Jumat 12 Apr 2013 01:53 WIB
Resonansi

Memulihkan Kepercayaan

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Yudi Latif

Politik bisa membawa banyak perbedaan, untuk keburukan atau kebaikan.

Pandangan dan sikap politik bisa membangkitkan naluri negatif rakyat, seperti saat George Bush memproklamirkan poros-poros permusuhan dan perpecahan. Bisa juga membangkitkan naluri positif, seperti pidato Martin Luther King Jr (28 Agustus 1963), "I Have a Dream", yang memimpikan anak-anak budak dan pemilik budak bisa hidup berdampingan dan suatu saat kehidupan bangsa tidak ditentukan oleh warna kulitnya melainkan oleh kekuatan karakternya. Suatu kekuatan visi-mimpi yang membangkitkan daya kreatif-kejuangan bangsa yang dalam proses waktu menjelmakan kemenangan Obama.

Pesan ini perlu diinsyafi secara sungguh-sungguh ketika kepuasan dan kepercayaan rakyat pada politik di negeri ini terus merosot. Demokrasi yang mestinya mengembangkan partisi- pasi, kepuasan, dan daulat rakyat justru mengembangkan ketidaksertaan (disengagement), kekecewaan, dan ketidakberdayaan rakyat.

Masalah utamanya tidaklah pada "sisi-permintaan" (demand-side) seperti sering didalihkan para politisi: rendahnya tingkat pendidikan rakyat, pragmatisme pemilih, serta kurangnya kesadaran politik. Sebaliknya, terletak pada kelemahan "sisi-penawaran" (supply-side), dari ketidakmampuan aktor-aktor politik untuk membangkitkan kepercayaan rakyat.

Seperti menggenapi sindiran David Lloyd George, "Polikus adalah orang yang dengannya kita tak bersetuju. Tatkala kita bersetuju, dia adalah negarawan." Faktanya, begitu kerap publik berseberangan dengan keputusan politik.

Di mata publik hari ini, istilah politik menjadi sinonim dengan `korupsi', asusila', aji mumpung', `tipu muslihat', `eksibisionisme-selebritas', `fasilitas tanpa kerja keras'. Menyebut seseorang punya "motif politik" mengandung konotasi bahwa tindakan orang tersebut tidak dilandasi ketulusan, integritas, atau kapasitas untuk menghasilkan sesuatu yang positif kecuali untuk kepentingan pribadi.

Sinisme ini terjadi manakala partai dan para pemimpin politik tak mampu menjawab masalah-masalah kolektif. Masalah-masalah kolektif ini justru timbul ketika institusi-institusi yang semula didesain untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan kolektif terdistorsikan oleh kepentingan memperjuangkan motif-motif perseorangan. Bahkan, partai politik, yang dasar mengadanya diorientasikan sebagai interface untuk menyatukan aspirasi-aspirasi individual menjadi aspirasi kolektif dalam memengaruhi kebijakan negara, justru dikuasai oleh orang per orang. Akibatnya, tidak ada sandaran untuk memperjuangkan kepentingan kolektif.

Perundang-undangan yang mestinya merupakan kontrak sosial dengan warga negara terdistorsikan oleh kepentingan sempit-sesaat elite politik. Prosedur demokrasi mengalami penjelimetan dan pemborosan sebagai rintangan masuk bagi parapesaing seraya membuka peluang transaksional yang menguntungkan kepentingan oligarki politik. Dalam logika ini, rekrutmen kepemimpinan lebih menekankan sumber daya alokatif (modal finansial) ketimbang otoritatif (kapasitas) yang membuat meritokrasi dilumpuhkan oleh mediokrasi.

Akibatnya, horizon harapan perbaikan seperti terhalang. Dengan pencalonan presiden/wakil presiden harus didukung 20 persen kursi di DPR, bursa kepresidenan akan mengerucut pada segelintir wajah lama yang menyempitkan peluang perubahan. Dengan rekrutmen caleg sebagian besar partai lebih menekankan popularitas dan pemenuhan prosedural ketimbang aspek kapasitas dan derajat keterwakilan pemilih, kualitas parlemen yang dihasilkan masih meragukan. Dengan ongkos demokrasi yang begitu mahal, Pemilu 2014 nanti bisa jadi hanyalah melahirkan kepemimpinan tanpa otoritas.

Masalahnya, apa yang kita harapkan dan dapatkan dari politik tergantung pada asumsi kita tentang watak manusia yang kita proyeksikan pada aktor politik. Politik ada lah aktivitas sosial yang akan berjalan baik dalam situasi adanya kerja sama dan saling percaya. Jika kita berasumsi bahwa orang lain tak bisa dipercaya atau mensyaratkan orang lain harus bisa dipercaya terlebih dahulu sebelum kita mengembangkan kepercayaan, maka kita menutup kemungkinan deliberasi, kerja sama, dan kebajikan kolektif. Itu berarti, kita mengingkari politik.

Perubahan politik harus dimulai dari usaha memulihkan rasa saling percaya dan kepercayaan bahwa rasionalitas kepentingan individual tak akan dibayar oleh irasionalitas kepentingan kolektif. Kepercayaan bahwa warga negara akan mendapatkan politik sesuai dengan perilakunya harus diubah dengan kepercayaan bahwa politik terpercaya akan mendapatkan partisipasi politik yang sepadan dengannya. Sekali aktor politik menunjukkan sinyal bisa dipercaya, maka partisipasi dan kepercayaan rakyat pada politik akan menguat, seperti tampak dalam meluasnya paritisipasi rakyat dalam pemilihan presiden Amerika yang lalu.

Jika Obama mampu mengambil inspirasi dari pengalaman hidupnya di Indonesia untuk menggagas perubahan bagi Amerika, mengapa para politisi kita seperti tak memercayai dan mewarisi nilai-nilai luhur perjuangan bangsa? Marilah kita perbaiki reputasi politik dengan memulihkan kepercayaan!

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement