REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Asma Nadia
Annisa tak lagi tersenyum. Gadis kecil berkulit putih yang menjadi sumber kebahagiaan keluarga itu kini tampak murung. Bibir mungilnya kehilangan kata-kata. Annisa 'mogok' makan, dan sudah sepekan menolak masuk sekolah. Padahal, beberapa waktu lalu dia begitu antusias memasuki hari-hari dengan seragam putih biru. Ada apa dengan Annisa? Berbagai cara ditempuh untuk membongkar kediamannya.
Saya memahami keresahan orang tua yang berangsur menjelma kepanikan. Sebab, Annisa kemudian meninggalkan rumah, memilih tinggal bersama neneknya, setelah permintaannya untuk operasi wajah tidak dikabulkan.
Permintaan aneh yang tak seharusnya lahir dari anak-anak itu, baru saya mengerti ketika kami berhadapan dan Annisa mulai bercerita. “Buku-buku Nisa dibuang ke tempat sampah, Bunda. Mereka melempar penghapus, juga pasir ke kepalaku. Di loker, mereka menulis nama Nisa dan menggandengkan dengan nama binatang.”
Noktah di wajah Annisa menjadi sumber celaan dan tindakan bully yang dilakukan beberapa teman laki-laki dan perempuan di kelasnya. Julukan terkait tanda lahir di wajahnya terdengar puluhan kali, setiap hari. Membuat kuping dan wajah Annisa panas. Meski bahkan dengan tanda lahir pun sebenarnya kecantikan Annisa jauh di atas rata-rata, gadis itu tak lagi memercayai cermin. Annisa kehilangan kepercayaan diri.
Anak-anak kita, batin saya, sosok yang menjadi sumber keriangan orang tua, bagaimana mungkin memiliki topeng kekerasan sekaligus? Remaja yang seharusnya penuh empati kini mahir merendahkan. Kebahagiaan apa yang mereka peroleh dengan mengejek, serta melakukan kekerasan terhadap anak lain? Lalu bagaimana generasi masa depan bisa diharapkan?
Curhat kali ini mengentak batin lebih dari biasanya. Sebab ,tidak lahir dari para ibu rumah tangga yang berbagi kisah dan permasalahan keluarga, melainkan berasal dari ananda yang masih belasan tahun. “Apakah Nisa pernah melaporkan ke guru?”
Pelan-pelan Nisa mengangguk. Kedua orang tua gadis cilik itu membenarkan. Mereka sempat meminta Annisa pindah kelas. Tetapi wali kelas menolak dengan alasan hal itu akan membuat namanya tercoreng di depan kepala sekolah.
Ini baru cerita sepihak. Tetapi jika benar, sungguh menyedihkan. Bagaimana bisa seorang pendidik—ketika muridnya tersiksa dan kehilangan keinginan belajar—malah memikirkan karier ketimbang merasa bertanggung jawab terhadap kegagalan meniadakan kekerasan di kelasnya. Anak-anak yang berangsur kehilangan nurani. Tak mampu lagi berempati. Lalu wali kelas yang tak melindungi kecuali dirinya sendiri.
Saya mungkin masih bisa sedikit memahami jika kasus ini terjadi di sekolah yang minim fasilitas, di mana guru-guru dibayar tidak manusiawi, sehingga kurang motivasi untuk memerhatikan anak-anak, lalu murid-murid yang tertinggal. Tetapi apa yang dialami Annisa terjadi di sekolah percontohan di bilangan Cibubur, yang masuk kategori sangat mahal.
“Jadi, Nisa harus bagaimana, Bunda?” Saya menarik napas, mengelus kepala gadis cilik itu.
Operasi, bukan jalan keluar setidaknya untuk saat ini. Sebab dengan semangat mengerjai seseorang, bahkan jika noktah itu hilang, anak-anak tetap bisa menemukan celah lain untuk “memamerkan” kekerasan.
Sedikitnya, ada dua hal yang bisa dilakukan. Pertama berharap siswa siswi yang suka mengolok-olok itu sadar dan berubah. Seharusnya pihak sekolah peka dan bersikap tegas terhadap kekerasan di lingkungan sekolah. Sebab, membiarkan berarti melegitimasi kekerasan, yang secara fisik atau psikis, atas nama apa pun dan di dunia manapun kita berada, tidak bisa dibenarkan.
Kedua, meningkatkan daya tahan pribadi, dalam hal ini Annisa. Menerima diri dengan segala kelebihan dan kekurangan. Menebalkan telinga dan hati agar tidak terpancing atau merasa kesal terhadap ulah orang lain. “Kebahagiaan kita, kita sendiri yang menentukan, Annisa. Mereka yang tidak penting tidak boleh merusak kebahagiaan dan mimpi-mimpi kita.”
Saya mengajak Annisa fokus pada kelebihan dan hal-hal yang membuatnya tersenyum. Bukan kepada kekurangan dan berbagai persoalan yang hanya menimbulkan perasaan sedih berkepanjangan. Sepasang mata bening Annisa yang sempat redup, mulai bercahaya ketika saya bercerita tentang tokoh dan selebriti dunia yang mengalami kekerasan semasa sekolah. Pada akhirnya, justru mereka yang mencetak sejarah, bukan pihak yang melakukan bully.
Saya berharap Annisa dan anak-anak lain yang mengalami hal serupa berani menegakkan wajah menatap dunia. Perkataan dan perlakuan orang lain yang tidak mengenakkan, tidak boleh mengurangi semangat siapa pun menjalani kehidupan.
Di pihak lain, ingin sekali saya mengajak para pendidik, dan orang tua untuk sama-sama menelisik lebih dalam ke dalam relung hati anak-anak kita. Memastikan bahwa di balik celoteh, segudang prestasi dan kepolosan yang mereka tampakkan, tak ada topeng kekerasan, yang tersenyum bahagia saat menyengsarakan orang lain.