REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nasihin Masha
"Aku apungkan perahu-perahu kertasku hari demi hari, berlayar dalam guyuran hujan mau - pun terang hari. Kutulis namaku dengan huruf besar dan juga nama kampungku, kuharap mereka akan sampai di tanah seberang dan mereka tahu siapa aku."
Haikal Mansur berteriak pada dunia lewat puisi. Hanya itu yang bisa dia lakukan sebagai penyair. Rohingya yang ditindas sejak kemerdekaan Myanmar tak pernah diketahui dunia. Rohingya adalah orang-orang yang terlupakan. Seorang Aung San Suu Kyi pun, ketika ditanya soal Rohingya, menjawab, "Saya tak tahu." Katanya, "Kita harus jelas dulu tentang hukum kewarganegaraan mereka dan apa hak mereka.\" Seorang peraih Nobel dan pejuang demokrasi dari Myanmar itu tak berani menyikapi sesuatu yang sudah terang benderang.
Pemerintah tak mengakui kewarganegaraan Rohingya kecuali generasi ketiga ketika Myanmar merdeka pada 1948. Karena itu, tanah mereka disita, rumahnya dirusak dan mereka diusir dari rumahnya, tak diberi hak sekolah dan pekerjaan, diperkosa, juga dibunuh. Semua itu dilakukan, terutama sejak Ne Win melakukan kudeta militer pada 1962. Sejak itu, sudah ada 11 kali operasi militer, pada masa sebelumnya ada delapan operasi. Yang paling kejam adalah Operasi Raja Naga (Operasi Nagamin) pada 1978-1979.
Dari sinilah kemudian terjadi debat soal nama Rohingya. Orang-orang Burma (suku terbesar di Myanmar) menyebutkan bahwa kata Rohingya baru dikenal pada 1950-an. Namun, orang-orang Rohingya berpendapat sebaliknya.
Kata ini berasal dari bahasa Arab, Rahma. Kata ini berevolusi menjadi Roham, Rhohang, dan akhirnya Rohingya. Kata itu terbentuk sejak abad ke-8 ketika Islam pertama kali masuk wilayah itu melalui para pedagang Arab.
Ada juga yang menyebutkan kata itu berasal dari Mrohaung, nama kerajaan tua Arakan. Sebuah buku terbitan 1799 yang ditulis Francis Buchanan-Hamilton, dari Inggris, menyebut kata Rooinga, yang merujuk pada Rohingya. Ada pula yang menyebutkan bahwa kata itu berasal dari kata Ruha, nama suku di Afghanistan.
Orang-orang Rohingya adalah keturunan Bengali, Bangladesh. Kehadiran mereka di Rakhine (orang Rohingya lebih suka menyebut nama aslinya, Arakan) secara besar-besaran terjadi dalam beberapa gelombang. Pertama pada 1430 ketika raja setempat meminta bantuan Sultan Bengali.
Sejak itu Islam menjadi agama resmi Arakan. Lalu, datang lagi pada abad ke-17. Migrasi besar terakhir pada 1927, dipicu kebutuhan tenaga kerja sektor pertanian dan birokrasi oleh kolonial Inggris.
Pada masa lalu, Arakan adalah negeri merdeka. Namun, pernah di bawah kerajaan Chittagong (Islam), sebuah kerajaan di Bangladesh pada 1459-1666. Mereka ditaklukkan Burma pada 1785, setelah 355 tahun di bawah kerajaan Islam (sejak 1430). Etnis Burma tak berkuasa lagi di Arakan sejak kedatangan kolonial Inggris pada 1824. Karena Arakan berada di bawah British India. Namun, kedatangan pendudukan Jepang mengembalikan hegemoni etnis Burma di Arakan.
Muslim Rohingya menjadi sasaran pembantaian etnis Burma pada 1785, sebagian juga dideportasi ke wilayah lain di Burma. Pembantaian kedua terjadi ketika Burma berkolaborasi dengan Jepang. Namun, penderitaan sistematis ter jadi sejak Ne Win berkuasa pada 1962. Media massa ataupun badan-badan resmi dunia, saat ini, menilai apa yang menimpa Rohingya sebagai "communal violence".
Padahal, apa yang menimpa mereka bukan sekadar kerusuhan Juni 2012 lalu. Bukan bentrok antara Muslim dan Buddha. Tapi karena negara, dan terutama militer dan pemerintah, menjadi aktor utama penyingkiran Rohingya. "Myanmar akan bertanggung jawab atas etnis bangsa ini, tetapi sama sekali tidak mungkin mengakui Rohingya yang bukan [kelompok] etnis di Myanmar," kata Presiden Myanmar, Thein Sein. Sejatinya, Rohingya adalah korban pembasmian etnis (ethnic cleansing).
Namun Haikal meradang: "Setiap saat hatiku ingin berpaling Kau menegurku lewat rasa malu Oh jati diriku! Kau satu-satunya tujuanku"