REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Yudi Latif
Ada banyak alasan yang membuat kita kecewa dengan perkembangan kehidupan di negeri ini. Peluang kebebasan yang diberikan demokrasi belum mampu menghadirkan kehidupan yang lebih adil, lebih berdaya, dan lebih unggul.
Mediokritas menjadi warna dominan yang kita sapukan di atas kanvas kepemimpinan nasional di segala bidang. Warna inilah yang memantulkan kecemasan ihwal krisis kepemimpinan. Ketidakateraturan menjadi tatanan umum kehidupan bernegara. Kekacauan tatanan inilah yang melahirkan kemacetan dan ketakterkendalian di mana-mana. Aji mumpung menjadi etos kekuasaan. Mentalitas menerabas inilah yang mengembangbiakkan korupsi dan menguras cadangan kekayaan bersama.
Fenomena mediokritas ini berakar dari apa yang disebut Frank Furedi (2004) sebagai ”the cult of philistism”, pemujaan terhadap budaya kedangkalan oleh perhatian yang berlebihan terhadap interes-interes material dan praktis. Dunia pendidikan sebagai benteng kedalaman ilmu mengalami proses peluluhan kegairahan intelektual, tergerus oleh dominasi etos manajerialisme dan instrumentalisme; suatu etos yang menghargai seni, budaya, dan pendidikan sejauh yang menyediakan instrumen untuk melayani tujuan-tujuan praktis.
Orang-orang yang mengobarkan kegairahan intelektual berisiko dicap sebagai "elitis", "tak membumi", dan "marjinal". Kedalaman ilmu dihindari, kedangkalan dirayakan. Sekolah-sekolah berlomba memberi kemudahan bagi orang-orang malas dan "pecundang" dari kalangan atas dengan memarjinalkan akses orang-orang rajin dan unggul dari kalangan bawah.
Merebaklah kegandrungan pada gebyar lahir, ketimbang isi batin. Kita cenderung melompat pada hasil akhir ketimbang meniti perbaikan proses secara berkeringat dan bertanggung jawab. Demi selebrasi kemenangan, teknik manipulasi dikembangkan dengan melumpuhkan peraturan dan kelembagaan. Maka institusi-institusi yang dirancang untuk memperbaiki kualitas hidup bernegara, satu per satu mengalami krisis kewibawaan.
Kekinian dihebohkan begitu banyak gerak-gerik tanpa gerakan. Begitu dahsyat gebyar pencitraan tanpa kedalaman substansial. Begitu banyak perjalanan sekadar untuk jalan di tempat. Begitu banyak perubahan sekadar untuk menambah masalah.
Pelbagai krisis yang timbul di sepanjang ekstravaganza pesta demokrasi saat ini pada hakikatnya merupakan letupan permukaan dari krisis kebatinan karena pengabaian olah-batin oleh penyelenggara dan warga negara. Dalam kaitan ini, peringatan Wiranatakoesoema pada sidang BPUPKI seperti mengantisipasi kemungkinan ini: ”Pada hemat saya, hal yang menyedihkan ini disebabkan karena manusia tidak atau tidak cukup menerima latihan batin, ialah latihan yang menimbulkan dalam sanubarinya suatu kekuatan yang menggerakkan ia (motive force) untuk mengenal kebenarannya dan menerima macam-macam pertanggungan jawab sebagai seorang anggota masyarakat yang aktif,...bukankah tujuan kita pro patria.
Tetapi pro patria per orbis concordiam. Maka, alam moral ini hendaknya kita pecahkan, karena latihan otak (intellect) saja, betapa besarnya juga, sungguh tak akan mencukupi untuk menjadikan manusia menjadi anggota masyarakat yang baik.”
Betapa pun negeri ini diliputi awan kelam, kita tidak boleh mengutuk bangsa sendiri dengan pesimisme negatif. Psikolog David D Burn mengingatkan, depresi kejiwaan merupakan hasil pemikiran yang salah. Pemikiran negatif mendistorsikan persepsi sehingga segala hal dipandang buruk dan tak bermakna. Ketika seseorang atau suatu bangsa depresi oleh belenggu pesimisme dan ketidakbermaknaan, daya hidup dilumpuhkan oleh nestapa 4D (defeated, defective, disserted, dan deprived) yang dihayati sebagai kebenaran mutlak. Di sini, Burn menganjurkan perlunya pemikiran positif dan rasa optimistis.
Pemikiran positif dan optimisme tersebut tentu saja harus bersifat realistis. Bukan menunggu kebaikan bak rezeki durian runtuh, melainkan perlu disertai kerja keras dengan kebenaran dan kesabaran dalam pacuan waktu. Bahwa kecemasan dan pesimisme akan masa depan hanya bisa diatasi dengan berlomba-lomba menanam biji kebaikan hari ini.
Pesimisme akan masa depan terjadi karena sedikit orang yang menanam kebaikan di hari ini. Padahal, kemarin dan hari esok ditentukan hari ini. Mengapa begitu? Karena waktu cepat berlalu, sehingga masa kini dalam hitungan hari segera berlalih menjadi masa lalu. Maka dari itu, siapa yang dapat mengontrol hari ini, dapat mengontrol masa lalu. Sedangkan, siapa yang dapat mengontrol masa lalu, dapat mengontrol masa depan.
Apa yang membuat kesilaman sebagai kenangan keagungan dan kedatangan sebagai harapan kebahagiaan adalah kesabaran dan keseriusan kita merebut hari ini. Seperti kata Leo Tolstoy, ”Dua petarung yang paling kuat adalah kesabaran dan penguasaan waktu.”