REPUBLIKA.CO.ID,Asma Nadia
Saya terbilang beruntung bertemu Pak Jokowi dalam dua kesempatan. Pertama, ketika ia masih menjabat Wali Kota Solo. Saat itu saya dan beliau bersama-sama menerima penghargaan sebagai Tokoh Perubahan Republika 2010.
Pribadi sederhana yang rendah hati, namun memiliki karya nyata, pikir saya ketika ia bercerita hari-hari pertama menjabat sebagai wali kota.
Saat itu, kepala satpol PP datang kepadanya dan meminta anggaran tambahan untuk membeli pentungan. Alasan sang komandan satpol, alat itu dibutuhkan untuk mengendalikan masyarakat yang sering kali sulit diatur. Sebagai jawaban, sang wali kota bukannya menambah pentungan, namun justru memerintahkan seluruh satpol PP mengumpulkan semua pentungan dan menguncinya di dalam gudang.
Langkah berikut yang ia lakukan adalah memilih kepala satpol PP baru dari kalangan perempuan agar Solo tertata tanpa kekerasan. Saat itu terbersit dalam benak bahwa sang wali kota akan menjadi teladan dan punya masa depan yang cerah.
Beberapa tahun kemudian, dugaan itu terbukti. Pak Jokowi menjadi calon kuat Gubernur Jakarta. Saya tidak akan heran jika beliau memenangkan pemilihan karena masyarakat yang letih akan janji-janji tentu memilih sosok yang telah memberikan bukti.
Kesempatan kedua bertemu dengan Pak Jokowi ketika ia sedang berkunjung ke kantor suatu media di Jakarta. Saya ingat begitu banyak pertanyaan kritis dan sensitif diajukan oleh mereka yang hadir malam itu.
Ada yang mempertanyakan komitmennya untuk menjabat gubernur selama lima tahun tanpa tergoda Pilpres 2014, persoalan banjir, sampah, lahan hijau tergusur, properti, dan serbuan mal, serta berbagai persoalan Jakarta.
Terlepas isu-isu yang berkembang, saat itu saya hanya mengajukan dua pertanyaan sederhana. Pertama tentang rumah baca atau perpustakaan gratis untuk anak dan kalangan tidak mampu di Jakarta. Mengkritisi betapa tidak efisiennya Pemda DKI menghabiskan dana untuk perpustakaan gratis di mal-mal mewah, yang sulit diakses anak-anak dhuafa. Kepada sang calon gubernur saya menanyakan apakah itu akan menjadi salah satu agendanya?
Ketika itu Pak Jokowi menyatakan bahwa di Solo sudah berdiri banyak perpustakaan gratis yang mudah diakses orang miskin, terutama anak-anak tidak mampu. Bahkan, dilengkapi fasilitas penunjang. Hal yang sama akan ia lakukan di Jakarta.
Alhamdulillah, semoga terbukti, batin saya. Buku dan anak-anak dhuafa selama ini menjadi satu dari agenda kami, relawan di 57 rumah baca dari Jawa hingga Papua. Sedih membayangkan generasi masa depan yang tak bisa membaca hanya karena tak mampu.
Pertanyaan kedua saya tentang mushola di ruang publik. Rasanya ia orang yang tepat dan berwenang sebagai tempat curhat akan kondisi miris mushola yang masih sering diletakkan di sudut-sudut terpencil di banyak gedung Jakarta.
Sebagian besar mal, toko buku, bioskop, tempat hiburan, gelanggang, dan lain-lain di Jakarta meletakkan mushola pada tempat yang jauh dan cenderung susah untuk diakses. Jika alasannya tidak ada tempat, kenyataannya pertokoan dan sarana publik lain yang meletakkan mushola jauh di basemen di dekat parkiran, bisa menyediakan ruang merokok mewah di tempat strategis. Dengan kata lain, bukan keberadaan ruang yang menjadi masalah, tapi tak adanya kepedulian manajemen terhadap mushola.
Dengan singkat sang cagub mengatakan bahwa itu hal mudah. Cukup membuat peraturan yang mengharuskan sarana publik untuk menyediakan mushola di lokasi strategis dengan luas tertentu. Semoga terbukti, batin saya lagi. Semoga ini hanya persoalan waktu.
Kini tanpa menunggu waktu lama, Pak Jokowi akan mengemban tugas sebagai Gubernur Jakarta. Saya tidak menuntut hal muluk tentang menghilangkan macet dan ketertiban total di Jakarta dalam waktu pendek. Tetapi, kalau boleh menagih janji, saya berharap di masa jabatan beliau akan berdiri banyak perpustakaan baru bagi anak dan kalangan tidak mampu di tempat strategis dan mudah diakses. Lalu, semoga beberapa bulan ke depan tidak ada lagi mal dan fasilitas umum lain yang menyediakan mushola di tempat sempit, pengap ,dan terpencil, seperti yang selama ini terjadi.
Semoga Jakarta tak hanya menjadi salah satu kota sibuk yang identik dengan bisnis, tetapi juga menjadi kota yang ramah menyiapkan masa depan generasi mudanya, dan simpatik merespons pertumbuhan iman rakyatnya.