Rabu 27 Mar 2013 17:39 WIB
Resonansi

Pagar Makan Tanaman

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID,Ada gerombolan terlatih merobohkan kewibawaan negara lewat pembunuhan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Ada mafioso dan korporat hitam yang mendikte kebijakan publik. Ada pejabat negara yang lebih sibuk urusan partainya sendiri. Ada lembaga pengayom rakyat yang kerjanya mempersulit urusan rakyat. Ada penegak hukum yang mencari keuntungan dengan memperjualbelikan  hukum.

Sekonyong-konyong terlintas ungkapan Pramoedya Ananta Toer dalam Rumah Kaca. “Barangkali saja orang akan mengingat tulisanku ini: Akan ada permainan politik oleh orang-orang kriminal dan permainan kriminal oleh orang-orang politik.”

Perkembangan ini sudah melenceng jauh dari tujuan bernegara dan karakter keindonesiaan. Indonesia adalah negeri para pejuang, bukannya negeri para begundal. Dalam ungkapan Bung Hatta, “Bagi kami, Indonesia menyatakan suatu tujuan politik, karena dia melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan dan untuk mewujudkannya, setiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”

Berjuang, ‘berusaha dengan segala tenaga dan kemampuan’ itulah urat nadi keindonesian, yang membuat ia ada dan melangsungkan keberadaannya. Tekad perjuangan ini bukanlah retorika kosong dari suatu politik pencitraan, melainkan didarahi oleh pengalaman keterjajahan, ketertindasan, dan penderitaan yang membuat para pendiri bangsa memiliki penghayatan yang dalam tentang arti keadilan dan komitmen yang kuat untuk mewujudkannya.

Itulah sebabnya mengapa dalam Pancasila, kata ‘keadilan’ ditonjolkan dengan menempatkannya di dua sila sekaligus. Pada sila kedua, keadilan dijadikan landasan nilai perjuangan; pada sila kelima, keadilan itu dijadikan tujuan perjuangan. Dengan itu, para pendiri bangsa mewariskan kepada kita alasan (landasan) dan tujuan perjuangan kebangsaan.

Sedemikian terangnya alasan, isi, dan haluan perjuangan keindonesiaan itu, sehingga seorang ahli sejarah, Rutger, menyatakan, “Dari semua negara-negara di Asia Tenggara, Indonesialah yang dalam Konstitusinya, pertama-tama dan paling tegas memberikan latar psikologis yang sesungguhnya dari perjuangan revolusi melawan penjajahan. Dalam filsafat negaranya, Pancasila, dilukiskannya alasan dan tujuan secara lebih mendalam dari revolusi itu.”

Jika Indonesia ada karena perjuangan dan komitmen luhur menegakkan cita-cita kemanusiaan dan keadilan, Indonesia terancam karam seiring dengan pemudaran tekad kejuangan dan komitmen keadilan. Indonesia telah lolos berbagai ujian kemelaratan dan penderitaan, sejauh masih ada semangat perjuangan dan solidaritas kemanusiaan. Tetapi, daya hidup dan karakter keindonesiaan justru goyah saat ketamakan dan kezaliman kuasa menari di atas penderitaan rakyat banyak. Kemiskinan memang membuat bangsa ini tidak memiliki banyak hal, tetapi keserakahan membuat bangsa ini kehilangan segalanya.

Kehilangan terbesar dari bangsa ini bukanlah kemerosotan pertumbuhan ekonomi, melainkan kehilangan harga diri, yang membuat para abdi negara lebih rela menjadi pelayan cukong ketimbang pelayan rakyat. “Aib terbesar, “ kata Juvenalis, “ketika kamu lebih mementingkan kehidupan ketimbang harga diri, sementara demi kehidupan itu sendiri engkau telah kehilangan prinsip-prinsip kehidupan.”

Kehilangan harga diri menjadi pintu masuk bagi keberanian korupsi. Adapun korupsi dari pejabat tinggi merupakan sumber pembusukan moral dan komitmen keadilan. Dalam peribahasa Latin dikatakan, “Corruptio optima pessima”, pembusukan moral (korupsi) dari orang yang tertinggi kedudukannya adalah yang paling buruk.”

Pembusukan moral negara terjadi ketika lembaga kepolisian dan kejaksaan yang mestinya menegakkan hukum justru menjadi manipulator hukum; lembaga parlemen  yang mestinya mewakili aspirasi rakyat justru mewakili kepentingan yang bayar; birokrasi yang mestinya melayani rakyat justru menjadi sarang para penyamun dan makelar proyek; kepala negara yang mestinya menegakkan ‘kebajikan dan keadilan tertinggi’ (summon bonum) di atas formalitas hukum, justru mengalah pada kerangkeng prosedural dalam kerangka keseimbangan kekuasan.

Pembusukan moral negara ini akan sempurna, bilamana para pejabat dan institusi kenegaraan menyalahgunakan fungsinya dalam rangka melayani kepentingan para sindikat partikelir.  Sekitar setengah abad yang lalu, Bung Hatta mewanti-wanti agar negara ini tidak jatuh ke tangan sindikalisme yang akan membuat Republikanisme ini tersungkur di bawah kendali mafioso. Malangnya, drama demi drama yang dipertontonkan para pejabat publik dalam kaitan dengan masalah korupsi akhir-akhir ini, mendekati kekhawatiran Bapak Bangsa itu, bahwa Republik ini terjerembab oleh karena “merajalelanya sindikalisme”.      

Para pejabat negara sebagai pengayom dan pelindung rakyat justru seperti pagar yang memakan tanamannya sendiri. Dengan redupnya wibawa aparatur negara dan komitmen keadilan yang menjadi roh keindonesian, bangsa ini terancam kehilangan jati dirinya. Kehilangan Indonesia akan merupakan suatu bencana besar atas rontoknya cita-cita besar mewujudkan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Indonesia memanggil, “Save our nation!” Kepahlawanan tampak ketika dalam dada yang kecil, ada keberanian besar. Kepengecutan juga tampak ketika dalam dada yang besar, tersembul keberanian kecil. Berani karena benar, takut karena salah. Itulah jiwa kepahlawanan yang harus digelorakan kembali.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement