REPUBLIKA.CO.ID,Ikhwanul Kiram Mashuri
Serangan udara Prancis ke lokasi kelompok militan di Mali, Afrika Barat, dalam beberapa hari ini tampaknya telah memperluas medan 'perang terhadap teroris'-begitulah Barat menamainya-ke Benua Afrika.
Apalagi, sebelumnya militer Aljazair juga telah menyerang para teroris yang menyandera para pekerja asing di pengolahan gas alam di Gurun Amenas. Dalam peristiwa ini, sedikitnya telah menewaskan 23 sandera dan 32 teroris.
Militan yang menamakan diri sebagai kelompok Jihad Islam ini pada awalnya hanya beroperasi di Mali. Namun, setelah militer Afrika yang dikirim untuk menyerang basis-basis mereka, kelompok yang terkait dengan Alqaidah ini kemudian menyeberang ke perbatasan Aljazair. Mereka lalu menyandera para pekerja di ladang gas Amenas.
Dikhawatirkan, kelompok teroris ini akan segera menyebar ke negara-negara lain di Afrika yang berdekatan dengan Mali, seperti Senegal, Nigeria, Chad, dan Muritania. Dengan kata lain, 'neraka' yang diakibatkan oleh teroris ini akan berpindah dari Asia Tenggara dan Timur Tengah ke Benua Afrika.
Apalagi, di negara-negara Afrika yang tersebut tadi juga terdapat kelompok-kelompok militan dan radikal yang menganggap Barat-Eropa dan Amerika Serikat-sebagai musuh bebuyutan. Baik secara ideologi, politik, maupun ekonomi. Dengan begitu, perang terhadap Barat (yang dianggap kafir) merupakan kewajiban agama.
Munculnya kelompok-kelompok militan di Afrika ini juga dipersubur dengan adanya musim revolusi Arab (Arab Spring/al-Robi' al-Arabi). Sebuah revolusi yang bukan hanya berhasil menumbangkan para penguasa diktator, tapi juga mengantarkan partai-partai Islam memenangkan pemilu demokratis dan kemudian berkuasa.
Sebelum datang musim revolusi, negara-negara Barat selalu mendukung para penguasa Arab meskipun mereka memerintah secara diktator, tidak demokratis, dan bahkan sering melanggar HAM. Bahkan, mereka (Barat) selama bertahun-tahun juga membantu rezim diktator Arab untuk memerangi kelompok-kelompok Islam militan. Karena, para penguasa Arab ini dinilai berhasil menciptakan stabilitas di Timur Tengah dan dengan begitu, telah mengamankan kepentingan vital mereka di Timur Tengah, yaitu minyak.
Namun, sikap Barat menjadi berubah ketika revolusi Arab telah berhasil mengantarkan partai-partai Islam berkuasa. Mereka, terutama AS, lebih memilih bekerja sama dengan para penguasa baru dari kelompok Islam ini. Mereka juga lebih suka mendorong terjadinya perubahan demokrasi di sejumlah negara Arab daripada mengirimkan pasukannya, seperti yang terjadi di Afghanistan dan Irak.
Dengan kondisi seperti itu, pasukan Prancis dan dengan dibantu beberapa tentara bayaran dari Afrika tampaknya akan berperang sendirian di Mali. Sejumlah pihak memperkirakan, perang tersebut akan berlangsung lama dan tidak ada akhirnya. Karena, perang melawan para militan, apalagi berbasis ideologi agama, tidak seperti menumpas kaum pemberontak terhadap sebuah rezim penguasa. Ideologi adalah persolan hidup dan mati. Orang akan rela 'berjihad' demi membela ideologinya meskipun harus berhadapan dengan kematian. Mereka menyebutnya sebagai 'mati syahid'. Sebuah kematian yang dimimpikan oleh banyak orang.
Inilah sebenarnya yang sedang dihadapi oleh negara-negara Barat dan juga Islam sekarang, kelompok-kelompok yang berideololgi militan dan sekaligus radikal. Bagi kelompok ini, cara dan tujuan sama saja. Untuk sebuah tujuan, cara yang ditempuh bisa bagaimana dan apa saja, termasuk menghalalkan segala cara, misalnya, meneror orang lain. Penyanderaan dan kemudian pembunuhan terhadap pekerja di ladang minyak Amenas, Aljazair, diduga dilakukan oleh kelompok berideologi militan dan radikal ini.
Karena itu, perang terhadap mereka yang berideologi seperti ini tidak bisa hanya dengan mengirim pasukan dan menggunakan persenjataan canggih, termasuk pesawat tanpa awak. Tokoh-tokoh, seperti Usamah bin Ladin dan lainnya, bisa saja dibunuh, namun pikiran militan dan radikal akan tetap hidup. Ia seperti virus yang akan terus menyebar ke berbagai lapisan masyarakat dan negara.
Alqaidah dan para pemimpinnya bisa saja dihancurkan. Tap, para pengikut dan simpatisannya dapat saja tiba-tiba muncul dengan baju lain dan organisasi yang berbeda. Ada Jamaah Jihad, Jihad Islami, Jamaah Takfir wal Hijrah, dan seterusnya.
Hal inilah yang tampaknya kurang dipahami oleh Prancis ketika mengirimkan pasukannya di Mali kini dan Amerika Serikat di Afghanistan dan Irak dulu dan sekarang. Bahwa, ideologi tidak hanya bisa dihadapi dengan senjata. Ideologi harus dilawan dengan ideologi. Pikiran harus dilawan dengan pikiran.
Miliaran atau bahkan tiliunan dolar telah dihabiskan negara-negara Barat untuk mengirimkan pasukan dan penggunaan senjata canggih di negara-negara Islam. Namun, hasilnya tetap nihil. Terorisme tetap marak. Seandainya dana itu digunakan untuk membantu menstabilkan negara-negara Islam yang terus bergolak, baik politik, ekonomi, maupun keamanannya, hasilnya bisa lain. Wallahu a'lam.