Jumat 30 Nov 2012 07:00 WIB

Indonesia-Malaysia yang Sering Panas

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nasihin Masha

Ada kesan positif saat berbincang dengan Duta Besar Malaysia yang baru, Dato' Syed Munshe Afdzaruddin, Selasa (27/11). Berbeda dengan duta besar sebelumnya yang cenderung ofensif, Munshe lebih rileks, hangat, dan jernih. Sabam Siagian, wartawan senior, yang juga hadir dalam jamuan makan siang duta besar dengan para pemimpin redaksi itu, memuji pidatonya.

Munshe menyadari hubungan Indonesia dan Malaysia sering menegang. Setiap pagi ia membaca kliping berita tentang Malaysia dari media massa di Indonesia. Jumlahnya cukup banyak. Hal itu berbeda dengan pemberitaan Indonesia di media massa Malaysia yang tak sebanyak itu. Menurutnya ada beberapa faktor. Jumlah media massa di Indonesia jauh lebih banyak dibandingkan dengan media massa di Malaysia. Selain itu, orang Malaysia cenderung berbicara seperlunya. Ia juga membandingkan dengan kecenderungan pemberitaan di kedua negara. Di Indonesia, politisi yang mengecam Malaysia mendapat dukungan. Sedangkan di Malaysia justru tak didukung. Sikap media di Malaysia, katanya, juga cenderung positif. Namun ia mengaku rileks dengan pemberitaan media massa Indonesia soal Malaysia. Ia juga tenang saja jika kantornya didemo.

Hanya ia meminta agar media massa Indonesia tak memberitakan berdasarkan persepsi tapi realitas. Yang positif maupun negatif jika itu realitas maka hal itu tak masalah. “Jadi jelas mana kudis, mana kanker,” katanya.

Jusuf Wanandi, salah satu pimpinan The Jakarta Post dan juga pendiri CSIS, yang hadir pada acara itu memberi komentar. Media massa di Malaysia tak sebebas di Indonesia. Karena itu perbandingannya menjadi kurang pas. Selain itu, sikap kritis media massa di Indonesia bukan hanya terhadap Malaysia tapi juga terhadap pemerintah Indonesia. Bahkan bisa lebih kejam. Ini juga karena demokrasi di Indonesia lebih maju daripada di Malaysia. Ia mengingatkan bahwa di media sosial (milist, facebook, blog, twitter) pernyataan orang-orang Malaysia tentang Indonesia juga sangat tajam dan keras. Jadi sebetulnya ada kesamaan. Hanya ia sepakat bahwa Indonesia dan Malaysia sebaiknya bekerja sama. Menurutnya ada tiga hal yang harus diselesaikan: perbatasan, buruh migran, dan warisan budaya.

Jika Indonesia dan Malaysia tak bisa mengurai persoalan-persoalan itu maka ke depan akan lebih kompleks lagi permasalahan kedua negara. Saat ini ada empat juta buruh Indonesia di Malaysia, sekitar separonya adalah ilegal. Jumlah total itu berarti 20 persen dari penduduk Malaysia. Angka yang sangat signifikan. Di antara mereka ada yang menikah dengan warga Malaysia maupun sesama warga Indonesia. Mereka memiliki anak-anak. Malaysia menganut prinsip seperti di Amerika Serikat, ius soli. Siapapun yang lahir di negeri itu memiliki hak kewarganegaraan dan berhak memiliki paspor negara itu. Sedangkan Indonesia menganut prinsip ius sanguinis, mengakui kewarganegaraan seseorang berdasarkan kewarganegaraan orangtuanya. Jika orangtuanya warga Indonesia maka anaknya, lahir di manapun, memiliki hak sebagai warga Indonesia. Keturunan dari sebagian WNI yang ada di Malaysia itu akan menjadi suatu fenomena tersendiri dalam satu generasi ke depan.

Dari sembilan kesultanan di Malaysia, empat di antaranya didirikan oleh keturunan Indonesia: Pahang (Bugis), Negeri Sembilan (Minang), Perak (Aceh), dan Selangor (Deli Serdang). Mereka adalah keturunan resmi dari kesultanan mereka di wilayah Nusantara yang dihanguskan kolonial Belanda. Jadi jika di Indonesia sudah tak ada lagi kerajaan Pagaruyung, Bugis, Aceh, atau Deli Serdang, di Malaysia justru mereka masih memilikinya. Ini artinya sekaligus juga mereka mengembangkan budaya dari tanah leluhurnya. Di sinilah kemudian komplikasi soal warisan budaya. Karena itu, apa yang dikatakan Jusuf Wanandi benar. Walaupun mereka bisa saja berhak atas warisan itu, tapi tak perlu dicatatkan ke badan dunia sebagai milik mereka.

Saat ini, tiap tahun ada 1,3 juta turis Malaysia datang ke Indonesia, dan 2,3 juta turis Indonesia di Malaysia. Juga ada 14 ribu pelajar Indonesia di Malaysia, dan sekitar enam ribu pelajar Malaysia di Indonesia. Karena itu, sebetulnya hubungan yang sering memanas antara kedua negara semestinya tak perlu terjadi. Kedua negara justru harus bersatu memajukan rakyatnya secara bersama-sama.

Peta ekonomi dunia sedang berubah. Eropa dan Amerika Serikat (AS) sedang melemah. Abad Asia sedang bersinar. Ini terutama akibat kemajuan yang dicapai Cina dan India. Kedua negara ini secara perlahan menggerogoti kueh ekonomi yang selama ini dikuasai kulit putih. Tak lama lagi kekuatan ekonomi Cina akan melampaui AS. Cina, juga India, akan sangat membutuhkan daya dukung dari negeri-negeri di sekitarnya, sebagai pasar, sumberdaya alam, vendor, maupun basis industri manufaktur yang sudah saatnya direlokasi. Pada sisi lain, Eropa dan AS tak mau kehilangan pijakan di negeri-negeri yang sudah mereka perkuda sejak era kolonial. Mereka akan bersaing memperebutkan pengaruh di wilayah Asia Tenggara. Sebagai negara serumpun, mestinya itu menjadi kekuatan bagi Indonesia dan Malaysia untuk bersinergi. Bukan malah cakar-cakaran, saling menikam, dan menusuk dari belakang.

Kita akan bersedih hati jika di tengah melesatnya Cina dan India, kita hanya kuat sebagai pasar, sumberdaya alam, vendor, maupun basis industri manufaktur mereka. Salah satunya, karena Malaysia dan Indonesia lebih suka berkelahi untuk sesuatu yang mestinya bisa diselesaikan di meja makan. Kita harus bisa menjadi seperti Jepang dan Korea Selatan. Mereka bisa bersaing karena mereka juga menjadi produsen.

sumber : Resonansi
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement