REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia
“Mama kalau marah yang profesional, dong.”
Kalimat bernada protes itu serta merta membuat seorang bunda menggerakkan langkahnya mencari teman diskusi, “Marah profesional? Maksudnya apa ya, Mbak?”
Ada cercah tawa bercampur kebingungan mengintip di paras manisnya. Anak-anak zaman sekarang memang kritis. Enam belas tahun lalu sejak Allah memercayakan seorang putri, kemudian putra, ada janji diam-diam yang saya ikrarkan. Menyadari begitu banyak sosok yang rasanya jauh lebih baik dalam banyak hal, namun hingga saat ini masih terus menadahkan tangan agar Allah memberikan keturunan.
Sebagai bentuk syukur, saya berjanji akan melindungi mereka dari kemarahan yang tidak perlu, khususnya dari saya pribadi. Memilih untuk tidak menyampaikannya dengan teriakan, apalagi melayangkan tangan. Pada praktiknya tidak mudah. Tetapi, betapa pun hati panas, marah harus cerdas. Bisik saya berkali-kali menyemangati diri. Ungkapan “Bunda nggak marah, hanya sedih” adalah salah satu ekspresi yang kemudian saya pilih. “Tapi, aku lebih suka Bunda marah, ketimbang sedih. Sebab kalau Bunda marah hanya aku yang sedih. Sementara kalau bunda sedih, tidak hanya aku, tapi Bunda juga jadi sedih.” Celoteh panjang si sulung yang kala itu bahkan belum masuk sekolah menanggapi pilihan saya. Ah, anak-anak kita sejak dini ternyata sudah melihat, mengamati, menilai, lalu menyimpulkan tentang banyak hal, juga menyerap. Motivasi tambahan bagi setiap orang tua untuk bisa memberikan teladan.
Kembali kepada marah profesional, barangkali yang dimaksudkan antara lain kemarahan yang proporsional. Tidak merembet ke persoalan-persoalan lain. Tidak mengungkit kesalahan sebelumnya, apalagi yang sudah tutup agenda. Marah juga harus beralasan. Dan, alasan kemarahan bukan karena anak-anak kita berisik dan tidak bisa diam. Beri ruang selama aktivitas yang dilakukan bagus untuk tumbuh kembang. Marah seharusnya juga bukan karena terpancing letih atau beban pikiran. Marah yang seperti ini biasanya disusul penyesalan, menyadari apa yang dilakukan anak-anak sebetulnya belum pantas membuahkan letupan dan sanksi sekeras itu.
Kalau boleh dibuat semacam hukum marah maka marah menjadi wajib diekspresikan ketika seseorang melakukan cacat akhlak, seperti berbohong. Berbagai bentuk kriminalitas banyak yang berawal dari ketidakjujuran. Atau, ketika mereka mendekati maksiat. Sebaliknya, tidak boleh marah terhadap perbuatan atau kata yang bersumber dari ketidaksengajaan atau karena belum mengerti. Anak-anak usia balita yang menjatuhkan gelas, menumpahkan susu, memecahkan pajangan, mereka tidak salah. Tanggung jawab ada pada orang dewasa yang meletakkan benda-benda tersebut dalam jangkauan anak.
Lainnya, orang tua dituntut bersikap tegas sewaktu ananda melakukan hal-hal berbahaya yang mengancam keselamatan dirinya atau orang lain agar tidak terulang dan berakhir fatal.
Poin-poin yang menyebabkan kita marah pun harus disampaikan dengan jelas sehingga tercapai tujuan “kemarahan” sebagai media islah atau agar terhindar dari keburukan. Marah yang diharus-haruskan agar anak ingat kesalahan yang dilakukan. Dengan motivasi ini, kemarahan yang kemudian hadir lebih bernuansa tausiah. Terkelola, tetap tegas, tapi tanpa caci maki. Sebab, memang tidak dimaksudkan untuk mempermalukan apalagi menyakiti hati maupun fisik.
Memilih kapan “marah” diekspresikan adalah pertimbangan lain. Seperti, kemarahan yang ingin disampaikan padahal anak-anak akan mengikuti ujian atau perlombaan dalam waktu dekat.
Hening. Setelah obrolan panjang lebar, perempuan di hadapan saya menarik napas berat, “Kalau dipikir-pikir, barangkali orang dewasa sebenarnya sudah mempraktikkan marah profesional ini, ya?”
Saya membenarkan. Sayangnya, orang tua sering justru lebih piawai mengelola marah saat berhadapan dengan pihak-pihak yang status, jabatan, dan latar belakangnya lebih tinggi. Adilnya, seharusnya hal serupa bisa diterapkan di rumah, pada pasangan dan anak-anak. “Tapi, untuk mengubah kebiasaan pada usia seperti ini, rasanya kok susah,” potong perempuan yang menjadi teman diskusi saya.
Sulit tidak berarti mustahil. Dan, usia seharusnya tidak menjadi alasan seseorang untuk berhenti belajar dan berproses. Jika memang lebih baik dan menimbulkan kecintaan Allah, jika demikian yang dicontohkan Rasulullah, mengapa tidak? “Tidaklah hamba meneguk tegukan yang lebih utama di sisi Allah SWT dari meneguk kemarahan karena mengharap wajah Allah SWT.” (Hadis sahih riwayat Ahmad).
Hadis tersebut mengingatkan saya akan respons anak-anak sewaktu kecil ketika masakan eksperimen bunda mereka di dapur bahkan sama sekali tak bisa ditelan. Bukannya marah-marah, bergantian putra dan putri saya berusaha menghibur, sambil memeluk dan mencium pipi si bunda yang nyaris frustrasi karena tak juga pandai memasak.
“Nggak apa-apa, Bunda. Kan kata Bunda yang penting sudah berusaha, bukan hasilnya, kan?”
Anak-anak kita tak jarang bisa lebih pemaaf dan toleran meski tak terhitung catatan “dosa” orang tua. Mulai dari berbohong hanya agar anak berhenti menangis, tidak menepati janji, tidak sabar, lalai dari menjadi contoh yang baik. Termasuk sederet kemarahan ketika seharusnya anak-anak dan juga pasangan menjadi tumpuan cinta serta kasih sayang.