REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Azyumardi Azra
Sekolah pelanggar HAM? Bagaimana bisa terjadi sekolah yang seharusnya merupakan tempat penyemaian kesadaran dan penegakan HAM, justru melakukan pelanggaran serius. Hal ini terkait dengan kontroversi dan penolakan berlarut-larut lima sekolah Katolik di Blitar beberapa bulan terakhir menyediakan guru Muslim untuk memberikan mata pelajaran agama Islam kepada murid-murid Muslim yang jumlahnya lebih daripada 60 persen total peserta didik sekolah bersangkutan.
Seperti diberitakan banyak media, kelima sekolah Katolik di Blitar tersebut adalah SMP Yohanes Gabriel; SMK Santo Yusuf; SD dan SMP Katolik di Jalan Yos Sudarso; SMK Katolik Diponegoro. Pengurus Yayasan dan Pimpinan Sekolah bersangkutan menyatakan, sekolah mereka adalah sekolah berciri khusus agama (Katolik) ; dan karena itu tidak wajib menyediakan guru agama lain [Islam] sesuai agama peserta didik. Bahwa sekolah Katolik dan juga agama lain seperti Kristen, Islam, Hindu, Budha, Konghucu dan sebagainya boleh memiliki ciri sendiri tidak perlu dipersoalkan lagi.
Hal itu sah belaka sesuai UUD 1945 dan UU tentang Sisdiknas No 20/2003. Meski bercirikan agama, jelas sekolah seperti itu bersifat terbuka, dan karenanya juga bisa menerima peserta didik beragama lain. Karena itu sangat absurd, jika sekolah menolak menyediakan guru—atau menolak menerima guru agama yang disediakan Kemendikbud/Kemendiknas atau Disdik setempat untuk memberi pelajaran agama sesuai agama murid. Sebaliknya, peserta didik justru diwajibkan mengikuti pelajaran agama Katolik sesuai ciri Yayasan atau sekolah bersangkutan. Tak heran jika ada orang berpikir tentang gut motive tersembunyi di balik penolakan itu. Kasus kelima sekolah Katolik di Blitar ini agaknya hanyalah ‘puncak’ dari gunung es lebih besar. Sangat boleh jadi masih sangat banyak sekolah berciri agama bersikap semacam itu.
Padahal jelas penolakan itu merupakan pelanggaran berlapis-lapis. Pertama, pelanggaran terhadap prinsip HAM, bahwa salah satu hak azasi manusia adalah kebebasan memeluk agama dan keyakinannya. Pelanggaran kedua adalah terhadap UUD 1945 pasal 28E ayat 1 yang menyatakan ‘setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran...’ Pelanggaran ketiga adalah terhadap UU No 20/Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang Pasal 12 menyatakan; sekolah wajib menyelenggarakan pendidikan agama sesuai agama peserta didik, yang diajarkan guru seagama dengan murid. Pelanggaran kelima adalah terhadap PP Menteri Agama No 16/2010 tentang Pengelolaan [Penyelenggaraan] Pendidikan Agama di Sekolah. Pelanggaran kelima adalah terhadap prinsip bhinneka tunggal ika, yang menjadi salah satu dari empar bilar negara-bangsa Indonesia. Pilar ini merupakan dasar prinsip dan praktek pendidikan multi-kultural. Dalam paradigma bhinneka tunggal ika, setiap individu, kelompok, dan lembaga masyarakat—termasuk pendidikan—mesti menghormati dan mengakui keragaman, termasuk dalam hal agama, sosial, budaya, dan seterusnya.
Pelanggaran semacam itu sebetulnya tidak baru. Dalam konperensi tentang pendidikan agama di Indonesia yang diselenggarakan sebuah perguruan tinggi di Canberra, Australia, pada 2004 masalah ini juga mencuat. Seorang pembicara yang mewakili lembaga pendidikan Kristiani menyatakan, UU No 20/Tahun 2003 tentang Sisdiknas, khususnya pasal 12 telah melanggar prinsip kebebasan masyarakat menyelenggarakan pendidikan dengan ciri agama masing-masing.
Saya yang juga menjadi pembicara dalam konperensi itu membantah pernyataan tersebut dengan menyatakan sebagian pelanggaran yang disebut di atas. Lagi pula, sekolah berciri agama tersebut merupakan sekolah terbuka; berbeda dengan seminari, pesantren tafaqquh fid-din, atau diniyyah. Lembaga pendidikan seperti ini sangat khusus dan karena itu, tidak ditawarkan secara terbuka, dan peserta didiknya terbatas pada agama tertentu yang kelak diharapkan menjadi fungsionaris agama bersangkutan. Sebaliknya, jika pesantren menawarkan pendidikan umum seperti SD, SMP, SMA, dan SMK secara terbuka dan jika ada peserta didik non-Muslim dalam jumlah sesuai keketentuan UU, sekolah bersangkutan wajib menyediakan guru non-Muslim bagi para peserta didik tersebut.
Pada saat yang sama tidak mewajibkan peserta didik non-Muslim mengikuti mata pelajaran agama Islam. Contoh sangat baik dalam hal ini adalah sekolah-sekolah Muhammadiyah yang terdapat di daerah (provinsi atau kabupaten/kota) mayoritas Katolik atau Kristen (Protestan). Penelitian disertasi DR Abdul Mu’thi yang sudah dibukukan (2011) menemukan apa yang dia sebut peserta didik ‘Krismuha’—Kristiani Muhammadiyah. Sederhananya, dalam konteks ‘Krismuha’, para peserta didik non-Muslim di sekolah Muhammadiyah di tempat tertentu di NTT, Kalteng, dan Papua mendapat mata pelajaran agama (Katolik atau Kristen) yang mereka anut. Akhirnya, HAM dan toleransi tidak cukup hanya wacana. Perlu praktek kongkrit, jelas, jujur, dan ikhlas—termasuk dalam lembaga pendidikan apapun. Jika tidak, sikap semacam itu tak lain, sesuai pepatah: ‘Tiba di mata [sendiri] dipicingkan; tiba di perut [sendiri] dikempiskan’.