REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri
Sudah bisa diperkirakan, ketika angin al Robi’ul al Araby bertiup kencang di sejumlah negara Arab, maka yang paling diuntungkan adalah Zionis Israel. Apalagi, angin kencang itu telah berubah menjadi angin puting beliung yang meluluhlantakkan rezim diktator Husni Mubarak di Mesir, Zainal Abidin bin Ali di Tunisia, Ali Abdullah Soleh di Yaman, dan Muamar Qadafi di Libya.
Kini al Robi’ul al Araby sedang bertiup kencang di Suriah dan telah nenewaskan lebih dari 30 ribu rakyat. Maka, Zionis Israel bukan hanya diuntungkan, tapi juga berpesta pora. Al Robi’ul al Araby mengambil istilah dari media Barat, the Arab Spring. Artinya, musim semi Arab. Mungkin istilah itu dimaksudkan musim semi adalah simbol harapan yang lebih baik.
Namun, kelompok progresif Arab lebih suka menggunakan istilah as Tsaurat al Arabiyah atau revolusi rakyat Arab. Sejak akhir 2010, as Tsaurat al Arabiyah dengan bentuk unjuk rasa dan protes besar-besaran telah terjadi di Tunisia, Mesir, Libia, Bahrain, Yaman, Aljazair, Irak, Yordania, Maroko, dan Suriah. Serta unjuk rasa yang lebih kecil di Kuwait, Lebanon, Mauritania, Sudan, Oman, Sahara Barat, dan Arab Saudi. Revolusi rakyat Arab itu sebagian telah memakan korban berupa jatuhnya rezim diktator yang telah berkuasa puluhan tahun.
Sedangkan, yang lainnya telah memaksa sejumlah negara Arab bekerja keras memperbaiki sistem pemerintahan dan konstitusi negara, memperlonggar keran kebebasan dan demokrasi, serta memberi kesejahteraan yang lebih baik kepada rakyat. Dengan kata lain, negara-negara Arab kini lebih banyak disibukkan dengan urusan dalam negeri masing-masing.
Sementara itu di Suriah, amuk puting beliung al Rabi’ul al Araby alias revolusi rakyat masih terus berlangsung. Belum diketahui bagaimana akhir dari revolusi rakyat ini. Yakni, apakah Presiden Bashar al-Assad akan senasib dengan Zainal Abidin bin Ali, Husni Mubarak, Ali Abdullah Soleh, dan Muamar Qadafi yang terjungkal dari kekuasaan? Atau, nasibnya lebih baik seperti penguasa Arab lainnya yang masih bisa bertahan hingga kini?
Yang jelas, hampir setiap hari puluhan rakyat tewas menjadi korban amukan aparat keamanan rezim Bashar Assad. Puluhan ribu lainnya harus mengungsi ke Turki dan Yordania yang berbatasan dengan Suriah.
Sementara itu, sikap dunia internasional terpecah antara mendukung revolusi rakyat dan tetap mempertahankan rezim Bashar Assad dengan alasan masing-masing. Rusia, Cina, dan Iran mendukung pemerintahan sah Presiden Bashar al-Assad. Sedangkan, sejumlah negara Barat yang dimotori antara lain oleh, Prancis, Inggris, dan Amerika mendukung revolusi rakyat untuk menggulingkan Presiden Assad.
Namun, dukungan Barat ini tidak seperti kepada revolusi rakyat Libya yang langsung melibatkan pasukan koalisi untuk menggempur pusat-pusat kekuatan militer rezim Muammar Qadafi. Dukungan kepada revolusi rakyat Suriah lebih banyak dengan kata-kata dan diplomasi.
Sementara itu, negara-negara di kawasan Timur Tengah lebih banyak yang menginginkan agar Presiden Assad lengser dari kekuasaan. Bahkan, Liga Arab telah mengakui Koalisi Nasional Suriah bagi Oposisi dan Pasukan Revolusioner, yang baru terbentuk, sebagai "wakil aspirasi rakyat Suriah".
Sebelumnya, pengakuan yang sama telah diberikan oleh Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) yang memiliki enam anggota, yaitu Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar, Oman, dan Bahrain. Sedangkan dari negara Barat, Prancis merupakan negara pertama yang mengakui secara resmi kelompok oposisi ini.
Kondisi Suriah bila dibiarkan status quo, dikhawatirkan bisa memunculkan masalah dan ketegangan baru di kawasan. Terutama bagi negara-negara yang berbatasan langsung dengan dengan negara bekas Ibu Kota Khalifah Umayyah itu, seperti Turki, Yordania, dan Irak. Puluhan ribu pengungsi kini berada di negara-negara ini.
Belum lagi, peluru nyasar yang ditembakkan militer Suriah ke wilayah Turki dan Dataran Tinggi Golan (Suriah) yang kini diduduki Zionis Israel. Dengan kondisi kawasan seperti itu, jelaslah bangsa Palestina, yang selama puluhan tahun terakhir ini menjadi inti dari segala persoalan kawasan Timur Tengah, kini menjadi terabaikan.
Proses perdamaian dengan Zionis Israel juga boleh dikatakan mandek. Damai tidak dan perang pun tidak. Ini masih ditambah dengan perpecahan di internal bangsa Palestina, baik antara Hamas dengan Otoritas Palestina, maupun di internal Hamas sendiri. Karena itu, sudah bisa diperkirakan bahwa yang mengambil keuntungan terbesar dari kondisi kawasan seperti itu jelaslah Zionis Israel.
Mereka seolah bertepuk tangan menyaksikan drama konflik dan persolan yang membelit negara-negara di kawasan Timur Tengah. Sejak angin puting beliung revolusi rakyat melanda negara-negara Arab, Israel telah membangun ribuan rumah pemukiman Yahudi di Gaza dan Madinatul Quds (Jerusalem). Mereka juga semakin sering menggelar pesta musik persis di halaman depan Masjidil Aqsa tanpa ada protes berarti dari negara-negara Arab dan Islam.
Puncaknya, kini mereka sedang membombardir Gaza dan telah meluluhlantakkan gedung-gedung perkantoran Palestina. Mereka juga mengincar para pemimpin Hamas yang selama ini gigih memperjuangkan nasib bangsanya. Dan, bisa ditebak, juga tidak banyak yang bisa diperbuat oleh negara-negara Arab dan Islam seperti selama ini.
Apalagi mereka sedang dibelit berbagai persolan dalam negeri masing-masing. Lalu, sampai kapan bangsa Palestina lepas dari penderitaan?