REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
Fahruddin namanya. Berusia 25 tahunan. Berasal dari Purwakarta, Jawa Barat. Pada sebuah pagi pekan lalu, seusai shalat Subuh, terjadilah obrolan ringan saya dengan pemuda yang kini bekerja sebagai kuli bangunan proyek pembangunan perluasan Masjidil Haram di Kota Makkah, Arab Saudi.
Sambil menunggu waktu kerja pukul 07.00 waktu setempat, ia dan teman-temannya duduk-duduk santai sembari menyeruput shae bil halib (teh susu) di sayap/samping Hotel Hilton. Menurut Fahruddin, ia dan teman-temannya direkrut oleh agen perusahaan pengerah tenaga kerja di Indonesia untuk dipekerjakan di perusahaan konstruksi Benladen, yang kini mengerjakan proyek perluasan Masjidil Haram.
Ada 5.000 tenaga kerja yang direkrut. Dua ribu di antaranya dari Indonesia. Sisanya berasal dari berbagai negara. Mereka dikontrak untuk dua tahun dan bisa diperpanjang. Gaji Fahruddin dan teman-temannya 1.100 riyal (Rp 2,75 juta). Pemondokan dan makan disediakan. “Lumayan, Mas. Bisa umrah dan haji sambil mencari uang,” ujar Agus, teman Fahruddin. Agus berasal dari Wonosobo, Jawa Tengah.
Arab Saudi hingga kini memang masih menjadi salah satu negara tujuan tenaga kerja Indonesia (TKI), seperti Fahruddin dan Agus. Kini, terdapat 800 ribu hingga 900 ribu TKI. Bila ditambah dengan mereka yang gelap alias tidak mempunyai izin tinggal, jumlahnya bisa mencapai angka lebih satu juta. Mereka pada umumnya bekerja sebagai kuli bangunan, sopir, pelayan restoran, pelayan toko, pelayan di hotel, dan pekerjaan kasar lainnya.
Sedangkan, TKI perempuan atau yang biasa disebut tenaga kerja wanita (TKW) kebanyakan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Gaji mereka, baik TKI maupun TKW, berkisar antara 600 riyal (Rp 1,5 juta) hingga 1.500 riyal (Rp 3,75 juta). Kalaulah ada yang bekerja sebagai profesional, seperti pilot, pramugari, perawat, teknisi hingga manajer perusahaan, atau bahkan wiraswasta, jumlahnya sangat sedikit.
Jumlah TKI tersebut hanyalah bagian dari sekitar 7,2 juta pekerja asing yang kini mencari nafkah di Saudi. Para pekerja asing ini merupakan 26,6 persen dari jumlah keseluruhan penduduk Saudi, yakni 27,1 juta orang (sensus resmi Pemerintah Saudi). Menurut Kementerian Tenaga Kerja Saudi, jumlah pekerja asing ini sudah terlalu banyak. Karena itu, Menteri Tenaga Kerja Saudi Ir Adil Fakih akan mengurangi jumlah pekerja asing di negaranya hingga hanya 20 persen dari jumlah keseluruhan penduduk atau sekitar enam persen.
Namun, menurut Abdul Rahman al-Rasyid, kolumnis tetap koran Saudi, Al-Sharq al-Awsat, tugas Kementerian Tenaga Kerja itu tidaklah mudah. Persoalannya, kata dia, karena jumlah penduduk Saudi yang sebenarnya lebih besar dari sensus resmi, yaitu lebih dari 33 juta jiwa. Bila ditambah dengan orang asing yang tidak resmi (ghairu al-qanuniyah) alias gelap maka jumlah penduduk Saudi lebih dari 40 juta jiwa. “Dari jumlah itu, lebih dari 13 juta jiwa adalah orang asing, dan bukan tujuh juta sebagaimana sensus resmi,” tulis al-Rasyid, beberapa hari lalu.
Yang lebih memprihatinkan, kata dia, tujuh juta orang asing yang kini tinggal di Arab Saudi adalah tidak resmi, baik karena izin tinggalnya telah habis maupun mereka yang sengaja bermukim secara gelap. Dengan jumlah orang asing yang mencapai hampir separuh dari keseluruhan penduduk, menurutnya, pengurangan hanya enam persen pekerja asing tidak akan banyak artinya dilihat dari peta demografi Saudi.
Masih menurut al-Rasyid, pemerintah harus cermat membaca fakta dan data demografi agar tidak salah mengambil kebijakan yang pada akhirnya akan membahayakan negara. Pada 1974, jumlah penduduk Arab Saudi hanya tujuh juta jiwa dan 800 ribu di antaranya orang asing. Jumlah itu menjadi berlipat lebih dari dua kalinya pada 1992, yaitu 17 juta jiwa. Sejumlah lima juta jiwa di antaranya adalah pekerja asing. Lalu pada 2004, angka penduduk Saudi sudah mencapai 22 juta jiwa dan enam jutanya adalah orang asing.
Ke depan, kata Abdul Rahman al-Rasyid, Arab Saudi masih akan tetap membutuhkan pekerja asing. Terutama pekerja kasar dan profesional yang ahli di bidang-bidang tertentu. Persoalannya, bagaimana keberadaan jutaan pekerja asing ini tanpa menyebabkan peningkatan angka pengangguran di kalangan warga Saudi sendiri, yang pada gilirannya akan membahayakan negara, baik secara politik maupun keamanan.
Menurut Nasrullah, warga Bondowoso, Jawa Timur, yang menikah dengan perempuan warga negara Saudi, orang Arab memang tidak terbiasa dengan jenis-jenis pekerjaan kasar. “Kalaupun mereka harus bekerja kasar, terutama orang Badui, hanya sebatas ngangon unta dan kambing,” ujarnya.
Bahkan, lanjut Nasrullah, perkerjaan menggembala pun yang menjadi kekhasan orang Badui sudah mulai ditinggalkan. Untuk mengurus unta dan kambing lebih banyak diserahkan kepada pekerja dari Pakistan, Bangladesh, atau orang Afrika. Sedang orang Badui sendiri sudah mulai terpengaruh dengan kehidupan modern di kota. Sayangnya, orang-orang Badui yang merupakan penduduk asli Saudi ini pun pada umumnya malas untuk bersekolah. Ini berbeda dengan warga Saudi keturunan (muwallad) yang rajin sekolah dan kini banyak yang menduduki posisi-posisi penting.
Sebagai akibatnya, kini muncul rasa iri bercampur marah di kalangan warga Saudi terhadap keberadaan para pekerja asing, termasuk kepada warga Saudi keturunan yang kehidupannya lebih makmur. Menurut al-Rasyid, penyelesaiannya tidak boleh sekadar menempatkan pekerja Saudi untuk menggantikan posisi pekerja asing, terutama pada level menengah, tanpa disertai keahlian yang memadai. Karena itu, lanjutnya, pemerintah Saudi harus segera membuat road map yang jelas dan komprehensif untuk menyelesaikan masalah tenaga kerja ini.
Data dan fakta tersebut tentu sangat perlu diketahui orang-orang Indonesia yang ingin mengadu nasib di Saudi, seperti Fahruddin dan Agus, juga buat pemerintah yang memegang otoritas ketenagakerjaan. Jangan sampai TKI dan TKW kita jauh-jauh meninggalkan keluarganya dan bekerja Saudi yang jatuhnya hanya ngangon unta atau kambing atau sekadar menjadi pembantu rumah tangga yang gajinya tidak banyak berbeda dengan upah minimum regional (UMR) di Jakarta yang Rp 2,2 juta.