REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nasihin Masha
Suatu saat sejumlah wartawan Indonesia diundang pemerintah Malaysia. Mereka mengenalkan beragam segi kemajuan yang sudah digapai negeri itu. Salah satunya menengok pusat pengembangan dan riset kelapa sawit. Sebuah kawasan yang besar dan terpadu. Ada laboratorium, museum, auditorium, kelas-kelas pelatihan, dan sebagainya.
Intinya, Malaysia sangat serius menggeluti bisnis kelapa sawit. Tapi tahukah bahwa mereka mengenal sawit dari Indonesia? Ya, mereka belajar dan mendapatkan bibit kelapa sawit dari Indonesia. Di situ juga dijelaskan bahwa Indonesia mendapatkan bibit kelapa sawit dari Nigeria, di masa penjajahan Belanda.
Kini, Malaysia menjadi eksportir minyak sawit terbesar kedua di dunia. Bahkan, sebelum 2006 menjadi eksportir terbesar di dunia. Sedangkan Nigeria menempati urutan ketiga. Indonesia, sejak 2006 menjadi produsen terbesar di dunia.
Namun jangan salah juga. Malaysia terlampaui Indonesia karena keterbatasan lahan. Karena itu, perusahaan-perusahaan Malaysia kemudian merambah ke Indonesia. Mereka membeli perkebunan kelapa sawit di Indonesia, atau meminta izin untuk membuka perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Jadi 'kebesaran' Indonesia ada peran dari Malaysia.
Harus diakui, dalam sejumlah hal, Malaysia lebih tekun dari kita. Kasus lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan adalah buah kemalasan kita dalam melakukan riset sejarah dan ketekunan maupun kegigihan Malaysia dalam berdiplomasi. Blok Ambalat, yang juga coba diutak-atik Malaysia, tak lagi terdengar pun bukan karena kita lebih baik, tapi kita langsung mengerahkan armada tentara kita.
H-hal ini perlu dikemukakan lagi dan dikaitkan dengan diplomasi minyak kelapa sawit. Sudah sejak lama produk sawit selalu dihantam oleh negara-negara Barat. Awalnya produk sawit dituduh mengandung kolesterol. Namun ternyata hal itu tidak benar sama sekali. Kini, minyak sawit ditekan karena persoalan deforestasi.
Pembukaan lahan pertanian sawit yang massif dituduh sebagai penyumbang terbesar emisi gas karbon yang merusak lapisan ozon. Selain itu, deforestasi itu dikaitkan dengan rusaknya habitat orangutan. Dua hal inilah yang kemudian dijadikan senjata untuk membendung masuknya minyak sawit ke negara-negara Barat.
Di antaranya mereka menyebutkan bahwa di Asia Tenggara tiap jam ada lahan seluas 300 lapangan bola mengalami deforestasi, tiap pekan 50 orangutan mati, hanya tersisa kurang dari 500 harimau sumatra dan 3 ribu gajah sumatra. Untuk menguatkan gaung, mereka menyebutkan setiap tahun tiap orang di dunia mengkonsumsi 10 kg minyak sawit. Juga disebutkan 0,1 persen wilayah Indonesia menyumbang 4,0 persen emisi global.
LSM Greenpeace membuat kampanye khusus soal ini. Sejumlah situs online bahkan mengkampanyekan untuk menghentikan pembelian produk yang mengandung minyak sawit. Mereka mengkampanyekan pelabelan di kemasan produk jika mengandung minyak sawit. Persis label halal. Selain untuk minyak goreng, minyak sawit juga digunakan untuk kosmetika, penyegar udara, margarin, kueh, biodiesel, dan sebagainya. Hasilnya mulai kelihatan. Amerika Serikat mempersulit masuknya minyak sawit. Yang terakhir, KTT APEC di Rusia tidak memasukkan minyak sawit sebagai produk ramah lingkungan. L
Lahirnya 54 produk ramah lingkungan di KTT APEC itu merupakan prakarsa dari AS, yang didukung sekutu-sekutu dekatnya seperti Australia dan Inggris. Karena itu di Australia ada sejumlah LSM yang khusus mengkampanyekan pelabelan produk yang mengandung minyak sawit, bahkan mereka juga membuat daftar produknya. Mereka menyebutkan bahwa 40 persen produk di supermarket Australia mengandung minyak sawit.
Di forum APEC Indonesia sudah berjuang keras untuk memasukkan minyak sawit sebagai produk ramah lingkungan. Namun perjuangan itu kandas. Dengan keputusan APEC itu, produk sawit makin terpojok. Keputusan itu bagai vonis terakhir terhadap kampanye anti minyak sawit. Keputusan APEC itu sekaligus memberikan keistimewaan terhadap produk-produk yang masuk dalam daftar untuk mendapat keringanan pajak hingga 5 persen. Kecuali produk bambu, selebihnya adalah produk-produk negara maju. Tentu saja ini merupakan ironi karena selama ini mereka, terutama Amerika Serikat, menolak Protokol Kyoto yang mewajibkan pengurangan emisi gas buang di industri mereka. Sekarang produk-produk mereka justeru mendapat keistimewaan.
Tak salah jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan bahwa di balik isu kampanye anti-sawit ini sebetulnya ada persoalan persaingan dagang. Ini karena tertekannya minyak kedelai, minyak jagung, dan minyak biji bunga matahari yang menjadi produk negara-negara Barat. Karena itu sudah selayaknya pemerintah Indonesia menggunakan daya tawarnya untuk menekan negara-negara Barat tersebut.
Sebagai negara yang pasar domestiknya sedang tumbuh pesat serta memiliki kekayaan sumberdaya energi, maka hal itu harus diefektifkan sebagai bagian dari diplomasi dagang. Di forum APEC itu Cina berhasil menggolkan produk bambu sebagai produk ramah lingkungan. Padahal sesuai pengakuan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, langkah Cina memasukkan bambu terinspirasi oleh perjuangan Indonesia menggolkan sawit.
Sudah bisa dipastikan bahwa mereka mengakomodasi bambu lebih karena mereka mengakui kekuatan Cina. Kita justeru mudah ditekan. Misalnya, Indonesia gagal meminggirkan buah impor dari pelabuhan Jakarta. Asal mereka punya sertifikat tertentu buah impor tetap bisa masuk lewat pelabuhan Jakarta.
Diplomasi tanpa argumen adalah omong kosong, namun diplomasi tanpa kekuatan adalah macan ompong.