Senin 18 Mar 2013 07:14 WIB

Perang Fatwa: Dari Revolusi Hingga Sepak Bola

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri

Konflik di Suriah ternyata tidak hanya melibatkan pasukan pemerintah melawan revolusi rakyat, namun juga menyeret para ulama untuk saling berhadapan. Bukan di medan perang, tapi di media massa. Senjatanya adalah fatwa. Yang terakhir adalah fatwa yang diberondongkan Ketua Majelis Tinggi Fatwa (Majlis al Ifta al A’la) Suriah, Sheikh Ahmad Badruddin Hassoun.

Kata dia, mendukung Presiden Bashar al-Assad merupakan kewajiban beragama bagi umat Islam alias fardu ain. Ia pun menyerukan agar bangsa Arab dan umat Islam bertempur melawan revolusi rakyat yang ia sebut sebagai pemberontak, yang ingin menjatuhkan rezim Assad. ‘’Siapa pun yang melawan pasukan kita dan Presiden Bashar al-Assad adalah pengkhianat,’’ ujar Hassoun lewat TV pemerintah pekan lalu.

Fatwa Hassoun segera saja direspons ulama oposisi. Mereka mempertanyakan bagaimana rezim Assad yang selalu mengklaim sekuler kini tiba-tiba bersandar pada ulama untuk mengeluarkan fatwa jihad. Mereka juga menegaskan, jihad yang fardu ain adalah jihad di jalan Allah. ‘’Lalu bagaimana dengan rezim Assad yang pasukannya telah menghancurkan tempat-tempat ibadah?’’ ujar Sheikh Abdul Jalil Said, ulama yang kini telah membentuk lembaga tandingan Majlis al Ifta al A’la, sebagaimana dikutip media al Syarq al Awsat. Menurut Said, fatwa tersebut merupakan senjata terakhir yang dipakai rezim Assad yang semakin lemah dan terus terdesak kekuatan rakyat.

Ia lantas menuduh Majlis al Ifta al A’la sudah diintervensi kekuatan politik dan tidak murni agama. Menurutnya, para khatib Jumat yang berada di bawah lembaga mufti Suriah kini lebih banyak berdoa untuk kelanggengan kekuasaan Assad daripada untuk kebaikan rakyat.

Sebelumnya, Ketua Persatuan Ulama Muslimin Internasional Sheikh Yusuf Qardhawi juga telah berfatwa mengenai boleh dan tidaknya unjuk rasa melawan rezim penguasa. Menurutnya, menjatuhkan sebuah rezim dibolehkan alias halal manakala ada kezaliman dan penghilangan terhadap hak asasi manusia. Atas dasar itu, Qardhawi yang bermukim di Qatar ini membolehkan aksi unjuk rasa dan bahkan revolusi melawan penguasa yang dianggap zalim, terutama mereka yang menyengsarakan rakyat seperti rezim Bashar Assad.

Hal senada juga disampaikan pimpinan tertinggi Al Azhar, Kairo, Sheikh Ahmad Thayyib. Menurutnya, aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan rakyat adalah dijamin oleh syariat asal tidak merusak fasilitas umum. Ia mengutuk keras para penguasa Arab yang menghadapi demonstran dengan kekerasan, apalagi dengan senjata yang mematikan. Hal ini ia sebut sebagai batalnya kontrak yang diberikan rakyat kepada penguasa. Khusus mengenai kekerasan aparat keamanan negara terhadap rakyat Suriah, ia menyatakan, mereka tidak bisa berdalih diperintah. Alasannya, dalam agama, setiap manusia dituntut pertanggungjawabannya atas perbuatannya masing-masing.

Bukan hanya soal konflik di Suriah, berbagai fatwa menyangkut banyak hal juga telah dikeluarkan sejumlah ulama, terutama setelah dunia Arab dihantam revolusi rakyat. Di Mesir, misalnya, seorang ulama Salafi, Sheikh Ahmad Mahmud Abdullah, menyatakan perempuan aktivis aksi unjuk rasa di lapangan Tahrir layak diperkosa. ‘’Katakan kepada para perempuan itu. Mereka datang ke sana (Lapangan Tahrir) sebab mereka ingin diperkosa,’’ ujarnya berapi-api sebagaimana dilaporkan stasiun televisi Alarabiya dua pekan lalu. Masih di Mesir, ada ulama yang menfatwakan haram untuk bermain sepak bola. Ulama itu bernama Sheikh Abdul Mun’im Syahhat, juru bicara kelompok Salafi.

Menurutnya, sepak bola adalah olahraganya orang Barat dan bukan olahraga umat Islam. Olahraga umat Islam, katanya, hanya tiga, yaitu memanah, renang, dan menunggang kuda/unta. ‘’Mereka yang pergi menonton bola adalah fi sabilil lahwi,’’ ujarnya. Pemain sepak bola maupun penontonnya termasuk la’bun wa lahwun yang bisa melupakan ibadah kepada Allah.

Kelompok Salafi di Mesir juga berkeinginan untuk menghacurkan makam-makam orang yang dianggap wali. Menurut mereka, makam-makam tersebut telah menyebabkan perbuatan syirik. Sedangkan di Arab Saudi, Raja Abdullah bin Abdul Aziz--melalui titah kerajaan--telah melarang ulama mengeluarkan fatwa secara individu, baik lewat online maupun tempat-tempat umum lainnya.

Fatwa, katanya, hanya boleh dikeluarkan oleh lembaga resmi Haiah Kibarul Ulama yang sudah terjamin keilmuan dan keulamaannya. Sedangkan, untuk ulama per individu hanya dibolehkan memberi konsultasi keagamaan secara individu pula. Pada awalnya, sejumlah ulama Arab Saudi bebas mengeluarkan fatwa berdasarkan ijtihad masing-masing. Beberapa di antara mereka bahkan ada yang mempunyai web atau blog yang bisa diakses lewat internet. Ketika pecah revolusi di Tunisia dan disusul di negara-negara Arab lainnya, beberapa ulama pun mengeluarkan fatwa mengenai demonstrasi. Ada yang mendukung dan ada yang menolak.

Hal inilah yang tampaknya dilihat oleh pemerintah Saudi bisa membahayakan bangsa dan negara karena bisa saja mengundang rakyat untuk berdemonstrasi seperti di negara lain. Tulisan ini tak sedang membahas kesahihan fatwa-fatwa tersebut. Penilaian soal fatwa-fatwa tadi terserah kepada Anda sidang pembaca.

Hanya saja, khusus konflik di Suriah, saya merasa prihatin dan empati kepada rakyat di sana. Hampir setiap hari konflik yang telah berlangsung lebih dari dua tahun itu terus memakan korban tak berdosa. Hingga kini, sudah lebih 60 ribu warga meninggal dunia. Sejuta warga menjadi pengungsi di Turki dan Yordania. Lalu, tidakkah ada fatwa yang bisa menghentikan konflik berdarah itu?

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement