Selasa 23 Oct 2012 18:31 WIB

Kisah Buruh Kamilah

Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ahmad Syafii Maarif

Sudah 15 tahun Kamilah bekerja sebagai buruh harian pada sebuah perusahaan pembangunan perumahan di Yogyakarta.

Kini usianya 60 tahun. Dari gaji harian Rp 9.000 pada tahun 1997, sejak beberapa hari yang lalu dinaikkan menjadi Rp 25 ribu. Jika bekerja rata-rata 26 hari per bulan, maka pendapatan- nya menjadi Rp 650 ribu. Suaminya telah lama meninggalkannya karena pergi ke Sumatera, sekalipun tidak dicerai. Punya anak perempuan satu, cucu dua. Anak, cucu, dan menantunya (seorang buruh kasar) tinggal di desa lain, tetapi masih dalam Kabupaten Bantul, DIY.

Demikianlah Kamilah berangkat jam 06.00 pagi dari dusun Pranti di RT 08, Pundong, Triharjono, Bantul, ke tempat mencari rezeki dengan sepeda tuanya. Dua jam dalam perjalanan yang berjarak sekitar 28 kilometer.

Kembali ke dusun jam 15.30 WIB, baru maghrib sampai di rumah. Mengapa dia betah bekerja sebagai buruh dalam usia yang terbilang lansia itu? Jawabannya, karena perusahaan sudah memberi pekerjaan tetap kepadanya selama sekian tahun sekalipun pendapatannya dengan angka di atas. Kamilah sudah sering pindah tempat membanting tulang, tergantung lokasi pembangunan perumahan dilakukan.

Empat jam perhari kerja mengayuh sepeda, demi mempertahankan hidup sebagai seorang setengah janda. Untungnya tidak menyewa rumah, tinggal di rumah sendiri, ada listriknya, tetapi harus menumpang mandi ke tempat adiknya (rayi kulo, katanya). Karena batang usia sudah berangkat semakin jauh, kita tidak tahu berapa lama lagi Kamilah mampu mengayuh sepeda tuanya itu dalam upaya mempertahankan hidup.

Kulitnya semakin menghitam karena di sengat matahari pagi dan sore. Untuk makan siang, Kamilah selalu membawa bekal dari rumah. Kini di Yogja mulai musim hujan, tentu perjalanan perempuan tua ini pergi-pulang bisa lebih lama.

Sore Jumat jam 17.30 tanggal 19 Oktober 2012, di Bandara Adisucipto, Jogja, saya menemui Menko Perekonomian Hatta Rajasa untuk sebuah keperluan. Menteri mengatakan kepada saya bahwa jumlah kelas menengah di Indonesia sekarang sudah mencapai angka 60 juta orang, pertumbuhan ekonomi di atas 6,3 persen. Cukup tinggi, bukan? Komentar saya sore itu, "Sayang, belum ada pemerataan."

Tiga hari sebelum itu, malam 16 Oktober, sahabat saya Dr HS Dillon, Staf Khusus Presiden untuk penanggulangan kemiskinan, berkunjung ke rumah saya untuk bincang-bincang.

Sewaktu ditanyakan berapa sebenarnya angka kemiskinan di Indonesia sekarang, dijawab 49 persen jika parameter yang digunakan adalah pendapatan dua dolar perkepala perhari. Dengan demikian, ada sekitar 120 juta dari 245 juta rakyat Indonesia masih berada dalam kategori itu. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu masih belum menjangkau hampir separuh dari jumlah total rakyat.

Dengan penghasilan Rp 25 ribu per hari, Kamilah sekarang sudah sedi kit melampaui angka dua dolar itu, tetapi masih di bawah UMR. Sebagai pe rempuan desa yang serba pasrah, Kamilah tidak punya pilihan lain kecuali terus mengayuh sepeda tuanya.

Sampai kapan? Tentu sampai tulang-belulangnya tidak dapat lagi digerakkan untuk mengayuh sepeda dalam menempuh jarak perjalanan sejauh itu. Inilah potret seorang perempuan pekerja yang jumlahnya masih puluhan juta di Indonesia.

Dalam bacaan saya, sejak pro klamasi kemerdekaan 17 Agus tus 1945, belum ada pro- gram pembangunan pemerintah yang benar- benar berorientasi untuk menghalau kemiskin - an dari negeri ini. Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 yang kemudian dikenal dengan Hari Lahirnya Pancasila, terbaca ungkapan ini,

"...tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka," saat menguraikan prinsip kese- jahteraan rakyat yang menjadi tujuan Indonesia merdeka. Dengan fakta-fakta di atas, tam- paknya kemiskinan masih "setia" bersama perjalanan bangsa yang sudah merdeka melampaui angka 67 tahun ini. Akan munculkah kepemimpinan di Indonesia dalam tempo dekat ini untuk mewujudkan mimpi Bung Karno itu?

Kamilah dan puluhan juta yang lain sedang menanti perubahan radikal dalam orientasi pembangunan di negeri tercinta ini.

sumber : resonansi
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement