REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nasihin Masha
Ini kisah seorang ayah. Hampir tiap hari selama tiga tahun ini ia mengantar sendiri anaknya berangkat ke sekolah di sebuah SMP negeri di Jakarta Selatan. Ini semacam upaya maksimal yang bisa dilakukan. Maklum ia pulang kerja selalu tengah malam. Saat itu anaknya sudah tidur. Jadi, satu-satunya kesempatan, selain hari libur, untuk interaksi langsung adalah mengantar anaknya ke sekolah.
Awalnya ia pikir sesuatu yang normal. Ini hari ujian nasional. Sejumlah mobil terparkir di pinggir jalan di depan sekolah. Namun hari keempat, hari terakhir ujian, instingnya menangkap sesuatu yang tak biasa. Segerombolan siswa-siswi keluar dari mobil van hitam dengan kaca hitam pekat. Ini hari ujian. Kok ada siswa yang berangkat bareng-bareng. Tak mungkin mereka belajar bersama di satu rumah siswa lalu berangkat bersama. Semua orang akan cenderung belajar di rumah masing-masing agar lebih konsentrasi. Namun anehnya, begitu keluar mereka segera jalan sendiri-sendiri. Ada sesuatu yang tak beres.
Selama ujian istrinya menunggu di sekolah. Ada sejumlah ibu-ibu yang melakukan hal yang sama. Usai ujian segera pulang. Lalu bercerita. Rupanya sudah beredar pembicaraan dari mulut ke mulut, termasuk cerita anaknya sendiri. Ada orang menjual kunci jawaban. Nilainya antara Rp 200 ribu hingga Rp 600 ribu rupiah per mata pelajaran. Ada mobil hitam yang parkir di luar yang siap melayani siswa yang akan membeli kunci jawaban. Tentu saja cerita ini masih harus dibuktikan kebenarannya. Karena hal itu baru sebatas pengamatan selintas, dugaan, dan cerita dari mulut ke mulut.
Mendengar kisah itu, saya jadi teringat guru SMA saya, pertengahan 1980-an. Namanya Ibu Asminah, guru kimia. Orangnya kaku dan disiplin, tapi baik dan ramah. Perpaduan yang unik. Dia juga pembina pramuka. Hingga kini, ceramahnya masih terngiang. Dalam suatu upacara bendera Senin pagi, selaku pembina upacara dia berceramah. “Nyontek adalah embrio dari korupsi,” katanya berapi-api. Suaranya yang tegas, menggelegar, dan mimiknya yang serius membuat isi ceramah itu selalu menancap di kepala.
Nyontek, mencari bocoran soal, dan membeli kunci jawaban masih merupakan problem besar negeri ini. Ujian nasional yang rumit dan menjadi berbiaya lebih tinggi, salah satunya karena untuk menghindari hal-hal tersebut. Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kecurangan itu pemerintah harus mengeluarkan biaya ekstra. Yaitu harus membuat 20 jenis paket soal, pengawas ujian, pengawas independen, pengawalan soal oleh polisi, lembar jawaban yang dicetak bersama dengan lembar soal, dan seterusnya. Namun seperti kata pepatah, yang terpenting adalah the men behind the gun. Sistem sehebat apapun, jika manusianya rusak selalu bisa diterobos. Pembuatan 20 paket soal itu sangat menyulitkan tindakan curang. Harus bisa mengatur si pembeli kunci X harus mendapat soal X pula. Padahal penjual ada di luar, dan pembagi soal ada di dalam. Hanya mungkin terjadi jika ada kerja sama dengan banyak pihak. Yaitu pihak pembuat soal, pihak pengawal soal, pihak percetakan, pengawas ujian, dan pembagi soal. Karena lebarnya rentang kendali, tak mungkin bisa diorganisasi oleh penjahat kecil. Ini bersifat sistemik. Penjahatnya ada di dalam sistem dan terorganisasi.
Dalam banyak hal, negeri ini harus mengeluarkan uang lebih banyak. Ini karena untuk mencegah korupsi dan kecurangan. Anggaran untuk ujian nasional untuk semua tingkatan pada tahun ini mencapai Rp 640 miliar. Bukan biaya yang sedikit. Dan sebagian besar bukan untuk mencetak soal, tapi untuk operasional. Kita membayangkan jika semua orang berlaku jujur, maka kita tak perlu mengeluarkan biaya terlalu besar untuk penyelenggaraan ujian nasional. Tak perlu banyak pengawas, tak perlu pengawalan polisi, tak perlu 20 paket soal.
Untuk membeli kunci jawaban yang ratusan ribu per mata pelajaran tentu bukan biaya yang kecil bagi seorang siswa SMP. Pasti mereka mendapatkan uang itu dari orangtuanya. Berarti apa yang dilakukan siswa atas sepengetahuan orangtua mereka. Sebuah pendidikan moral yang jelas: jadilah bandit anakku. Kau bisa menyuap, kau bisa mencuri. Jangan lupa, esok jadilah koruptor. Seperti kata Bu Asminah, menyontek adalah embrio korupsi. Anak-anak itu sedang diajarkan ibu-bapaknya untuk menjadi koruptor. Mereka inilah bibit-bibit penghancur Indonesia.
Melalui cara yang curang, mereka akan mendapat nilai bagus. Setelah itu mereka masuk ke SMA yang bagus pula. Mata rantai membeli soal dan membeli kunci jawaban akan berlanjut. Kita sudah sering mendengar kisah anak-anak ikut les atau bimbingan belajar yang kemudian diberi bocoran soal atau kunci jawaban. Kita juga tak jarang mendengar siswa yang bisa membeli soal ulangan harian ataupun ulangan kenaikan kelas. Jika mata rantai ini terus berlanjut, maka tak heran jika kini kita kesulitan membasmi korupsi. Hukum sebagus apapun akan selalu bisa diterobos. Mereka sudah terlatih dan teruji bertahun-tahun, bahkan hingga level ujian nasional.