REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Asma Nadia
Mas Ahmadun Yosi Herfanda, seorang sahabat, 11 tahun lalu berkata kepada saya. "Salah satu berkah menjadi penulis adalah kesempatan menjelajah bumi-Nya." Tidak terbayang bahwa seorang gadis kecil yang dulu tinggal di samping rel kereta api, dan sakit-sakitan, kemudian mendapatkan berkah itu.
Allah perjalankan saya ke 34 negara, hampir seluruhnya gratis, melalui undangan mengisi workshopmenulis atau pengajian sakinah terkait buku "Sakinah Bersamamu" yang saya tulis.
Jumlah itu tidak seberapa dibandingkan yang sudah dicapai sebagian travel writerdi Tanah Air.
Sebagaimana sesama ibu lain, saya tidak bisa traveling hanya karena punya uang, tanpa ada unsur lebih, berbeda jika belum berkeluarga.
Setiap perjalanan kemudian membuat saya makin tergugu akan Maha besar dan Kuasanya Allah, sekaligus menimbulkan kecintaan yang kian kuat terhadap Indonesia. Selama Novem ber ini, alhamdulillah saya terpilih se ba gai satu dari empat seniman dari berbagai negara, yang diundang tinggal di kota kecil di Barcelona, dalam program artist in residence yang diadakan Canserrat.
Kesempatan yang kemudian saya manfaatkan untuk mampir ke beberapa negara, tempat visa Schengen diterima. Awalnya, Andorra yang menerapkan kebijakan bebas pajak, yang saking mungilnya, bus turis hanya beroperasi tiga kali sepekan. Lalu, Italia dan mampir ke satu dari tiga negara terkecil di dunia, yang konon merupakan republik tertua, Republik San Marino.
Pemandangan Andorra dengan keindahan pariwisata skinya, memang terlalu awal untuk di nikmati. Namun, saya melihat kebersihan, kesungguhan setiap orang memberi informasi, kelancaran jalanan, serta ketersediaan pusat informasi dan booklet panduan untuk turis, yang cantik dan informatif. Di Republik San Marino, hal serupa saya temukan. Sebagai sebuah negara kecil, bus turis rutin terparkir tepat di depan Stasiun Rimini, Italia.
Loketnya hanya dilayani seorang ibu tua yang duduk menghadap meja kayu kecil dekat parkiran bus. Selain pemandangan indah dari pusat kota yang terletak di puncak Monte Titano dan perjalanan sejam berlalu tanpa hambatan, kesadaran pariwisata masyarakatnya sangat tinggi. Langka untuk mendapatkan euro Republic San Marino, sebagai uang kembalian. Masyarakat mengemas lalu menjualnya sebagai suvenir, dengan harga berkali-kali lipat.
Hal seperti itu juga terjadi di Andorra, pusat turis informasi mudah dijangkau dan booklet cuma-cuma yang berisi panduan wisata dikemas menawan. Indonesia memiliki jauh lebih banyak untuk ditawarkan kepada dunia, dibandingkan Andorra, Republik San Marino, bahkan sebagian besar negara lain.
Semakin jauh berjalan, semakin saya melihat kekayaan budaya, tempat, adat, dan keindahan yang kita miliki. Keunikan di setiap daerah. Hanya saja, saya belum menemukan, misalnya, aneka booklet atau brosur informasi yang digarap maksimal hingga menggoda wisatawan asing untuk mengunjungi tak hanya Bali, tapi juga wilayah lain di Tanah Air.
Sebagai penulis, alhamdulillah kesempatan berkeliling di Tanah Air terbuka luas. Namun, informasi pariwisata kita dalam kemasan cantik, lengkap, dan `menjual' nyaris tidak saya temukan di hampir semua bandara di kota besar Indonesia, seperti biasanya di negara lain. Belum menyinggung media promosi di luar cetak, yang mungkin ada, tapi nyaris tidak terlihat.
Seorang travel writer Tanah Air pernah tertawa mengomentari Indonesia, yang menurut dia, banyak hal tidak dikerjakan ahlinya, tetapi ala kadarnya oleh pemenang proyek. Padahal, kita memiliki fotografer, penulis, serta orang periklanan yang andal.
Saya pribadi terusik betul, sekaligus salut dengan ungkapan `Malaysia Trully Asia', negara tetangga yang dengan slogan cantik itu se akan meniadakan negara-negara lain di Asia.
Tanah kita kaya. Untuk wisata kuliner, banyak yang bisa ditampilkan. Salah satu dari gado-gado, kredok, pecel bisa menjadi perwakilan yang `diwajibkan' ada nyaris di setiap rumah makan sehingga menggema seperti Kimchi di Korea Selatan.
Seusai kunjungan di San Marino, saya meninggalkan Italia lewat Milan. Masih memikirkan Indonesia. Dalam bus kota yang membawa saya dari penginapan ke stasiun, tempat saya akan menyambung kendaraan menuju bandara, sempat terjadi kemacetan. Saya melihat ke jam tangan.
Sempat mengeluh, ternyata sama saja dengan Indonesia, sambil mengira-ngira berapa menitkah waktu yang dibutuhkan sebelum polisi datang dan membantu mengatasi kemacetan? Jawabannya, dua menit! Waktu yang diperlukan sebelum bus kembali bergerak.
Seorang petugas muncul dan dengan cepat membuka jalan hingga bus tiba di perhentian berikutnya hampir tepat waktu.
Sementara itu, malamnya saya membaca via twitter keluhan bernada kesal mereka yang terjebak macet satu jam tak bergerak, di Jakarta. Mereka tak melihat satu petugas pun yang muncul.
Mungkin mata tak jeli, tetapi entahlah. Indonesia tercinta membutuhkan banyak ketulusan dan kesungguhan dalam bekerja keras. Semoga suatu hari bukan hanya kita, melainkan dunia bisa menjadi saksi, betapa indah karunia yang Allah berikan bagi tumpah darah kita.