REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Azyumardi Azra
Jika dialog intra dan antaragama sudah merupakan tradisi' dan kelaziman di Indonesia, hal ini belum biasa di sebagian besar negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Komentar dan pemikiran yang muncul dari banyak peserta, khususnya para anggota parlemen negara-negara Islam di Timur Tengah belum lagi mencerminkan cara pandang atau paradigma dialog intra dan antaragama.
Inilah kesan paling menonjol yang dapat saya ambil dalam tanya jawab seusai menjadi pembicara kunci dalam `Parliamentary Event on Interfaith Dialogue', Parliamentary Union of OIC Member States (PUIC) di Nusa Dua, Bali, pekan lalu (21-24 November 2012).
Diselenggarakan DPR RI yang ketuanya Marzuki Alie yang sekaligus menjabat presiden PUIC, acara ini dimaksudkan untuk meningkatkan peran parlemen di negara- negara OKI dalam kerja sama antaragama dan kebudayaan.
Jika paradigma dialog intra dan antaragama belum banyak terlihat dalam percakapan kalangan delegasi negara-negara OKI, itu tidak mengherankan. Karena, seperti dikemukakan mantan ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid dalam percakapan dengan saya, dialog antaragama ini pertama kali diselenggarakan PUIC.
Menurut dia, sangat wajar dan pada tempatnya DPR RI mengambil inisiatif karena Indonesia memiliki pengalaman panjang dalam dialog intra dan antaragama. Indonesia dapat berbagi pengalaman dengan negara-negara OKI lain. Tak kurang pentingnya, dalam pandangan Hidayat Nur Wahid dengan posisi Ketua DPR RI sebagai presiden PUIC, Indonesia dapat memainkan peran lebih aktif di lingkungan OKI.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbanyak di dunia dan sekaligus sebagai demokrasi ketiga terbesar di dunia, Indonesia sepatutnya memainkan peran lebih besar dalam membantu pemecahan pelbagai masalah yang dihadapi dunia Islam secara internasional, semacam konflik Palestina-Israel,
Rohingya, dan Kosovo.
Jelas dari berbagai sudut pandang itu, dalam perspektif Indonesia, dialog intra dan antaragama kian perlu dan urgen karena makin rumitnya berbagai masalah sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan sosial-politik yang dihadapi masyarakat internasional dan negara-bangsa manapun.
Dalam pandangan saya, yang berbicara tentang masalah sosial dalam hubungan dengan dialog antaragama, berbagai bentuk masalah sosial tersebut, langsung maupun tidak, dapat terkait dan memengaruhi kehidupan dan hubungan intra dan antaragama.
Masalah sosial-ekonomi muncul dari kemiskinan, pengangguran, dan kian senjangnya tingkat pendapatan dan kesejahteraan antara kelompok warga. Keadaan tidak kondusif ini pada gilirannya menimbulkan keresahan dan kemarahan sosial secara luas, sehingga dapat menimbulkan konflik dan kekerasan yang luas dalam kehidupan negara-bangsa, yang tidak jarang diberi legitimasi agama.
Kompleksitas masalah juga dapat bertambah dari kondisi sosial-budaya yang tidak menguntungkan seperti keterbelakangan pendidikan, tingginya angka buta huruf, dan rendahnya kedudukan perempuan. Jika semua masalah ini berkombinasi dengan persoalan keragaman sosial-budaya dan tradisi, konflik dan kekerasan yang juga sering membawa-bawa agama dapat pula meletup sewaktu-waktu.
Begitu juga konflik dan kekerasan bersumber kondisi sosial politik akibat pemerintahan otoriter, atau totaliter yang nyaris tidak memberikan ruang bagi warga untuk mengekspresikan dirinya. Konflik dan kekerasan dapat pula bersumber dari transisi menuju demokrasi yang berpanjangan tanpa kepastian.
Dalam kondisi seperti ini, lagi-lagi agama pun sering digunakan untuk kepentingan politik masing-masing pihak bertikai. Semua masalah sosial tersebut jelas memperlihatkan urgensi dialog intra dan antaragama.
Dari sudut agama sendiri, dialog intra dan antaragama juga penting dilakukan guna menumbuhkan saling pengertian, toleransi, dan kehidupan umat beragama yang damai.
Sebab, bahkan di dalam satu agama tertentu tidak ada pemahaman dan praktik tunggal karena adanya perbedaan atau khilafiyah, sejak dari hal pokok sampai pada soal furu'iyah. Karena itulah dalam agama mana pun selalu ada aliran, mazhab, denominasi, dan bahkan sekte.
Tanpa saling pengertian, sulit ditumbuhkan respek timbal balik dan pada akhirnya kedamaian.
Indonesia beruntung dapat mengembangkan dan memberdayakan dialog intra dan antaragama. Dengan begitu, sektarianisme aliran yang bisa bernyala-nyala dapat terkurangi seminimal mungkin, sehingga kekerasan komunalisme intra dan antaragama lebih bersifat kasuistik dan isolated daripada merupakan gejala umum dalam kehidupan sehari-hari umat beragama.
Meski terlihat jelas urgensi dialog intra dan antaragama di negara-negara OKI, jelas banyak tantangan yang harus dihadapi agar upaya penting ini dapat berhasil. Tantangan pokok di banyak negara anggota OKI, selain tidak adanya tradisi dialog intra dan antaragama, juga karena terus meningkatnya sektarianisme agama yang berkombinasi dengan masalah-masalah sosial- ekonomi, sosial-budaya, dan sosial-politik.
Tetapi, bukan tidak ada yang bisa dilakukan.
Apa yang dilakukan DPR RI dengan dialog antaragama dan kebudayaan merupakan langkah penting yang perlu diapresiasi dan dilanjutkan secara berkesinambungan --bahkan ketika ketua DPR RI pada waktunya tidak lagi menjabat presiden PUIC.