REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
Sudah lebih dari dua tahun Mohamad Bouazizi menjadi martir (pejuang) bangsa Tunisia. Pada 17 Desember 2010, usai shalat Jumat, pemuda 26 tahun ini membakar diri di depan kantor pemerintah kota kelahirannya, Sidi Bousaid. Aksi nekatnya ini—yang tidak ada dalam akar budaya Arab—ia lakukan karena frustrasi. Selepas lulus universitas, pekerjaan tak segera ia dapatkan, seperti halnya ribuan pemuda lainnya di negeri itu.
Untuk menyambung hidup, tanpa malu sang sarjana pun mendorong gerobak berjualan sayur dan buah. Tapi malang baginya, polisi menggaruk gerobaknya. Ia dilarang berjualan di pinggir jalan karena dianggap mengganggu ketertiban dan keindahan kota yang menjadi tujuan wisata di Tunisia itu. Pada puncak frustrasinya, ia pun membakar diri. Nyawanya tidak bisa diselamatkan.
Sontak seluruh Tunisia pun bergolak. Aksi unjuk rasa solidaritas terhadap nasib malang Bouazizi digelar di berbagai kota, terutama di Ibu Kota Tunis. Nasib naas Bouazizi seolah mewakili aspirasi sebagian besar rakyat Tunisia yang hidup sumpek: kenaikan harga pangan dan bahan bakar, pengangguran dalam jumlah besar, korupsi merajalela, dan hak politik yang dipasung. Ini kontras dengan para pejabat dan aparat rezim Presiden Zainal Abidin bin Ali yang hidup berkemakmuran dari korupsi. Aksi unjuk rasa yang terlanjur besar susah diredam. Kemarahan rakyat kemudian memaksa sang presiden dan istrinya melarikan diri ke Arab Saudi pada 14 Januari 2011. Tunisia pun membuka lembaran baru kehidupan demokrasi.
Revolusi rakyat yang dipicu aksi bakar diri Bouazizi ini lalu menginspirasi rakyat di sejumlah negara Arab. Di Mesir, Yaman, Libya, dan Suriah rakyat pun bergolak. Mereka menggelar aksi unjuk rasa melawan rezim yang telah berkuasa puluhan tahun secara otoriter dan diktator. Inilah yang oleh Barat disebut the Arab Spring alias al-Robi’ al-Arabi alias musim semi Arab.
Namun, setelah dua tahun keberhasilan revolusi rakyat, ‘musim semi’ yang diharapkan bisa memberi kehidupan lebih baik itu ternyata tak membawa perubahan apa-apa. Perekonomian rakyat Tunisia tak kunjung membaik. Bahkan, keluarga Bouazizi pun tetap miskin, meskipun kini mereka semakin terkenal. “Kehidupan kami tetap tidak berubah,” ujar Manoubia, ibunda almarhum Bouazizi, kepada koran Al-Sharq al-Awsat beberapa hari lalu.
Menurut saudara Bouazizi, para penguasa baru sibuk dengan bagi-bagi kekuasaan. “Hampir setiap hari rakyat disuguhi berita tentang pertikaian politik tanpa menyentuh kepentingan rakyat miskin. Perjuangan saudara saya sepertinya sia-sia,” sambung si ibu.
Pascarevolusi dan diikuti pemilihan demokratis, para politisi memang disibukkan dengan pembagian kursi kekuasaan. Partai Islam An-Nahdla yang memenangkan pemilu tidak mayoritas (89 dari 217 kursi parlemen) mengajak partai lain untuk berkoalisi. Tokoh Partai Kongres untuk Republik yang berhaluan sekuler mendapat jatah kursi presiden. Ketua parlemen dijabat pemimpin Partai At-Takatul, Mustofa bin Ja’far. Sedangkan, An-Nahdla mengambil jatah sebagai perdana menteri dan berhak membentuk pemerintahan. Jabatan yang terakhir ini dipercayakan kepada politisi senior An-Nahdla, Hamidi al-Jabali.
Al-Jabali kemudian membentuk pemerintahan yang sebagian besar menterinya berasal dari partai Islam. Sisanya, untuk pos-pos yang kurang strategis, diberikan kepada partai lain. Inilah yang oleh pengamat disebut sebagai pemerintahan Islam Tunisia.
Namun, seperti dikeluhkan keluarga Bouazizi, kehidupan rakyat selama pemerintahan Islam al-Jabali tak banyak berubah. Angka pengangguran semakin tinggi. Begitu juga dengan harga kebutuhan sehari-hari. Belum lagi kekerasan yang terus meningkat, baik oleh jamaah kecil radikal, oposisi, maupun oleh penjahat kambuhan. Puncaknya adalah pembunuhan terhadap tokoh oposisi utama Tunisia, Cokri Belaid, 7 Februari lalu.
Pembunuhan yang kemudian menyulut aksi-aksi unjuk rasa, pemogokan, dan kerusuhan di kota-kota besar Tunisia, mirip revolusi rakyat yang menjatuhkan Zainal Abidin bin Ali dari tampuk kepresidenan. Peristiwa ini kemudian menyebabkan al-Jabali membubarkan pemerintahannya dan berencana membentuk pemerintahan baru dari para teknokrat. Menteri-menteri yang diharapkan mempunyai kecakapan di bidang-bidang yang menjadi posnya. Keputusan ini tampaknya merujuk pada kegagalan kabinet sebelumnya yang mayoritas berasal dari Partai Islam An-Nahdla, yang belum berpengalaman dalam birokrasi pemerintahan.
Rencana al-Jabali ternyata—berdasarkan survei—didukung mayoritas rakyat. Bagi mereka tampaknya tak penting siapa yang memerintah, asal bisa memperbaiki kehidupan ekonomi rakyat. Sayangnya, rencana al-Jabali ditentang pemimpin partainya sendiri (An-Nahdla), Rasyid al-Ghannushi. Yang terakhir ini kemudian menunjuk Ali Larayedh—setelah al-Jabali mengundurkan diri—sebagai perdana menteri baru.
Larayedh adalah tokoh garis keras Partai An-Nahdla yang juga menteri dalam negeri dalam pemerintahan al-Jabali. Larayedh diberi waktu dua pekan untuk membentuk pemerintahan baru. Belum diketahui bagaimana warna pemerintahannya yang akan datang. Namun, merujuk pada latar belakangnya, ia diperkirakan akan menunjuk sebagian besar menteri-menterinya dari partai Islam.
Pertanyaannya, dapatkah pemerintahan Islam yang akan dibentuk Larayedh memperbaiki ekonomi rakyat Tunisia? Yang jelas, kabinet Tunisia mendatang akan menjadi ujian bagi pemerintahan Islam di negara itu. Keberhasilan atau kegagalannya akan memengaruhi negara-negara Arab yang telah terkena hantaman revolusi rakyat, sebagaimana pengaruh aksi bakar diri Mohamad Bouazizi.