Selasa 02 Apr 2013 13:06 WIB
Resonansi

Partai Islam dan Masalah Moral Politik

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Ketika masih belajar di Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Jogjakarta tahun 1955, saking fanatiknya, saya telah turut berkampanye di kawasan Bantul untuk memenangkan partai Islam Masyumi dalam pemilu bulan September tahun itu.

Masyumi adalah sebuah parpol modern yang menjunjung tinggi prinsip moral dalam berpolitik. Pimpinan pusatnya umumnya berada di tangan mereka yang berlatar belakang pendidikan Barat, baik di Negeri Belanda, seperti Dr Sukiman Wirjosendjojo, Mr Ahmad Soebardjo, maupun di dalam negeri, seperti Mohammad Natsir, Prawoto Mangkusasmito, Mr Kasman Singodimedjo, Mr Mohamad Roem, Mr Joesoef Wibisono, Mr Sjafruddin Prawiranegara, Mr Burhanuddin Harahap, dan Dr Aboe Hanifah.

Sebagian mereka ini pernah dididik oleh HA Salim melalui Jong Islamieten Bond. Pada zamannya, mereka berada dalam kategori intelektual nasional kelas satu dalam makna yang otentik, setara dengan kaum intelektual pada kelompok-kelompok lain. Tetapi, di ranah moral politik, mereka tidak ada tandingannya. Tampaknya kesederhanaan hidup HA Salim sangat berbekas dalam diri mereka.

Masyumi bersama partai-partai Islam lain: NU, PSII, PERTI, dan Partai Tarekat Islam Indonesia dalam Majelis Konstituante yang bersidang pada tahun 1956-1959 memang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, berhadapan dengan kekuatan politik pendukung Pancasila yang dimotori PNI, PSI, Partai Katholik, Parkindo (Partai Kristen Indonesia), Partai Buruh, Partai Murba, dan bahkan PKI yang tidak akrab dengan Pancasila juga bergabung dengan partai-partai ini.

Tetapi, di ujung sidang majelis, tidak ada kekuatan politik yang mampu merebut suara mayoritas mutlak dalam majelis untuk mengegolkan ideologinya sehingga secara konstitusional dapat dijadikan dasar negara. Jalan buntu ini oleh Presiden Sukarno, yang didukung TNI, ditembus dengan sebuah dekrit presiden.

Sekalipun Dekrit 5 Juli 1959 dari Presiden Sukarno dinilai oleh sebagian melanggar konstitusi dan prinsip demokrasi, berkat dukungan TNI tidak ada kekuatan domestik yang mampu melawannya. Dengan dekrit ini, sejak itu Pancasila dan UUD 1945 telah dikukuhkan menjadi dasar dan konstitusi Indonesia. PSI dan Partai Katholik yang bergabung dengan faksi Pancasila dalam Majelis Konstituante, dalam menghadapi dekrit tersebut kedua partai ini bersatu dengan Masyumi dengan pertimbangannya masing-masing, meskipun dalam kultur politik ketiga partai ini banyak persamaannya. Mereka adalah pembela sistem demokrasi sampai titik darah penghabisan. Boleh jadi, karena para pemimpin mereka sama-sama dibentuk oleh latar belakang pendidikan Barat yang sangat antisistem politik yang bercorak otoritarian.

Di bawah sistem otoritarian Demokrasi Terpimpin (1959-1966), pada tahun 1960, Masyumi dan PSI dibubarkan dengan alasan pokok karena sebagian pemimpinnya terlibat dalam pergolakan daerah yang kemudian mengkristal dalam PRRI/Permesta (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta). Partai-partai lain dengan cepat menyesuaikan diri dengan sistem antidemokrasi itu, demi kelangsungan hidup. Masyumi dan PSI dengan demikian telah menghilang dari panggung politik nasional dan gagal bangkit kembali, sekalipun sistem otoritarian jilid pertama telah runtuh untuk digantikan oleh sistem serupa dalam format jilid kedua yang dikenal dengan nama Orde Baru (1966-1998).

Sekalipun secara organisasi struktural Masyumi telah lenyap, di era pasca-Orde Baru secara ideologis telah muncul beberapa partai politik Islam yang sedikit banyaknya masih terkait dengannya; secara moral adalah makhluk lain sama sekali. Partai-partai semisal PBB (Partai Bintang Bulan), PAN (Partai Amanat Nasional), PKS (Partai Keadilan Sejahtera) sedikit banyak ada bau Masyuminya.

PBB yang semakin membonsai itu adalah partai yang mengaku paling dekat dengan Masyumi, sedangkan PAN dan PKS masih dapat dikatakan sebagai anak ideologis, tetapi secara moral telah semakin longgar. Dengan kata lain, hilangnya Masyumi dari panggung nasional, dilihat dari sudut pandang perjuangan politik umat Islam, benar-benar sebuah kecelakaan sejarah. Partai-partai yang kemudian lahir dari rahim keluarga Masyumi tidak satu pun yang mampu mewarisi sikap moral perjuangan yang demikian fenomenal dari partai yang telah bubar itu.

Hampir tanpa kecuali, tokoh-tokoh Masyumi tak seorang pun yang terlibat dalam permainan kumuh untuk mengakali APBN/APBD/BUMN/BUMD demi kepentingan politik pragmatisme yang tunamoral, sebagaimana yang sangat marak belakangan ini. Dengan demikian, kelakuan elite partai yang berideologi Islam formal atau yang berbasis massa Islam setali tiga uang dengan kelakuan elite partai-partai lain yang secara historis tidak terkait dengan Masyumi, kecuali beberapa elite Golkar dan Partai Demokrat.

Pendek kata, di era Reformasi, kualitas moral politik pada hampir semua partai sudah merosot sampai tingkat yang paling rendah. Kondisi buruk yang serupa inilah yang menjadi sumber utama dari tindakan kekerasan, kegaduhan, dan ketidakpastian yang meliputi suasana umum dalam masyarakat Indonesia sekarang ini.

Jalan keluarnya yang tersedia hanya satu: pulihkan kembali visi dan praktik moral politik sebagaimana yang pernah ditunjukkan dengan nyata oleh Masyumi, Partai Katholik, dan PSI tempo dulu. Jika partai-partai yang mengaku memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ingin dihargai oleh publik secara luas, semestinya mereka menjadi avant-garde (pelopor paling depan) dalam upaya memulihkan moral politik itu dalam bentuk yang konkret dalam kehidupan kolektif kita.

Harapan ini mungkin terlalu tinggi jika dialamatkan kepada elite Muslim yang kini sedang memegang peran kunci. Tetapi, setidak-tidaknya saya telah mengingatkan tentang masalah moral politik adalah segala-galanya jika Islam masih mau disebut-sebut juga dalam retorika politik mereka.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.

(QS. Al-Ma'idah ayat 6)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement