Jumat 16 Nov 2012 07:00 WIB

Bagimu Negeri, BP Migas Bubar

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nasihin Masha

Sejumlah orang lebih memilih memotret layar raksasa di depan daripada meneruskan ikut menyanyi bersama. “Bagimu Negeri, Jiwa Raga Kami.” Saat teks terakhir lagu Bagimu Negeri tayang, orang-orang itu lebih sibuk mengambil smartphonenya untuk memotret. Mereka harus buru-buru, karena teks itu akan segera berganti. Mereka tak memotret ketika teks awal dan tengah lagu itu yang muncul.

Lagu tersebut dinyanyikan kelompok vokal dari Universitas Indonesia. Mereka menyanyikan lagu patriotik tersebut di akhir acara pemaparan McKinsey Global Institute tentang perekonomian Indonesia di Ritz Carlton, Pacific Place, Jakarta, pada Selasa (13/11). Acara yang diadakan Komite Ekonomi Nasional tersebut juga dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Persis di tengah sambutan Presiden yang panjang, pada pukul 11.00, Mahkamah Konstitusi membuat putusan penting: membubarkan Badan Pelaksana (BP) Migas. Mahfud MD, ketua MK, menilai badan itu inkonstitusional dan bertentangan dengan UUD 1945.

Jika menilik para penggugatnya, mereka adalah orang-orang yang gemar memperjuangkan kedaulatan ekonomi. Sementara dalam pidatonya, SBY juga berbicara tentang kedaulatan ekonomi. Salah satu contoh yang ia kemukakan adalah keberhasilan pemerintah melunasi utang IMF (2006) dan pembubaran CGI (2007). Namun gugatan terhadap BP Migas bukan sekadar bicara tentang eksistensi kelembagaan, tapi juga bicara tentang izin konsesi pertambangan migas maupun royaltinya. Di sinilah kita bersedih. Sebagian besar izin konsesi pertambangan migas berada di tangan asing.

UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas memang kontroversial sejak awal. Isu tentang liberalisasi ekonomi Indonesia begitu marak sejak reformasi 1998. Undang-undang yang dinilai mengganggu kedaulatan ekonomi Indonesia itu mencakup juga tentang UU No 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, yang kemudian direvisi menjadi UU No 30 Tahun 2009, UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, UU No 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi, UU No 30 Tahun 2007 tentang Energi, UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing, UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat.

Kelahiran UU itu sebagian besar merupakan amanat dari Letter of Intent yang ditandatangani Soeharto setelah Indonesia terkapar diterjang krisis moneter. Indonesia benar-benar didikte IMF dalam menentukan arah pembangunan ekonominya. Kita benar-benar tak berdaulat. Celakanya, resep-resep IMF itu dianggap gagal sehingga Indonesia makin terpuruk. Namun sejumlah UU telanjur diberlakukan. Pada sisi lain, Indonesia juga sudah benar-benar dicengkeram. Karena itu, tekanan untuk lepas dari IMF terus didengungkan. Pada 2006, Indonesia melunasi hutangnya pada IMF. Namun aura liberal dan cengkeraman mereka telanjur kuat. Sejumlah UU liberal tetap keluar setelah IMF tak lagi mensupervisi ekonomi Indonesia. Jarum jam tak bisa ditarik mundur.

Inti dari liberalisasi ekonomi itu adalah Indonesia harus terbuka terhadap asing dan menyerahkan urusannya pada korporasi. Peran pemerintah terus dipangkas, dan diserahkan ke pihak swasta nasional maupun asing. Bahkan, jika pun masih dibolehkan, harus diserahkan ke daerah, desentralisasi. Pada bagian lain, proteksi dan subsidi harus dibongkar. Biarkan mekanisme pasar bekerja, ada invisible hand untuk mencapai keseimbangan, membangun maupun mengoreksi. Namun hukum itu mengandaikan situasi yang sempurna. Karena pelucutan peran negara di negara berkembang dalam praktiknya membuat negara menjadi lemah dan masyarakat pun makin lemah. Sehingga terjadi ketimpangan. Keseimbangan bisa saja suatu saat tercapai, namun korban sudah telanjur berjatuhan dan kerusakan sudah terjadi. Yang diuntungkan adalah korporasi asing, komprador, koruptor, dan para predator sosial lainnya. Namun sebaliknya, etatisme juga berbahaya. Tak bisa menyerahkan semua ke negara. Harus ada keseimbangan. Pembubaran BP Migas -- di luar debat soal hukum dan konstitusi -- merupakan cermin kegelisahan kita terhadap keterjajahan kita di bidang migas.

Pembubaran BP Migas hanyalah simbol, bukan akhir dari perjuangan mencapai kedaulatan di bidang pertambangan. Bumi Nusantara ini begitu kaya. Gelombang petualang akan terus datang silih berganti. Mereka mencari manusia lemah untuk diperbudak dengan kemewahan dan kekuasaan. Manusia tanpa harga diri dan pengkhianat konstitusi. Lagu Bagimu Negeri harus makin sering diperdengarkan karena nasionalisme kita makin tak berbentuk. Perjuangan masih panjang. Masih banyak UU yang harus kita uji.

sumber : Resonansi
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement