kondisi internal negeri itu akan menjadi taruhan. “Bisa jadi era musim semi Arab akan berubah menjadi musim dingin Arab,” kata Brzezinski.