Kamis 25 Apr 2013 07:04 WIB
Resonansi

Religion is Good for You (2)

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Azyumardi Azra

Agama baik untuk Anda. Akan tetapi, sekali lagi, ada kalangan masyarakat yang tidak setuju dengan pernyataan ini. Alasannya macam-macam, terutama terkait dengan ekses-ekses tertentu dari tindakan orang-orang yang berbuat atas nama agama. Padahal, tindakan itu merupakan penyimpangan dan bertentangan dengan esensi dan ajaran agama-rahmat dan kasih bagi semesta alam.

Jelas jauh lebih banyak lagi orang yang yakin agama baik untuk umat manusia. Memulai perdebatan Intelligence Squared2 (IQ2) tentang “Religion is Good for You”, saya berpandangan, agama baik bagi individu dan masyarakat jika esensi dan ajarannya diimani dan diamalkan secara komprehensif. Untuk memperoleh kebaikan agama, orang atau kelompok masyarakat mesti tidak mengambil ajaran agama atau ayat-ayat dalam kitab suci secara sebagian atau sepotong-potong. Juga tidak memahami ajaran atau ayat kitab suci tertentu untuk kepentingan sendiri, apakah harta benda, pengaruh, dan kekuasaan.

Pemahaman semaunya terhadap agama, baik keseluruhan maupun sebagian, hanya berujung pada ekses yang mendistorsi agama yang jelas bertentangan dengan hakikat agama.

Pemahaman agama secara komprehensif (syumul atau kaffah) tidak bisa dengan menggunakan akal pikiran semata. Karena, agama pertama-tama bukanlah kumpulan doktrin ilmiah yang bersandar pada prinsip rasional.

Sebaliknya sejak dari awal, agama menyangkut keimanan-ranah yang hanya bisa terjangkau kalbu tidak oleh akal. Memang agama mengandung ajaran rasional, tetapi tidak berarti agama sepenuhnya dapat dipahami dengan menggunakan akal pikiran semata.

Sifat agama seperti itulah yang justru membedakan agama dengan sains dan produk akal lain. Karena itu, sejauh menyangkut agama, yang terpenting adalah mengimani (believing), mengamalkan (practicing), dan mengalami (experiencing). Melakukan ketiga hal ini dalam beragama, manusia dapat merasakan bahwa 'agama benar-benar baik bagi kita'.

Selina O'Grady, penulis And Man Created God, juga berpandangan hampir sama. Menurut dia, agama lebih berdasarkan keimanan dan kepercayaan daripada pemikiran rasional. Agama bukanlah sains yang berdasarkan pada preposisi yang mesti berdasarkan rasio. Agama bukan menyangkut hal yang selalu akal atau tidak masuk akal; sebaliknya tentang nilai dan makna. Agama juga tidak hanya semata-mata berbicara tentang apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan manusia, tetapi menyangkut tujuan kehidupan.

Dalam hal agama, manusia memiliki kebutuhan fundamental tidak hanya pada 'pemahaman', misalnya saja tentang 'kita ada di sini'. Manusia juga perlu mempunyai pemahaman tentang 'kenapa kita ada di sini', 'apa peran yang telah kita lakukan', dan 'apa seharusnya peran tersebut di muka bumi ini'.

Lebih jauh, menurut O'Grady, keimanan menghendaki ketundukan (obedience) yang berpuncak pada Tuhan. Ketundukan itu sangat diperlukan dalam agama; sama perlunya dengan kebebasan untuk bertuhan atau tidak bertuhan. Namun penting diingat, kebebasan individu yang berlebihan dalam penggunaan rasionya dapat menjerumuskan masyarakat ke dalam kehidupan tanpa makna.

Esensi agama jelas merupakan antitesis dari konflik dan kekerasan. Agama mengajarkan kepada umat manusia untuk hidup rukun dan damai. Dengan kehidupan seperti itu, manusia dapat meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan. Agama juga mengajarkan doktrin dan praktik yang dapat meninggikan kepuasan batin dan tingkat kerohanian manusia, yang pada gilirannya membuatnya merasa dekat dengan Tuhan. Dengan perasaan ini, manusia menempatkan dirinya dalam lingkungan semesta lebih luas, yang dapat membawa ke dalam penghayatan makna hidup lebih luas dan lebih dalam.

Dengan tingkat spiritualitas keagamaan lebih tinggi, manusia memiliki tujuan hidup lebih kuat dalam kehidupan sehari-hari dan akhir hayat kelak. Semua ini mengilhami dan mendorong manusia untuk melakukan kian banyak amal saleh-bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk lingkungan kehidupan lebih luas.

Karena itulah, agama baik tidak hanya untuk kehidupan individu, tetapi juga bagi kehidupan sosial dan komunal. Agama berada pada posisi transenden-mengatasi berbagai perbedaan, seperti warna kulit, ras dan etnisitas, sosial-budaya, ekonomi, dan seterusnya. Agama memberikan rasa persaudaraan dan solidaritas sehingga dapat menjadi faktor pemersatu di antara umat manusia. Sekali lagi, hanya sektarianisme intra dan antaragama berlebihan yang membuat ajaran agama tentang ukhuwah menjadi lenyap.

Agama baik bagi kita. Namun, masalah terkait agama tetap terus muncul, baik dari lingkungan intra dan antaragama maupun dari para pengingkar agama. Meski demikian, agama tetap menjadi salah satu faktor utama yang menentukan perjalanan manusia, baik secara individu, masyarakat, maupun bangsa. Deklarasi kematian agama oleh para pengingkar atau pernyataan 'God is dead' oleh filosof Friedrich Nietzshe jelas tidak relevan dan jauh daripada kenyataan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement