Kamis 27 Sep 2012 11:50 WIB

Krisis Ekonomi Politik Eropa

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Azyumardi Azra

Berulang kali bolak-balik ke berbagai negara Eropa sejak pertengahan 1990-an, barulah dalam dua tahun terakhir ini saya menyaksikan dan mengalami sendiri krisis keuangan dan ekonomi euro zone. Kian parah lagi, krisis dalam bidang tersebut dengan segera mengalir ke dalam krisis sosial-politik.

Kemerosotan ekonomi terjadi di hampir seluruh negara di kawasan Eropa Selatan, mulai dari Yunani, Italia, Spanyol, dan Portugal.

Sementara kawasan Eropa Utara, Jerman, negara-negara Skandinavia seperti Swedia, Norwegia, Finlandia, lalu Belanda dan Belgia terlihat belum turut terlanda krisis ekonomi.

Karena itu negara-negara ini, khususnya Jerman, menjadi pihak yang memberikan paling banyak talangan (bail out) bagi Yunani dan Spanyol agar krisis tidak menyebar ke Eropa Utara atau dunia secara keseluruhan.

Tetapi, bayang- bayang krisis ekonomi tetap menghantui negara-negara Eropa Utara.

Karena itu, di kalangan masyarakat negara-negara tersebut belakangan ini muncul dan menguat sikap antiimigran, khususnya Muslim dan gypsies dari Eropa Timur. Keadaan ini segera memberikan momentum bangkitnya partai-partai ultra kanan di berbagai negara Eropa.

Di tengah belum terlihatnya tanda perbaikan ekonomi di Eropa Selatan, kalangan masyarakat di Eropa Utara kian kritis dan makin enggan membantu. Dalam beberapa percakapan dengan sejumlah warga Belanda dan Jerman, saya menemukan nada kejengkel an mereka terhadap warga Yunani, misalnya. Mereka menganggap orang Yunani lebih ba nyak santai daripada bekerja keras. Tetapi, dengan gaya hidup santai itu masyarakat Yunani justru menikmati gaji, tunjangan, dan insentif lebih besar.

Karena itu, banyak kalangan warga Belanda dan Jerman komplain, "Kita bekerja keras dan membayar pajak. Tidak fair kalau dana pajak kita digunakan untuk mem-bail out negara yang masyarakatnya enggan bekerja keras." Profesor Paul Nieuwenburg dari Universitas Leiden seperti dikutip koran International Herald Tribune(12/9/2012) membenarkan meluasnya sentimen itu di kalangan warga Belanda, "Euroskeptisisme terus menguat dan di kalangan warga juga meningkat sentimen bahwa kami membayar pajak dan mereka tidak".

Friksi, fragmentasi, dan bahkan separatisme kembali menguat di Eropa --mengingatkan `perang' politik dan agama di antara negara-negara Eropa pada abad pertengahan dan pramodern. Bahkan, juga membangkitkan ingatan pada disintegrasi Uni Soviet dan Eropa Timur pada 1990-an.

Krisis ekonomi dan sosial dewasa ini mem- berikan momentum bagi kebangkitan kembali separatisme Catalunia --kawasan timur laut Spanyol dengan Barcelona yang sekaligus menjadi episentrum politik, sosial, budaya, dan sekaligus sepak bola. Kini kian banyak warga Catalan yang tidak lagi betah berada dalam kesatuan dengan Spanyol.

Gejala ini tecermin, misalnya, dari perubahan sikap Jordi Pujol, presiden Generalitat yang menguasai pemerintahan Catalan antara 1980- 2003. Selama berkuasa, Pujol merupa kan pemimpin paling aktif menentang separatisme Catalunia dan menekankan kesatuan de ngan negara Spanyol. Dalam wawancara dengan Financial Times, London (12 September 2012), Pujol menegaskan, ia kini tidak lagi punya argumen tersisa menolak kemerdekaan Catalunia.

Spanyol bertanggung jawab atas krisis sekarang, "Sehingga membuat Catalunia menderita dan karena itu kami tidak lagi bisa terus menerima keadaan se perti ini".

Meningkatnya kembali separatisme Catalunia sebenarnya sudah terlihat sejak akhir tahun lalu.

Dalam pembicaraan saya dengan beberapa figur pemerintahan Spanyol di Madrid pada November 2011 terlihat kecemasan yang kian meningkat terhadap gejala kembali menguatnya separatisme Catalunia.

Beberapa polling sepanjang 2012 ini mengungkapkan, mayoritas warga Catalunia ingin kemerdekaan dari Spanyol. Pengungkapan sentimen ini mencapai puncaknya dalam rapat akbar warga Catalunia memperingati `Diada' hari nasional Catalunia pada 11 September 2012. Tidak kurang terdapat baner yang berbunyi: "Catalunia: Sebuah Negara Baru di Eropa".

Hikmah apa yang bisa diambil Indonesia dari perkembangan yang tidak menggembirakan di banyak negara Eropa tersebut? Indonesia belum menunjukkan tanda krisis ekonomi, meski terdapat gejala menurunnya pertumbuhan ekonomi karena merosotnya ekspor --tetapi sebaliknya impor masih terus meningkat. Pelambatan pertumbuhan di Cina dan India serta berlanjutnya krisis keuangan dan ekonomi di Eropa dan belum membaiknya ekonomi AS, bisa membuat Indonesia terkena im basnya.

Menyimak berbagai keadaan tidak kondusif itu, pemerintahan Presiden SBY sepatutnya melakukan antisipasi secara lebih fokus dan serius. Terlalu banyak energi dihabiskan pada kontestasi politik, termasuk ancang-ancang menuju Pemilu 2014 yang bisa mengakibatkan kegagalan pemerintah memberikan respons yang tepat terhadap krisis ekonomi dan politik pada tingkat internasional tadi, sehingga mendorong kian menguatnya kejengkelan sosial di kalangan warga yang bisa meledak sewaktu- waktu.

sumber : resonansi
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement