Senin 11 Feb 2013 06:30 WIB

Apakah Musuh itu Hanya Zionis Israel?

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Hamzah Ali al-Khatib berusia 13 tahun. Ia tinggal dengan orang tuanya di Kota Dara'a, barat daya Damaskus, Suriah. Ia suka burung merpati dan melatihnya untuk bisa terbang serta mengenali kandangnya. Ia juga sangat dermawan. “Dia sering meminta uang kepada orang tuanya untuk diberi kepada orang yang tidak mampu. Saya ingat dia pernah ingin memberi seorang pengemis 100 Pound Suriah (dua dolar AS), dan keluarganya bilang itu terlalu banyak. Namun, Hamzah berkata, “Aku memiliki tempat tidur dan makanan sedangkan orang itu tidak memiliki apa-apa. Dan, dia pun membujuk orang tuanya untuk memberi orang miskin tersebut 100 pounds,” sepupu Hamzah bercerita kepada stasiun televisi Aljazirah, seperti dikutip Wikipedia.

Pada 29 April 2011, ia-seperti bocah lainnya-ikut keluarganya menghadiri rapat umum untuk menyelamatkan diri dari serangan militer rezim Bashar al-Assad di Kota Dara'a. Ketika masyarakat mulai berkumpul, tiba-tiba militer Suriah menembaki mereka. Banyak di antaranya terbunuh dan terluka. Beberapa ditawan. “Keadaan benar-benar semrawut. Kami tidak tahu apa yang terjadi pada Hamzah,” lanjut sepupunya.

Hamzah ada di antara 51 warga yang ditawan militer. Setelah sebulan lebih, atau tepatnya pada 25 Mei 2011, bocah itu dikirim ke keluarganya. Namun, hanya tinggal jasad. Ia sudah meninggal dunia. Pada beberapa bagian tubuhnya terdapat memar, luka-luka bakar bekas sundutan rokok, tiga bekas tembakan dari jarak dekat, dan-maaf-alat kelaminnya dipotong.

Beberapa hari kemudian, keluarga Hamzah mengirimkan foto-foto dan gambar video bocah yang mati mengenaskan itu ke sejumlah jurnalis dan aktivis. Yang terakhir ini kemudian mengunggah ke internet. Dan, sontak masyarakat internasional pun terkejut atas kebrutalan rezim Bashar Assad.

Peristiwa yang memilukan itu terjadi hampir dua tahun lalu. Kini, berita soal bocah 13 tahun itu pun tidak ada gaungnya lagi. Bahkan, ketika penganiayaan itu terjadi, reaksi masyarakat internasional pun tidak seheboh saat Malala Yousafzai (14) ditembak oleh gerombolan Taliban di Lembah Swat, barat daya Pakistan, pertengahan Oktober tahun lalu.

Penembakan itu lantaran ulama Taliban marah pada gadis kecil ini karena ia memperjuangkan hak pendidikan buat kaum perempuan di negaranya. Untunglah Malala tidak meninggal dunia. Atas dukungan berbagai pihak, Malala kemudian dibawa berobat di rumah sakit di London dan sekarang dalam proses pemulihan.

Minimnya kepedulian dunia pada nasib Hamzah boleh jadi karena peristiwa mengenaskan seperti itu sudah dianggap lumrah di Suriah. Hampir setiap hari puluhan atau bahkan ratusan anak tewas terkena puluru militer rezim Assad. Menurut catatan media Al-Sharq al-Awsat, anak-anak yang meninggal dunia terkena peluru tentara sejak Suriah yang bergejolak, Januari 2011 hingga kini, berjumlah 4.678. Perinciannya, 70 persen anak laki-laki dan 30 persen perempuan. Ini belum termasuk mereka yang terluka dan cacat yang jumlahnya lebih besar lagi.

Sedangkan, yang meninggal dunia secara keseluruhan, termasuk anak-anak, menurut PBB, tidak kurang dari 60 ribu warga. Sumber lain menyebutkan sekitar 63 ribu. Ini artinya, rata-rata 100 warga tewas hampir setiap hari sejak munculnya aksi demonstrasi menentang rezim Assad, 23 bulan lalu.

Sementara itu, PBB memperkirakan sekitar empat juta warga Suriah kini memerlukan bantuan. Menurut Badan Pangan Dunia, sebanyak satu juta warga menderita kelaparan. Setiap hari sekitar 5.000 pengungsi Suriah melarikan diri ke negara tetangga, seperti Lebanon, Yordania, Irak, dan Turki.

Hingga kini, belum jelas bagaimana dan kapan penderitaan rakyat Suriah berakhir. Nasib rakyat Suriah memang tidak sebaik rakyat Tunisia, Mesir, Yaman, dan Libya yang sama-sama terkena hantaman musim Ar-Rabi'ul Arabi alias revolusi rakyat. Di Libya, pasukan multinasional langsung turun tangan. Di Yaman, negara-negara Teluk memaksa melengserkan Ali Abdullah Saleh dari jabatan presiden yang telah digenggamnya selama 30 tahun. Sementara itu, rezim diktator otoriter Zainal Abidin bin Ali di Tunisia dan Husni Mubarak di Mesir mudah digulingkan revolusi rakyat karena tidak ada dukungan asing kepada kedua penguasa itu.

Berbeda dengan Suriah, banyak pihak yang bermain. Rusia, Cina, dan Iran terus mendukung rezim Bashar Assad. Juga Hizbullah di Lebanon. Itu sebabnya juru runding PBB, Kofi Annad, gagal membujuk Bashar Assad untuk turun. Begitu juga penggantinya, utusan PBB dan Liga Arab, Lahdar Brahimi, hingga kini gagal melengserkan rezim Bashar Assad.

Bahkan, para pemimpin negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKSI) yang baru bersidang di Kairo hanya sebatas mengecam kebrutalan sang penguasa di Suriah itu. Tidak ada tindakan konkret, misalnya, dengan mengirim pasukan untuk menghentikan kebiadaban rezim Assad. Negara-negara Barat setali tiga uang.

Yang mengherankan justru sikap masyarakat internasional, termasuk rakyat Indonesia. Tidak seperti serangan Zionis Israel ke Palestina atau kekerasan yang dilakukan negara Burma terhadap suku Rohingya yang segera direspons dengan aksi demonstrasi dan pengumpulan bantuan oleh lapisan masyarakat, kekerasan terhadap rakyat Suriah dihadapi dengan adem ayem saja. Seolah yang dianggap musuh bebuyutan itu hanya Zionis Israel saja.

Zionis Israel memang harus dilawan karena sikap ekspansinya. Yaitu, menjajah dan menduduki wilayah Palestina, termasuk Madinatul Quds (Yerusalem) di mana terdapat Masjidil Aqsa sebagai kiblat pertama umat Islam. Namun, penguasa yang zalim, siapa pun penguasa itu, juga harus dilawan lantaran rela menyerang, membunuh, dan menganiaya rakyatnya sendiri, hanya untuk mempertahankan kekuasaan. Kalau tidak, akan banyak jumlah Hamzah Ali al-Khatib yang menjadi korban kebiadaban sang penguasa lalim.

sumber : Resonansi
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement